Aku terbangun karena pendar matahari membias melalui celah-celah gorden kamarku. Udara menjadi terasa hangat. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku masih punya waktu untuk membersihkan diri sebelum ikut sarapan di bawah.
Aku punya sebuah misi.
Kegelisahan menggelenyar di sekujur tubuhku saat aku menatap sepotong wajah pucat dalam cermin di kamar mandi.
Apakah kamu yakin? Tanyaku pada wajah dalam cermin.
Aku menggeleng.
Tidak. Aku tak yakin.
Tapi ini adalah pilihan yang terbaik. Demi Danis... dan demi keluargaku.
Melanilah yang sebelumnya melakukan ini... untuk kami.
Kalimat papa terus-menerus berdengung dalam kepalaku. Aku tahu, Melani sudah berkorban untuk keluarga ini.
Sekarang giliranku.
Aku menunduk, tak sanggup menatap wajah pucatku sendiri dan bergegas menyelesaikan menggosok gigiku.
-oOo-
"Pagi, Papa. Pagi, Mam." Aku merasakan papa dan Berta terkejut dengan kehadiranku di meja makan. Papa membalas salamku tanpa berkomentar apa pun lagi.
Aku tak melihat sosok Danis di meja makan. Mungkin adikku masih tidur.
Aku menarik kursi di dekat papa, di depan Berta. Tanganku terulur meraih jus jeruk dan sepotong roti bakar. Mengolesi rotinya dengan selai cokelat. Hanya ini yang sanggup aku makan. Perutku sudah bergolak sejak pertama aku membuat keputusan.
Inilah pertaruhan hidupku. Dan kegelisahan itu kembali menggerogoti pelan-pelan dalam diriku.
Aku meletakkan rotiku yang baru aku gigit separuh. Menggelontorkan jus jeruk ke dalam kerongkonganku. Setelah terasa tidak ada halangan di tenggorokanku, aku mulai bersuara.
"Pap, aku minta nomor ponsel Christopher. Aku ingin bicara dengannya. Secara pribadi."
Papa menengadah dari piringnya dan memandangku sedikit kaku. Mungkin kaget dengan permintaanku. Berta memandang penuh perhatian dari seberang meja.
"Jadi apa keputusanmu, Ariana?"
Aku menunduk menekuri roti di depanku.
"Tergantung dari apa hasil pembicaraan kami, Pap."
Papa menarik napas panjang.
"Apa pun yang akan kamu bicarakan dengan Christopher, kamu tahu bukan apa yang papa pertaruhkan di sini?" Papa melebarkan kedua bola matanya. Kecemasan jelas tertancap di sana.
"Aku tidak akan menyinggung tentang bisnis dan saham, Pap. Bukan. Aku tak pandai dalam hal itu. Ini adalah murni urusan pribadi. Kalau aku memutuskan ya. Papa juga harus mengerti, aku sudah mempertaruhkan hidupku. Dan aku tak mau, seandainya ini benar-benar terjadi, pernikahan ini bakal membunuhku dengan caranya sendiri."
Papa lagi-lagi menghela napas panjang. Ia tahu persis betapa keras kepalanya diriku.
"Papa bisa membuatkan janji untukmu." Papa memandangku.
"Pap, seperti yang aku bilang. Ini pribadi. Aku mau melakukannya sendiri. Sejak awal." Aku menegaskan suaraku.
"Baiklah. Papa akan memberikan nomor pribadi Christopher padamu." Akhirnya papa menyerah.
"Terima kasih, Pap." Aku mengangguk. Sekonyong-konyong sebuah pertanyaan menyembul di kepala. "Pap, kalau boleh aku tahu. Memang tidak ada perusahaan besar lain selain Regan yang ingin membantu papa?"
Papa tampak terperanjat dengan pertanyaanku. Ia mengernyit memandangku.
"Ada. Tetapi papa tidak menyukai mereka."
"Kenapa?"
"Mereka terkenal suka melakukan hal-hal buruk. Ada apa?" Kerutan papa semakin dalam. Aku menggeleng.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja." Aku meraih rotiku dan melanjutkan sarapanku.
-oOo-
Pukul dua belas siang, aku pikir ini saat yang tepat untuk menelepon Christopher. Biasanya pukul dua belas adalah waktu makan siang atau saat bersantai bukan?
Belum tentu! Dia menjalankan sebuah kerajaan bukan seorang pekerja kantoran biasa.
Aku menggeleng tidak setuju dengan pendapatku sendiri. Memandang ragu pada nomor yang mengambang pada layar ponselku.
Yeah, aku memang sudah menyimpan nomor ini dari papa.
Sekarang sudah lima belas menit lewat dari pukul dua belas, dan aku masih termangu di dekat jendela kamarku.
Perutku semakin bergolak, tubuhku meremang, tanganku memegang ponsel dengan gelisah.
Ayo, Ariana!
Akhirnya dengan jari-jari gemetar aku menekan tombol panggil pada nomor Christopher dan membawa ponselku ke telinga.
Panggilanku terjawab pada dering ketiga.
"Regan." Aku mulai menghafal suaranya. Terpotong dan dingin. Aku bahkan bisa merasakan dinginnya sampai pada kedua telapak kakiku.
"Christopher... ini Ariana Darmawan." Aku menjawab sedikit serak. Tiba-tiba napasnya terdengar berubah.
"Ariana. Hai. Aku senang kamu meneleponku. Apa kabar, Ariana?" Suaranya melunak. Apakah dia sedang tersenyum? Aku tak yakin.
"Baik, Christopher. Umm... aku ingin bicara denganmu. Kapan kamu punya waktu?" Aku membayangkan iris mata Christopher tengah menatapku tajam, menerbitkan kegelisahan dalam suaraku.
"Aku ada waktu besok. Jam enam sore. Aku akan menjemputmu."
"Mm... tidak perlu menjemputku, Christopher. Di mana aku bisa menemuimu?" Aku bersikeras.
"Kamu bisa datang ke kantorku, Ariana. Kalau begitu, Juan yang akan menjemputmu." Nadanya mendesak. Lurus. Seperti aku adalah salah bawahannya.
Apakah dia selalu seperti ini? Suka memerintah?
"Juan?" Aku berkerut.
"Sopir pribadiku, Ariana." Suaranya rendah seperti tak sabar.
"Tidak perlu, Christopher. Sungguh. Aku bisa naik taksi ke kantormu. Mm... aku merasa lebih nyaman. Itu saja." Kupikir perasaan nyaman tidak bisa diganti dengan apa pun.
"Baiklah. Kalau itu maumu." Ia menghela napas. Kuduga ia menekan dalam-dalam emosinya.
Yah, setidaknya kamu sudah tahu satu poin-ku. Aku tidak suka diatur!
"Terima kasih, Christopher. Sampai jumpa besok." Aku mulai bisa menarik oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paruku.
"Sampai jumpa, Ariana. Aku menunggumu." Christopher mengakhiri dengan nada dalam. Seperti ia sudah merencanakan sesuatu.
Apakah ia sudah bisa menebak kalau ini bakal terjadi? Ya Tuhan. Mengapa gelisah ini tak kunjung pergi dari diriku?
Aku segera menyingkirkan semua perasaan tak nyaman ini. Besok aku akan mendiskusikan hidupku, masa depanku. Dan aku membutuhkan kepala yang jernih untuk itu.
Aku bersiap-siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fake Bride
General FictionDemi bisnis, Ariana terpaksa harus menikah dengan mantan tunangan kakak perempuannya. Dia tidak pernah menyadari bahwa dalam perjalanan pernikahannya dia harus dihadapkan pada orang-orang di sekitar suaminya yang menginginkan kegagalan pernikahan me...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir