"Kang Seulgi?"
Nyaris tak heran setelah nama yang begitu familiar mengarungi telinga Ms Boa. Guru perempuan dengan eksistensinya sebagai pihak kesiswaan itu menyender tubuhnya penuh pada sandaran kursi. Memijat pelipisnya, nampak mengontrol pening yang menghujam kepala.
"Jadi, kamu diutus menjadi guru pembimbingnya Kang Seulgi?" Ms Boa membawa tubuhnya duduk menegak kembali. Memperoleh anggukan atas pertanyaannya dari gadis cantik di hadapannya.
Senyum simpul sempat tercipta pada wajah Ms Boa. Melihat kumpulan data akan riwayat pendidikan Bae Irene yang cukup cemerlang, tak membuat dirinya ragu akan tahapan bimbingan darinya. Namun jauh dalam relungnya tersemat keraguan yang besar. Bukan pada Irene, melainkan bagaimana Kang Seulgi itu sendiri.
"Siswa kami yang satu ini, sudah terkenal dengan kebandelannya. Miss sendiri sebagai bibi nya, bahkan notabene bidang kesiswaan di buat angkat tangan menghadapi sosok Seulgi. Sudah banyak guru pembimbing yang menangis juga langsung mengundurkan diri menghadapi murid semacam Seulgi."
Tanpa berniat menggoyahkan pun Ms Boa harus mengungkapkan kebenaran yang mengerikan itu. Tak pernah sosok pembimbing yang di gunakan jasanya untuk Seulgi, merupakan deretan individu yang bodong, semuanya telak berprestasi. Namun kunci perubahan tak mempunyai rasa efektif untuk Seulgi. Semuanya menyerah, ayahanda pria bermarga Kang yang tak lain ialah pemilik sekolah itu bahkan hilang akal.
Tak tahu, cara semacam apa yang mampu mengubah sikap frontal anaknya. Berharap ada guru pembimbing yang mampu menuntun anaknya dalam jenjang karir kelas yang sedang dalam tahap persiapan ujian. Tak pernah serius belajar, walau tahu dirinya adalah salah satu siswa berlabel fokus yakni kelas dua belas.
"Catatannya benar-benar kosong. Tentu ayahnya gelisah, bagaimana Seulgi akan menghadapi ujian tanpa bahan materi sedikitpun?"
Canggung, kikuk. Telak menohok dan terasa merupakan tantangan terberat mendengar cerita Seulgi lebih banyak yang nyaris terasa liar. Irene tahu apa yang tengah ia indahkan. Menerima pekerjaan yang bahkan tak cuma membuat beberapa orang langsung mengundurkan diri dengan segan. Namun juga menangis tak terkira di perlakukan frontal oleh siswa laki-laki terbandel di sekolah tingkat menengah atas itu.
"Terdengar berat, tapi akan saya usahakan untuk membimbingnya buat lebih baik" Irene berkata tenang. Tak tahu juga, apa ia yakin dengan apa yang ia katakan barusan setelah penuturan kisah Seulgi begitu buruk untuk di jinakkan.
"Baiklah, Ayah Seulgi menitipkan upah awal menjadi guru pembimbingnya padamu" Tepat setelah sodoran kertas yang di dalamnya ialah upah awal untuknya, Irene terima.
Gadis itu pamit sebelum menggapai kedua tongkat bantu berjalan miliknya. Dan membawa diri keluar ruangan. Meninggalkan sosok guru kesiswaan yang tersenyum tipis. Upahnya memang tak kecil namun sakit hati yang akan mendatang jauh lebih besar. Ada baiknya Ms Boa menaruh harapan besarnya pada Irene. Meniti harap agar supaya gadis itu berhasil menentengnya tanpa mengalami kejadian yang sama dengan guru pembimbing lainnya yang telah gugur menghadap Seulgi.
...
Derap ketukan langkah lengkap dengan sahutan tongkat menggiring langkah Irene dengan senyum lebar. Gadis yang baru saja melewati semester duanya di menara gading itu tak dapat menutupi binar menyala bahagia di wajahnya.
Irene yakin Adik-nya tak akan lagi di kenakan dispensasi akan biaya sekolah yang sering terhambat. Setelah apa yang ia peroleh nyatanya lebih dari cukup. Iya, berharap dapat menutupi semua utang-piutang yang menggulung dengan bekerja sebagai guru pembimbing yang nyatanya belum menyabet gelar sarjana. Bukankah itu suatu keberuntungan yang dimiliki Irene?