Setelah pertemuan yang berlangsung tak menyenangkan dengan Seulgi, Wendy diseret Irene paksa meninggalkan lingkungan SMA Garuda. Harus. Karena kejadian sengit dengan saling jual beli pukulan mewarnai kejadian kala itu.
Seharusnya sudah dari awal untuk Irene yakini sesuatu seperti saat ini akan menjadi jawabannya. Pertemuan tiba-tiba keduanya tentu saja mempunyai penghujung angkara yang berakhir melukis sedikit warna hitam-keunguan di wajah. Terkhususnya wajah kebarat-baratan Wendy yang sekarang bercorak lebam akibat beberapa kepalan tangan besar Seulgi berhasil mendarat mulus pada wajahnya.
"Bandel kan! Dibilangin tunggu di luar aja, nggak mau. Bonyok kan kamu!" protes Irene nyatanya belum usai. Terus mencerahi Wendy dengan segenap kekesalan yang berbau khawatir atas pria itu. Terlebih luka lebam yang dialami Wendy. Lebih mendorong kobaran ocehan Irene.
Suara desisan Wendy menyusul setelah kapas yang sudah diberi perasan obat merah terasa berdenyut membasahi pelipisnya yang bernasib malang. Harus ikut menjadi korban keganasan pada peperangan tak berkelas.
"Dia juga bonyok. Kita seri berarti," Sahutan bernada santai Wendy justru menjadi jawaban. Tahu betul, kondisi memar di wajah sudah bukan hal asing lagi. Jadi tak ada keanehan jika pada faktanya Wendy sudah terbiasa atas peristiwa yang menderanya itu.
Mendecak nyaris menggeram. Sedikit kesal Irene berusaha menghadapi Wendy sisi yang ini. Sisi buruknya yang keras kepala dan sulit ditentang. Jika dengan berat harus mengakui keras kepalanya itu merupakan benteng kokoh Wendy yang tergolong mustahil untuk dapat di taklukan.
"Udah yah. Aku nggak mau liat lagi kamu datang nyelonong masuk gitu ajah ke SMA Garuda. Kelihatan siswa-siswa disini nggak isin banget sama siswa beda sekolah! Hampir aja kamu di keroyok," Irene masih berujar sedikit memakai nada yang mengoceh.
Membeberkan fakta yang hampir menerjang Wendy jika saja Irene tak datang menengahi sudah pasti Wendy telah menjadi mangsa empuk yang siap di jajah. Tanpa sadar kekesalannya tak sengaja membuat kekuatan tangannya bertambah saat itu juga. Reflek kapas yang tadinya memberi sensasi pelan justru menekan.
Wendy jadi meringis, merasakan tekanan tangan Irene di atas pelipisnya teriring berkekuatan. Tangannya sudah terangsur menahan tangan Irene yang terasa makin menekan. Berakhir mengamankan pergelangan tangan Irene dengan cara memeluk tangan gadis yang kini dibuai keterdiaman.
"Pelan-pelan buk negara.. Sakit ini," masih berjongkok, Wendy berlagak cemberut pada posisinya. Terlampau dekat dengan individual berwajah indah di hadapannya. Tak peduli bahkan mengabaikan bisikan penuh keheranan mereka-mereka yang kebetulan saja ada dalam lingkungan kantin yang disinggahi Wendy juga Irene.
Ck.. Tentu saja keduanya mendapat serangan cuma-cuma melalui bisikan nyaris menghakimi. Seolah tengah di hadiahi tontonan bernuansa romantis tetapi berlatar tak ideal. Kantin.
Sigh. Wendy terlalu sibuk untuk melayani bualan semata dari pemikiran mereka yang terselingi pikiran negatif. Berpikir bahwa Wendy bersikap tak senonoh dengan Irene. Well mereka tidak sedang berbagi kasih di tempat penuh makanan itu, tetapi mata pengunjung yang saling bersinggungan tempat duduk, mudah berspekulasi dengan posisi Wendy layaknya ingin mencium gadis di hadapannya.
Dan sepenuhnya ia tak peduli. Toh Irene juga seperti tak menghiraukan cicitan itu. Karena memang tak ada di antara keduanya berkeinginan memperagakan acting dengan skenario romantis. Ingatkan Wendy bukanlah individual pria yang romantis, karena yang dilakukan pria berambut acak dengan warna blonde kentalnya ini, semata hanya reflek.
"Mau makan?" pertanyaan singkat meluncur dari bibir Irene. Bergerak merapikan beberapa peralatan medis sederhana untuk kembali gadis itu kantongi dalam tas plastik hitam. Dengan tangan satunya di peluk Wendy sadar tak sadar.