Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Bab 2

312K 10.5K 118
                                    

Hampir dua minggu lamanya aku di sini. Di rumah papa. Walaupun segala sesuatunya terasa asing, aku berusaha tak merasakannya. Aku sudah menghabiskan waktu 18 tahun di rumah ini. Bagaimana semua menjadi seperti berjarak sekarang?

Aku hanya bertemu papa pada saat sarapan atau makan malam. Saling menyapa dengan kaku. Atau kadang-kadang saja pas kebetulan berpapasan di dalam rumah, Berta bertanya tentang satu-dua hal padaku. Selebihnya kami seperti orang asing yang belum pernah mengenal satu sama lain.

Seperti tidak ada ikatan darah dan apa pun yang mendekatkan kami secara batin.

Hanya kenangan akan Melani dan juga adikku, Danis, yang menahanku di sini. Mungkin dalam beberapa hari ke depan aku baru merencanakan perjalananku untuk kembali ke Ubud, tapi aku tak mau terlalu memikirkannya sekarang. Aku masih ingin berlama-lama dengan Melani dan Danis.

Selama dua minggu ini aku banyak menghabiskan waktuku untuk mengunjungi Melani. Aku sengaja membeli peralatan baru untuk melukis. Sambil membuat sketsa, aku menemani Melani. Memorial park di sini sangat indah, pemandangannya sungguh luar biasa. Untuk urusan ini aku sangat setuju dengan keputusan papa.

Tempat di mana Melani dibaringkan dalam tidur abadinya, berlatar belakang panorama Gunung Salak. Di depannya menghampar areal pemakaman yang berundak-undak menurun. Diakhiri dengan pemandangan jalan tol yang membentang bak garis vertikal di kejauhan.

Aku senang duduk-duduk sendirian di bawah salah satu pohon besarnya selama berjam-jam dengan ditemani goresan kanvas di tanganku. Membayangkan Melani duduk menemaniku. Bayangan ini sedikit mengobati kerinduanku akan sosok kakakku.

Dan malamnya aku mengobrol dengan Danis tentang segala hal. Aku ingin mengisi kekosongan yang sudah terlalu lama aku tinggalkan. Aku ingin menjadi Melani bagi Danis. Meski nantinya aku akan kembali ke Ubud, aku menginginkan kami tetap dekat secara hati, secara batin. Aku tak ingin sendirian, begitu pula aku tak ingin Danis merasa sendirian.

Malam ini Danis belum pulang karena masih mengerjakan tugas kuliah di rumah temannya. Membunuh rasa sepi, aku berjalan menuju bagian rumah ini yang sekarang menjadi favoritku. Kamar Melani. Walaupun sudah beberapa tahun berjalan sejak terakhir aku meninggalkan rumah ini, nuansanya masih sama. Semua perabotannya tetap diletakkan di tempat yang sama. Kamar Melani adalah cerminan dirinya. Selalu rapi. Semua apik. Terkontrol.

Tidak sepertiku. Berantakan.

Kaki ini membawaku menuju ke sebuah kabinet kayu. Terletak di sudut. Tampak bersahaja. Jariku menarik keluar kedua daun pintunya. Bola mataku langsung tertancap pada sebuah kotak kardus berwarna abu-abu berukuran kurang lebih 40 senti persegi. Hati-hati aku meraihnya dan membawanya ke meja Melani. Membelai tutup kotaknya sekilas lalu membukanya.

Aku menahan napas. Kotak ini adalah harta karun kami berdua.

Begitu banyak kenangan yang sengaja kami kumpulkan dalam kotak ini. Album foto, buku bacaan, kertas-kertas coretan tangan kami ketika masih remaja, prakarya, topi melukis.

Mataku mengerjap sesaat, pandanganku kabur oleh air mata. Kesedihan ini langsung meluap dari dalam dadaku. Tanganku bergetar saat memegang beberapa album foto. Mendekapnya erat lalu membukanya di atas ranjang Melani.

Kenangan itu langsung berhamburan di depan mataku ketika jemariku membuka halaman pertama album foto kami. Dan aku langsung tenggelam dalam sejarah indah masa kecil kami, ketika mama masih hadir di tengah-tengah kami.

Sebuah panggilan dari ponsel menarikku kembali pada kenyataan. Tanpa beranjak dari ranjang Melani, aku beringsut dengan enggan, tanganku meraih ponsel di meja. Membaca sekilas nama yang mengambang di atas layar ponsel.

The Fake BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang