JH: Truth or Dare

53 9 19
                                    

Bel istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu. Aku sedang malas ke kantin dan pada akhirnya meminta Hoseok untuk menemaniku di kelas.

"Truth or dare yuk!" ajakku.

Hoseok memalingkan wajahnya dari layar ponsel dan mengangguk tanda setuju. Aku segera mengambil pensil milik Hoseok yang tergeletak di atas mejanya.

"Itu kan pensilku!" ujar Hoseok.

"Pinjam, pelit."

"Daripada kau ambil pensilku, kenapa tidak ambil saja hatiku?"

Aku menatapnya tajam, "Mau mati?"

"Kau tampak menyeramkan. Tidak salah aku memanggilmu nenek lampir, haha." Hoseok tertawa sambil memutar pensil untuk memulai permainan.

Ingin rasanya kutonjok mulut pedasnya itu, tapi tidak kulakukan. Sebab aku pernah berjanji untuk tidak memukulnya lagi tahun ini.

Pensil berhenti berputar dan ujungnya mengarah padaku.

"Gotcha!" seru Hoseok.

"Huh, kenapa harus aku duluan?"

"Karna aku terlalu tampan untuk jadi yang pertama," ungkap Hoseok dengan kepercayaan dirinya yang menyebalkan.

"Truth or dare?" tanyanya kemudian.

"Dare."

"Pilihan yang tepat! Telepon mantanmu dan bilang Aku menyesal, kau terlalu tampan saat ini juga!"

"Apa kau sudah gila?!"

"Lakukan saja. Kau sendiri yang memilih dare."

Aku pasrah, "Baiklah. Mantanku yang mana?"

"Berhenti berkhayal, mantanmu kan cuma satu!"

Dengan terpaksa, aku pun segera menjalankan dare sialan itu. Mantan kekasihku langsung bisa menebak bahwa lagi-lagi ini ulah Hoseok. Well, dia benar.

Sekarang giliranku yang memutar pensil. Aku tersenyum puas saat ujung pensil berhenti ke arah Hoseok.

"Truth or dare?" tanyaku.

"Tentu saja dare, aku kan laki-laki."

Tidak ada hubungannya, sial.

"Kalau begitu, nyatakan perasaanmu pada perempuan yang selama ini kau ceritakan padaku!" kataku antusias.

"Kau yakin?" tanyanya ragu.

"Kenapa? Kau tidak berani?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Dia cantik."

"Yaa, aku tahu. Kau sudah sering mengatakannya."

"Senyumnya menawan," lanjutnya.

"Tentu tidak lebih menawan dariku."

"Dari luar terlihat dingin, tapi nyatanya dia benar-benar baik."

"Aku memintamu menyatakan perasaan padanya, bukan membuat deskripsi tentangnya."

"Sedang kulakukan."

"Kau ingin aku menyampaikan ini padanya?"

"Aku sedang membicarakanmu, bodoh."

"Aku?"

"Bukan, ibumu."

"Ibuku?"

"Butuh berapa lama agar otakmu paham fungsinya dengan baik?!" ujarnya jengkel.

Kami sempat diam beberapa saat.

Hoseok menatap keluar jendela, "Tapi dalam hubungan pertemanan, hal seperti itu tidaklah benar 'kan?"

Aku menggeleng pelan, "Tidak."

Hoseok menghela napas. Aku bisa melihat kekecewaan di wajahnya.

"Maaf," ucapku.

"Tidak masalah, aku akan menangani perasaanku. Tetaplah bersikap seperti biasanya."

Aku menatapnya ragu, "Ya.."

Hoseok bangkit dari tempat duduknya. Sambil mengacak pelan rambutku, ia berkata, "Aku ke kantin dulu ya, nenek lampir! Lapar."

Setelahnya, ia langsung pergi.

Aku hanya diam dan menatap punggungnya yang perlahan menjauhiku.

Maaf tidak bisa membalas perasaanmu, Hoseok.

[BTS] The Most Beautiful Moment In Life✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang