(9). Salah Tingkah

878 97 32
                                    
















Setelah kejadian Seulgi yang terisak beberapa waktu lalu, Irene dapat merasakan perubahan signifikan dari murid bimbingannya itu. Sekarang ini kemeja putih selalu terpakai rapi membungkus tubuhnya. Ada gesper yang menyempilkan pesona tersendiri setiap kali bajunya terapit dalam celana. Hanya saja, Seulgi menerapkan bajunya terapit dalam celana hanya ketika barisan pagi di mulai.

Setelahnya kemeja putih itu, keluar dalam apitan.

Tingkat bandel Seulgi memang masih melekat. Irene tidak mau banyak protes.  Perubahannya harusnya seperti itu. Perlahan namun pasti.

"Ehem, itu tumben sepatunya bersih? Baru cuci?" suara Irene sarat menyindir.

Pagi itu, Seulgi banyak mengernyit. Guru pembimbingnya cerewet sekali hari ini. Menyindir tingkat perbedaan Seulgi dari hari ke hari. Mulai dari seragam, sepatu, juga pola belajar Seulgi yang sekarang tidak banyak mengeluh. Aneh memang.

"Hm, udah banyak tai kucingnya jadi cuci deh," Seulgi menjawab cuek.

Selanjutnya Irene tertawa terpingkal. Seulgi mengernyit menatap gadis itu. Irene sedang ceria, dan itu sangat kentara.

"Dih! b aja dong," Seulgi mencodongkan tubuhnya menghimpit ruang duduk Irene.

Irene jelas reflek mendorongnya. "Apasi, jauh-jauh sana. Bukan muhrim!" katanya dengan telunjuk menunjuk Seulgi.

Seulgi meraih tangan Irene yang menghadangnya, bergerak perlahan lebih dekat ke arah Irene. Gadis kuliahan itu gelagapan. Memandang Seulgi was-was dan berusaha menahan dada Seulgi yang lebih mendekat.

"Kamu mau ngapain?!" Kepala Irene secara reflek mundur kebelakang. Bangku taman yang memuat dua orang duduk bersamaan membantu aksi Seulgi. Irene betul-betul gugup, tangannya yang mungil lebih erat menahan dada besar pria yang terbalut seragam putih itu.

"Seulgi! Ih~!" Akhirnya Irene hanya bisa berpaling muka. Enggan menatap Seulgi yang menusuknya lewat tatapan tanpa kejelasan.

"Seulgi, nanti diliatin orang gimana?!" Irene panik. Dia memang tidak tahu jelas wajah Seulgi sedekat apa dengan wajahnya. Namun ia merasakan tubuh besar Seulgi terus bergerak mendekat.

"Oh, jadi maunya ditempat yang ga ada orangnya, nih?"

Suara Seulgi yang terdengar santai juga menggoda sungguh menyentak Irene. Gadis itu buru-buru berpaling, niat utamanya ingin memberikan Seulgi secarik air muka yang garang. Tapi sayang sekali, Irene justru terjebak.

Terjebak dengan visualisasi mendekati sempurna dalam radius sejengkal.

Irene terdiam tatkala irisnya menyambar iris sang murid bimbingan. Seolah-olah dimata itu terdapat seonggok dunia lain yang mempesona. Wajah Seulgi seakan mempunyai efek bius secepat kilat yang menghantarkannya dalam ruang tidak sadarkan diri.

Irene di makan keheningan. Matanya yang bulat betul-betul menjejal semua sudut wajah Seulgi. Alis tebal nan tegas, menambah lekuk wajah bijaksana. Hidung bangir, pipi berisi, dan bibir tipisnya yang melengkapi segala paket sempurna.

Oh sial! Irene baru menyadari sesuatu. Mata sipit Seulgi memiliki pancaran iris kebiru-biruan. Tidak terlalu cerah seperti milik Wendy yang khas, namun jika penampakan mata itu dilihat sedekat ini, Irene akan mengakui dengan segan bahwa itu sempurna.

"Apa? Biasa aja itu matanya liatin guenya. Ntar elonya hilaf gimana?"

Irene tersentak. Langsung sadarkan diri dan mendorong wajah Seulgi. Sebetulnya bahaya, Irene saja seperti orang linglung. "Apasi, yang ada kamunya yang hilaf," Irene kembali berpaling tatap. Yakin benar dia, kalau semburat merah sementara berpijar di wajahnya saat ini.

Frontal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang