"Kata Yeri, kemarin lo nyariin gue. Ada urusan apa lo sama gue?" Seulgi bertanya to the point. Dalam raut wajahnya, Seulgi tidak begitu tertarik untuk memperpanjang obrolan. Karena dalam sejarahnya, Seulgi tidak pernah menghampiri seseorang walau sekadar berbasa-basi. Inilah kali pertama dirinya rela menyapa. Karena sebuah alasan, Seulgi jadi sedikit penasaran, sebab gadis di depannya ini terlihat dekat dengan salah satu rivalnya.
Kejadian pagi tadi sudah menjadi bukti untuk Seulgi yakini.
Irene menghela napas. Ia tidak harus menyesali keputusannya mengenai pekerjaan sebagai guru bimbingannya Seulgi. Setidaknya Ms.Boa telah membeberkan fakta yang sudah semestinya ia ketahui. Bahwa pria bermata sipit di hapannya ini adalah seseorang yang minim akan tata krama.
"Iyah, aku kemari sebagai guru bimbingan kamu. Ternyata bener, kamu butuh bimbingan." Irene tidak menyangka ia bisa membentuk senyum miringnya untuk di layangkan pada Seulgi.
Mungkin sisi yang seperti inilah yang Irene butuhkan. Menjadi Irene si tegas dan bukan Irene si manja.
"Gue gak butuh elo! Gue akan pinter tanpa bantuan orang lain. Sekarang, lo bisa pergi dari sini!" Seulgi berkata acuh. Tak ada yang berubah dari tingkahnya. Yaitu suka pergi tanpa percakapan yang usai.
Irene menahan dirinya untuk tak meneriaki Seulgi. "Faktanya kamu itu butuh bantuan orang lain. Untuk ngubah kamu jadi lebih baik lagi," Irene berharap Seulgi berbalik, dan mengubah pemikirannya.
Namun sepertinya, Irene mendapat pelajaran utama dari siswa frontal ini. Yaitu tidak bisa untuk memanjatkan harap pada seorang Kang Seulgi. Pria itu sudah membawa dirinya duduk pada sebuah bangku di taman belakang sekolah tanpa menghiraukan atensi Irene.
Tak begitu jauh dari titik Irene berdiri, hingga suara Seulgi kembali terdengar. "Jadi, lo kesini mau ngubah gue jadi orang baik?" Seulgi melempar tanya seolah tak percaya. Pria bermarga Kang tertawa. Mustahil. "Mending lo pergi, karena misi lo itu gak akan pernah berhasil. Gue orangnya jahat sih,"
Menggeleng kepala, Seulgi tersenyum miring. Ia menghujami Irene dengan tatap tak menyenangkan "Gak ada orang baik di dunia ini kalo lo tau btw. Lagi pula, gue itu nakal, suka bolos, mainin cewek, berantem, nyuri bahkan" tawa meringis Seulgi perdengarkan. Ia tak paham. Mengapa masih ada orang yang berniat menjadikannya siswa terpelajar, sementara niatnya membuka buku pun tak lagi terselip dalam benaknya.
Sejenak tawa remeh dari bibirnya terhenti. Seulgi memangku kaki. Meraih sesuatu dalam saku celananya. Hingga korek api tesedia dalam apitan tangannya. "Jun, rokok lu bagi."
Irene lah pihak yang di penuhi keterkejutan. Ia menoleh pada Junel yang berada tepat bersebelahan dengannya. Luar biasa, permintaan Seulgi yang di tujukan pada Junel bukanlah karangan semata. Junel telah melempar bungkus rokoknya yang di tangkap begitu lihai oleh Seulgi.
Terkikis sudah penilaian baik Irene pada seorang Junel. Jika penilaian pertama yang ia gelari pada seorang Junel sangatlah kontras dengan Seulgi. Ternyata, sama saja.
"Jun, kamu!?"
Junel tak memedulikan perubahan air muka Irene. Ia sudah yakin kata tidak percaya dari seorang Irene tertuju langsung padanya. "Setidaknya lo coba dulu Seul. Kali aja lo jadi orang baik," sejenak ia menoleh. Wajah penuh tak mengerti Irene lah yang tersorot matanya.
"Lo jangan salah paham sama gue,"
Irene semakin tersesat dalam labirin kebingungan dari permainan kedua pemuda ini.
"Halah sok iye lu! Sini ngerokok, nanggung nih sendirian."
Atensi Seulgi kembali menarik Irene. Junel sudah berjalan dan menduduki dirinya bersama Seulgi dalam bangku panjang.