Jaraknya cukup untuk membuat Junel menarik kedutan bibir. Tersenyum lebar dan tentu saja ia tak mengerti kenapa. Hanya dengan melihat sosok Jisoo, siswi kelas 12 IPA 1 senyum dalamnya terpancar.
Bukan. Bukan Junel tersenyum karena visual Jisoo yang memang akan membuat seseorang melempar kata cantik begitu saja. Tetapi sisi berbeda gadis itu. Dimulai dari awal ketika ia mengikuti langkah ayah dan putri dalam diam dan mendengar keduanya berbagi keluhan bersama tameng bahagia. Junel begitu iri melihat interaksi anak dan orang tua tersebut.
Manis namun menyesakkan.
Dinding menjadi sandaran sekaligus saksi utama Junel yang berdiam diri sembari memperhatikan Jisoo dengan jarak empat kelas jauhnya. Ia menghela napasnya. Ada debaran gembira menyusup di hatinya saat menangkap senyum tipis Jisoo tatkala gadis tersebut sibuk menatap ke arah bawah. Di mana banyak siswa bergerumul menyorakan seruan dan juga dukungan karena sependek ingatan Junel, telah terjadi pertandingan persahabatan bola basket antar sekolah. Dan sekolah SMA Garuda ikut terlibat saat ini.
Junel menggeleng kepalanya bersana kekehan geli. Sejenak, ia menjadi seperti orang gila yang akan tersenyum tanpa alasan. Belum lagi atensi Jisoo yang bisa dikatakan telah Junel nikmati tanpa sepengetahuan gadis itu. Begitu lama, sampai dia yakin bahwa menatap seseorang seperti itu sudah sangat tidak sopan. Mengapa tak langsung menghampiri dan menghujaninya dengan berbagai percakapan?
Junel menggeleng sekali lagi. Bertemu dan mengobrol? Itu bukan ide yang buruk, tapi.. pertanyaan dan pernyataan ramah Junel beberapa jam yang lalu bahkan tak di gubris gadis berambut hitam legam yang panjangnya sebahu itu.
Maafkan Junel. Ia hanya merasa bingung dengan Jisoo. Niat pertamanya waktu itu hanya ingin berkenalan namun termakan malu serta canggung kala Junel tak dihiraukan atensinya. Junel menaruh kecewa pada pertemuan itu. Sejauh ini, tidak ada seorang perempuan yang menganggurinya seperti Jisoo.
Oh ayolah, Junel tidak begitu buruk melalu penampilannya yang terbilang rapi. Seragam terapit rapi dalam celana. Berhiaskan dasi yang menambah apik penampilan. Belum lagi ikat pinggangnya yang menorehkan pesona wibawa seorang pelajar. Junel yakin, gayanya benar-benar jauh dari kata urakan. Lalu mengapa Jisoo seperti terganggu olehnya?
Tanpa sadar tangan kananya terulur meremas dadanya perlahan. Sial! Ada nyeri yang ia rasakan namun terkesan Ini aneh, seorang Jisoo telak membuat Junel berpikir keras. Dengan alot pertemuan yang di katakan tak begitu berarti.
"Nih cewek punya candu apa sih!?" Junel menyerah. Rambutnya di jambak gusar. Cukup sudah. Junel ingin memantapkan diri. Mencoba sekali lagi membangun obrolan dengan gadis manis bernama Jisoo.
"Kalo cowo yang pirang itu namanya Riza,"
Dan sambutlah keterkejutan Jisoo yang mendapati Junel bersama ujaran tak jelasnya. Junel memilih menghiraukan wajah gadis yang terkejut dengan memandang pertandingan yang memakai kacamata seorang cowok itu tengah berlangsung sengit. Ingat! Kata pertandingan persahabatan hanyalah kiasan. Tetaplah adu kuat dan gengsi akan menjadi alasan ambisi di masing-masing pemain. Junel terlalu cerdik untuk mengetahui itu.
"Gaje."
Junel mendengar gumaman kesal gadis itu. Terlalu ringan di telinganya walau kata suara bising juga teriakan siswi-siswi disana terdengar mendominasi latar suara saat ini.
Mata tajam namun berbinar lembut milik Junel turun menatap Jisoo di sampingnya. "Gak jelas apanya, hm? Dari tadi gue liat, elo itu natap pemain pirang bernomor punggung 7 di bawah sana. Tertarik?" memang benar yang di katakan Junel.
Namun tak berkilah akan pesona Riza saat memainkan si kulit bundar dengan apik. Sahabatnya itu tak ayal akan menjadi idaman para gadis jika telah bermandikan keringat di lapangan seperti itu. Tampan dan membakar. Sial! Riza suka sekali mencari perhatian. Bahkan perhatian Jisoo.