Aku tahu arti sebuah ruang kerja bagi papa. Pasti ada hal penting yang akan papa bicarakan. Sayangnya, aku tak bisa menduga sama sekali dan apa hubungan semua ini denganku.
Ruang kerja papa mengubur trauma tersendiri bagiku.
Sepenggal kisah tragis yang membuahkan keputusan nekat dalam diriku. Di sinilah aku, 5 tahun yang lalu, kami—aku dan papa—bertengkar tentang masa depanku. Aku ingin bersekolah seni rupa. Melukis sudah menadi dalam diriku. Impianku. Cita-citaku sejak dulu.
Tapi papa mementahkan semua mimpi-mimpiku. Bahkan membawanya ke tingkat yang paling rendah.
"Kamu tidak bisa makan dan hidup dari lukisanmu!"
Tegas-tegas papa berkata kalau aku masih mau dibiayai olehnya, aku harus sekolah di jurusan bisnis seperti Melani. Jurusan yang bakal menjamin hidupku bahagia nanti.
Bagaimana bisa papa tega berbicara seperti itu? Apakah papa menafikan darimana darah melukis ini bisa mengalir dalam diriku? Dari mama! Walau aku tak pernah melihat mama melukis, karena memang papa yang memintanya. Cinta mamalah yang membawanya mengikuti semua kemauan papa. Menemani papa dari gala ke gala, dari acara sosial satu ke acara sosial yang lain.
Tak ada yang tahu persis apakah mama bahagia dengan hidupnya hingga mama mengembuskan napas terakhirnya.
Tidak! Aku tak ingin hidupku seperti itu. Membawa semua egoku, mimpi-mimpiku, tekadku, aku pergi meninggalkan rumah. Membangun impianku sendiri. Bahkan tangisan Melani pun tak menyurutkan langkahku sedikitpun. Benar. Aku memang domba yang hilang. Tak pernah dicari, tak pernah ingin kembali.
Dan sekarang, sang waktu seperti memutar kembali kenangan itu. Aku berada di ruangan ini. Duduk di tempat yang sama, di sisi kursi yang sama.
Papa duduk di seberang meja, di atas kursi kulit eksekutif miliknya. Wajahnya menyimpan ketegangan. Ia berdeham sebentar sebelum membuka suaranya.
"Papa tahu, kamu pasti bertanya-tanya apa tujuan Keluarga Regan tadi datang kemari. Bagaimana perasaanmu sekarang?" Bola mata papa menyapu wajahku dari seberang meja.
Perasaanku? Aku terkejut, tentu saja! Sejak kapan papa ingin tahu perasaanku?
Aku memutuskan tak menutupi jawabanku.
"Biasa saja. Membosankan. Aku tak mengerti apa yang tadi papa bicarakan dengan mereka. Seputar bisnis dan saham. Bukan topik yang aku minati. Lagi pula, semua tidak ada kaitannya denganku, Papa. Jadi, rasanya tidak ada yang spesial dari kunjungan mereka. Maafkan aku." Aku menggoyangkan bahuku.
Kuharap papa memaklumi maksud ucapanku.
Berta masuk membawa segelas green tea, minuman favorit papa. Lalu ia duduk di sebelahku dan bergabung dengan kami.
Aku meliriknya sebentar, bertanya-tanya. Perasaanku mengatakan ada yang penting sampai Berta ikut duduk bersama kami, tapi aku tak tahu itu apa.
"Keluarga Regan kemari erat kaitannya denganmu, Ariana." Papa melanjutkan penjelasannya.
Denganku? Mulutku celangap. Ke mana arah pembicaraan ini?
"Makanya, papa memintamu tidak terburu-buru pulang ke Bali. Papa ingin membicarakan masalah ini denganmu." Papa berjeda sejenak. Matanya mengukur reaksiku. Sementara aku berusaha menekan mulutku. "Apakah selama ini Melani pernah bercerita padamu mengapa ia bertunangan dengan Christopher?"
Melani? Christopher? Tunangan? Aku?
Apa-apaan ini?
Aku makin gagal memahami arahnya. Setahuku, Melani adalah wanita cantik yang beruntung karena bertunangan dengan bujangan tampan dan kaya raya. Apalagi yang harus aku ketahui?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fake Bride
General FictionDemi bisnis, Ariana terpaksa harus menikah dengan mantan tunangan kakak perempuannya. Dia tidak pernah menyadari bahwa dalam perjalanan pernikahannya dia harus dihadapkan pada orang-orang di sekitar suaminya yang menginginkan kegagalan pernikahan me...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi