2 | 𝕗𝕝𝕦𝕠𝕣𝕖𝕤𝕔𝕖𝕟𝕥

433 84 16
                                    



(Park Woojin × Ahn Hyungseob as a GIRL)

🌙

Hyungseob selalu menyapa Woojin seadaanya ketika bertemu di sekolah. Mereka juga tidak banyak mengobrol kecuali berada dalam kelompok belajar yang sama. Toh, tidak ada yang perlu tahu juga kalau mereka berteman baik diluar sana.

Bagi keduanya, kehidupan gelap mereka tidak akan menimbulkan dampak yang baik jika diumbar, mengingat keduanya juga terlihat seperti remaja biasa saat sekolah. Menyembunyikan identitas merupakan pilihan yang tepat.

Pulang sekolah, Woojin duduk di atas kap mobilnya. Menyelipkan gantungan kunci mobilnya di jari telunjuk, lantas memutarnya seperti baling-baling dengan kekuatan penuh.

Daripada terlihat keren, Woojin lebih cocok disebut kurang kerjaan.

Kadang juga membalas sapaan teman-temannya yang lewat dengan cengiran bodoh.

Plak!

"Aw!!" Pekikan Woojin terdengar menyakitkan. Kepalanya berdenyut, sedangkan si Tersangka Pemukulan hanya menatapnya datar.

Ahn Hyungseob berdiri disana, lengkap dengan ransel merah dan jaket hitam yang selalu menemaninya ke sekolah,"Cepat masuk." Ujarnya, kemudian menarik tuas pintu mobil Woojin berapi-api. Woojin sih mau tak mau mengikuti perintah bossnya yang satu ini.

🌙

Mobil Woojin melaju perlahan di jalanan kota yang padat. Keduanya berniat pergi ke pergi ke Kolumbarium; tempat dimana guci abu jenazah orang tua Hyungseob disimpan, sekalian mengunjungi rumah lama Hyungseob saat masih di Mapo.

Sebelum benar-benar pergi, Hyungseob sempat meminta berhenti di kedai minuman terdekat. Lalu saat kembali, tangannya membawa dua cup ice coffee.

Jalanan akan cukup padat diakhir Minggu seperti ini dan mereka butuh sesuatu yang menjaga kesadaran jika tidak ingin kecelakaan. Mengingat waktu tempuh dari Seoul ke Mapo biasanya satu jam kurang, mungkin hari ini bisa sampai satu jam lebih.

Dua orang ini bukan tipe pendengar lagu di jalan. Hyungseob tipe yang lebih suka menyalakan radio dengan suara kecil sehingga masih ada sedikit kebisingan diantara mereka (walaupun suara radionya juga tidak jelas), sedangkan Woojin bukanlah pemilih. Anggap sama Woojin itu seperti air, mau di tempatkan di wadah kecil, wadah besar, tabung lonjong, dia akan tetap muat.

Jaket hitam yang biasanya melekat di tubuh Hyungseob, kini sudah berpindah ke pangkuannya; menyelimuti paha.

"Mengantuk?"

Hyungseob kembali ke fokusnya, menatap Woojin dengan malas,"Ya, sedikit."

"Tidurlah, sepertinya akan lebih lama dari perkiraan kita. Akan kubangunan kalau sudah sampai."

Sudah tidak ada jawaban lagi, dan begitu Woojin menoleh, Hyungseob sudah tertidur. Kepalanya menyandar ke pintu mobil dengan dua tangan yang memeluk tubuhnya sendiri. Woojin sempat mengusak rambut Hyungseob pelan sebelum melajukan mobilnya pelan mengikuti mobil depan.

🌙

Mata Hyungseob terlihat bengkak, ujung hidungnya merah dan wajahnya pucat. Gadis itu terlihat sangat lelah, bahkan meneguk kopi hangat yang Woojin belikan setengah hati. Woojin sendiri tidak banyak membantu.

Sejak berada di depan guci jenazah orang tua Hyungseob, gadis ini sudah mulai menangis. Semakin buruk saat Woojin yang saat itu berdiri di belakangnya beralih ke sebelahnya dan merangkul Hyungseob. Tentu di gadis langsung merangsek ke arah Woojin lalu menangis sampai nafasnya sesegukan. Kalau dihitung, ada dua puluh menit Hyungseob menangis sambil memeluk Woojin. Dari jarak yang sedekat itu pula, Woojin mendengar keluh kesah yang selama ini belum pernah sampai ke telinganya. Dari sana Woojin tahu bahwa rasa benci Hyungseob pada orang tua tidak lebih besar dari rasa sayangnya.

Puluhan kali Woojin berpikir bahwa hidupnya jauh lebih beruntung dari si gadis. Orang tuanya lengkap, hidup bergelimang harta dan menjalani hidupnya dengan nyaman. Seandainya waktu bisa diputar, Woojin bersedia menggantikan Hyungseob. Atau setidaknya jika memang tidak bisa bertukar, Woojin bersedia menemaninya dan berbagi beban bersama.

"Mereka...," Woojin mendongak ketika mendengar suara serak dari Hyungseob,"tetaplah keluargaku. Seberapa besar aku pernah membenci mereka, hatiku tidak akan berbohong bahwa aku ingin mereka disini, berdisi di sisiku, menyokongku ketika lemah dan menjajaki kesuksesanku bersama. Rasanya sangat hampa ketika sendirian...,"

Disaat genting seperti ini, Woojin malah bingung harus bersikap seperti apa. Situasi yang Hyungseob lalui, belum pernah Woojin lalui.

"Setiap malam aku selalu membayangkan orang tuaku dan berharap aku akan memimpikan mereka." Lanjut Hyungseob sebelum dia terdiam cukup lama, terlihat enggan untuk meneruskan atau akhirnya malah akan menangis lagi.

"Aku akan disini saat kamu membutuhkan." Woojin akhirnya bersuara. Setidaknya ia bisa sedikit lega begitu melihat senyum tipis Hyungseob.

Sebenarnya Hyungseob hanya butuh seseorang untuk menemaninya dan Woojin punya banyak waktu luang. Tidakkah mereka sangat cocok?

"Aku tidak bisa terus menahanmu bersamaku, kehidupan kita pasti akan memiliki jalurnya sendiri-sendiri. Suatu saat kita akan dipisahkan, jadi aku tidak ingin terlalu bergantung padamu. Punya teman sepertimu saja, aku sudah bersyukur."

"Ey, jangan bicara begitu," Tak ayal Woojin juga ikut sedih membayangkannya,"Sepertinya kau butuh menonjok seseorang. Hari ini terlalu melankolis untuk kita."

END





Note: Ada yang punya twitter dan pengen bermutual dengan aku? Bisa dicari uname trys_s

those days • jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang