Entah bagaimana caranya, yang pasti Seulgi tidak sadari. Pelukan posesif dari belakang tubuhnya merayapkan banyak keterkejutan. Punggung tangan putih Irene melingkari kungkungan tubuh besar Seulgi.
Ini, apa Irene kembali?
"...Rene, elo...?"
Suara Seulgi masih bergetar, tangisnya sedikit senyap kala Irene datang secara tak disangka. Ujaran Seulgi terhenti, padahal tadinya ia terus merutuki Irene. Mencemoohnya dalam hati bahwa Irene sama saja dengan Ayahnya itu. Meninggalkannya tanpa tahu Seulgi itu sedang hancur.
"Gi, kamu kenapa? Maafin aku, jangan nangis lagi," rekatan peluk Irene semakin menjadi. Yang pasti Irene menyesal, sehabis meninggalkan Seulgi, murid bimbingannya ini menangis. Kesalahannya atau bukan, yang pasti Irene yakin Seulgi sedang dalam situasi tidak baik.
Seulgi perlahan turun dari motornya, pelukan Irene tak berani ia uraikan. Justru saat ini Seulgi butuh sebuah sandaran. Dan ternyata Irene tidak seperti yang ia kira. Irene peduli pada Seulgi.
Tanpa menghapus bekas becek air mata, Seulgi mengangkat dagu Irene. Seulgi banyak berharap doa dan harapan mamanya sebelum jauh meninggalkan Seulgi ada benarnya.
"Mama yakin, kamu tuh nantinya disegani Seulgi. Sampai di antara banyak perempuan, satu yang tersisa, jadi sandaran kamu, tempat kamu nangis, teman kamu tertawa, ruang untuk kamu curhat, dan seseorang terpercaya yang akan gantiin sosok mama buat kamu."
Seulgi nyaris menepis dan membenci perkataan mamanya. Sudah jelas mamanya berkata seolah ingin pamit dan meninggalkan semua kisah kasih yang terajut. Jauh, tinggi, dan sedalam apa pun hajat doanya, mamanya memang di takdirkan pergi setelah meninggalkan kata-kata yang memenuhi ruang lingkup semua kenangannya bersama sang mama.
"Elo, ga pulang bareng Wendy?" Isak Seulgi hilang, seseorang yang mengganjal benaknya terucap kala itu.
Irene menggeleng sebagai jawaban. Tongkat bantu di kedua sisi tubuhnya di kokohkannya lagi sebelum benar-benar membawa kedua tangannya menyapa pipi gembil Seulgi. Irene menghapus sisa cairan bening di pipi Seulgi.
"Dia udah pulang, aku tadi bilang sama dia, mau pulang bareng kamu. Dan dia ngijinin," Irene senyum.
Tidak ada efek pengobatan yang manjur, namun Seulgi berdebar senang. Senyum sungguh tertarik lebar. "Kirain lo ninggalin gue," Seulgi tertawa gugup. Mengambil kedua tangan Irene dan menggenggamnya.
Irene balas tertawa. Gemanya mungil. Dan itu menggemaskan. "Masa aku ninggalin kamu, lagian kamu juga tanggung jawab aku sebagai guru bimbingan. Wendy dia ngerti kok,"
Alasan klasik memang, tapi Seulgi belum bisa memastikan debarannya mereda. "Pacar lo, yah? Pake izin-izin segala," bibir tipis Seulgi mencebik.
Dan Irene dibuat tertawa sekali lagi. "Wendy maksud kamu? Ya enggaklah, aku tuh sama dia cuman temenan. Ga lebih kok, dia pulang bareng aku sekalian nolong gitu, habisnya angkot sini pada susah. Mereka tau kawasan SMA Garuda itu rada ga aman. Kemarin aja pas dapet bus, kena sedikit macet gara-gara ada demo."
Seulgi berdehem. Sekarang ia benar-benar gugup setelah mendengar ucapan demo dari guru pembimbingnya.
Irene melihat air muka pria itu jelas sekali. "Jangan-jangan....?" Tangan kanan Irene terlepas dari genggaman. Sebab saat ini telunjuknya mengarah ke wajah Seulgi.
Seulgi kelabakan. "Jangan-jangan apa?" katanya tak sabar.
Irene tertawa, "Seulgi," Irene mengusap surai hitam pendek murid bimbingannya. "Jangan demo lagi yah, aku ga suka. Aku liat jelas kok waktu itu kamu yang jadi pawangnya sorak-sorak sok jago,"