Aku menjadi sangat gelisah sejak malam itu. Lebih tertutup dan menghindari bertemu siapa pun. Sudah dua hari aku tidak ikut sarapan bersama papa dan Danis. Aku sengaja mengindar dari papa karena ia pasti akan menuntut jawaban bila bertemu denganku.
Tetapi yang paling membuatku sedih, aku belum mengobrol lagi dengan Danis seperti yang biasa aku lakukan sejak Melani tiada. Dia pasti bertanya-tanya dengan perubahan sikapku padanya. Padahal aku merindukan adikku, tetapi saat ini aku tak sanggup melihatnya. Melihat Danis seperti melihat kewajiban yang harus aku penuhi dengan segera.
Apa yang harus kulakukan, Melani? Tanyaku terpaku di samping pembaringan abadinya. Hanya di memorial park inilah aku bisa melepaskan sedikit tekanan papa padaku.
Kalau aku menyetujui permintaan papa dan menikah dengan Christopher, aku merasa seperti mengkhianati Melani.
Di samping itu, aku tak mencintai Christopher, dan pria itu juga tidak mencintaiku. Bagaimana aku sanggup menikah dengan kondisi seperti ini?
Tetapi kalau aku menolak. Apa yang akan terjadi dengan papa, Berta serta Danis? Bagaimana nasib mereka nantinya?
Atau aku bisa saja minggat diam-diam dari rumah, tetapi bagaimana dengan Danis?
Aku tak akan pernah memaafkan diriku kalau sampai terjadi apa-apa dengan Danis. Aku yakin seandainya masih bisa bertemu dan bicara dengan Melani sebelum ia tiada, Melani pasti akan menitipkan Danis padaku.
Ketika matahari semakin bergulir ke barat, memburatkan campuran warna jingga dan kelabu di langit. Aku malah terpekur memandang angkasa. Membayangkan tangan Sang Pencipta tengah melakukan pekerjaanNya. Pandanganku nanar. Aku berharap sebuah kilatan inspirasi memasuki kepalaku saat ini karena otakku benar-benar tak bisa diajak berpikir sama sekali.
Tetapi hingga langit berubah kelam dan bayangan sang dewi bulan bersiap mengarungi langit, tetap saja otakku buntu. Aku tak bisa menemukan satu saja alasan paling tepat yang membuatku tak bisa berkelit dan harus mengambil keputusan apakah menerima atau menolak.
Karena saat ini semua pilihan itu mengambang, terpilin dalam batinku.
Menyerah dengan keadaanku, aku beranjak dari kakiku. Berjalan bergegas keluar area memorial park, menyusuri pedestrian menuju jalan raya dan menghentikan sebuah taksi di sana.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika aku membuka pintu kamarku. Aku sangat lelah secara mental dan ingin secepatnya tidur. Rumah ini sangat sepi. Aku tak bertemu anggota keluarga di rumah ini.
Mungkin papa, Danis ataupun Berta belum tiba di rumah.
Namun, bila mengingat kondisiku, hal ini cukup melegakan.
Aku berdiri sejenak di depan easel kayu yang ada di sudut kamar sebelum berangkat mandi. Merenungi sebuah sketsa di atas kanvas yang tergantung di sana. Beruntung aku bisa membuat sketsa ini sebelum papa menyatakan permintaannya. Kalau tidak, mungkin aku tak sanggup menyelesaikannya.
Masih dalam goresan pensil, seorang perempuan duduk di lantai kayu. Ia menghadap ke belakang dengan kedua tangan terkepal di dada memegang sebuah kain putih yang melingkar di tubuh seadanya. Kain itu ia biarkan jatuh di sepanjang bagian belakangnya, sehingga memperlihatkan punggung telanjang yang tertutup sebagian oleh rambut hitam panjang serta bergelombang pada ujungnya. Kepalanya menoleh menunjukkan paras cantik dan lembut dengan celah bibir merah merekah sempurna.
Secara keseluruhan sosoknya terlihat pasrah, namun kesan itu langsung dipatahkan oleh sorot yang memancar dari kedua bola matanya, begitu dalam, keras dan penuh tantangan. Sepasang bulu mata lebat menyempurnakan kemisteriusan wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fake Bride
General FictionDemi bisnis, Ariana terpaksa harus menikah dengan mantan tunangan kakak perempuannya. Dia tidak pernah menyadari bahwa dalam perjalanan pernikahannya dia harus dihadapkan pada orang-orang di sekitar suaminya yang menginginkan kegagalan pernikahan me...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi