2.PAPA

55 8 18
                                    

Papa menyuruhku naik ke mobil Mirage nya, tumben Papa jemput,  Papa kan termasuk orang yang sibuk.

Biasanya aku pulang naik bis, angkot,  ojeg atau apalah, tergantung aku sedang ingin naik transportasi yang mana, terkadang Pak Asep, supirnya mama yang menjemput.

"Terakhir di jemput pas kelas satu SMA ya,  sekarang udah kelas berapa?" tanyanya membuat aku meradang.

"Papa sih,  sibuk terus, sekarang aku udah kelas tiga Pa, ini hari kedua aku jadi kelas tiga". Seruku kepada Papa yang mulai menyalakan mobilnya, wajah papaku bisa di deskripsikan seperti Ferry Salim without sunglasses, hanya tidak terlalu sipit dan kulitnya pun berwarna coklat, Sundanesse version lah.

Papaku punya pekerjaan yang terbilang keren,  dulu dia adalah seorang pembalap, bisa dikatakan senior di dunia balap rally mobil, tapi sekarang Papa lebih memilih menjadi co-driver, tugasnya adalah memberi navigasi untuk jalur yang akan dilewati oleh driver nya.

Papa juga mengajari pembalap muda yang ingin belajar kepadanya, yang anehnya Papa tak segan-segan mengajari orang yang ingin belajar menyetir mobil, ia memang sibuk di sekolah safety driving, kebanyakan kegiatan Papa adalah di Jakarta, karena dulu kami memang tinggal disana, dan Papa asli orang sana,  hanya keluarga Mama saja yang tinggal di Bandung, kami pindah ke Bandung sewaktu aku kelas 1 SMA.

"Mau makan dimana? " tanyanya, ini adalah momen yang sering kami lakukan ketika ada waktu bersama. Q-time with my father.

"Nggg.... Resto apa street food?" tanyaku.

"Papa pengen makan cuanki Deb" serunya.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu mobil dari luar,  saat itu jalanan agak sedikit macet di jalan R.E Martadinata.

Seorang pria mengetuk pintu mobil Papa, pria itu adalah seorang pengemis, terlihat dari bajunya yang kotor dan compang-camping, umurnya sekitar empat puluh tahunan, aku tahu pengemis itu, pengemis gadungan yang pura-pura buta.

Baru saja aku ingin mencegah dan memberi tahu Papa, Papa malah membuka kaca mobil dan memberikan satu lembar uang seratus ribu itu kepadanya, pengemis itupun pergi dengan mengucapkan terimakasih berkali-kali.

"Ikh..  Papa, Debri tau pengemis itu cuma pura-pura gak lihat". Seruku ketika pengemis itu pergi, Papa melihatku heran.

"Tahu dari mana kamu?" tanyanya.

"Pengemis itu suka beli rokok di warung Bi Sari,  Debri pernah lihat kok, gak buta, Bi Sari juga bilang gitu" ujarku yang tahu bagaimana keseharian pengemis itu.

Mobil mulai melaju lagi, Papa diam sejenak, akupun sama.

"Deb, kalo ada orang yang minta, kasih aja, kalo di kita memang ada uangnya,  kenapa tidak".

"Keenakan buat dia Pa,  kan ada pengemis yang lebih membutuhkan dan memprihatinkan". Aku tetap tidak setuju, aku termasuk orang yang pemilih dalam memberikan uang.

Papa malah tertawa.

"Deb, emang kamu tahu dari mana, pengemis yang lebih membutuhkan dan yang tidak?". Tanyanya, aku malah menggeleng. Iya juga.

"Dimana-mana orang yang mengemis itu orang yang membutuhkan Deb".

"Tapi bikin orang itu malas dan gak mau kerja Pa, apalagi pake cara menipu". Aku tetap tidak setuju seratus persen.

"Itu masalah dia sama tuhannya, yang penting kita ikhlas ngasih nya,  ikhlas nolongnya". Ujarnya seperti ingin memberikan pengajaran nilai kepadaku.

"Gitu Deb". Nada bicara Papa mulai melunak. Kami berpandangan, akupun mengangguk mengerti.

"Lagian Papa juga jarang ketemu sama pengemis". Sambungnya kemudian.

"Emang seringnya ketemu sama siapa gitu?" tanyaku menggoda Papa, ekspresiku sama seperti Mama yang senang menginterogasi Papa.

"Pengamen! " serunya. Kamipun tertawa.

"Sama aja kali Pa". Aku selalu menyamakan pengamen dan pengemis, keduanya sama, suka minta dibayar.

Papaku hebat. Ya mungkin karena Papa sendiri, tapi aku senang menghabiskan waktu bersama Papa, kami banyak membahas masalah pelajaran sekolah, sosial, kadang politik, meskipun kurang mengerti. Apapun bisa kami bahas, bahkan orang yang tidak sengaja lewat sekalipun.

Papa baik kepada semua orang, anehnya aku tidak, malah terkesan sinis dan skeptis terhadap sesuatu, ada yang bilang seperti itu, aku pikir tidak juga, aku hanya mencoba realistis.

"Mama nggak ikut Pa?" tanyaku, biasanya kalau Papa jemput, Mama suka ikut. Kami bertiga memang keluarga kecil, hanya ada Papa, Mama dan Aku, anak perempuan dan satu-satunya.

"Lagi ada masalah dibutik katanya" jawab Papa. Mama memang mempunyai butik sendiri, nama butiknya Simply Boutique, lokasinya ada di jalan W. R Supratman.

"Masalah apa Pa?"
"Kurang tahu,  nanti juga Mamamu cerita" kata Papa kemudian memarirkan mobilnya. 

Tidak terasa kami sudah sampai ke tempat tujuan kami, Bakso cuanki dan batagor serayu.

Next.......

DEBRINA (TEMAN HIJRAH) On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang