TAK ADA SENJA*
14 January 1999.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku bahkan sudah tidak mengingatnya lagi. Semua masalah-masalah itu. Ayah juga tidak mengingtanya, dan aku tidak ingin memberitahunya. Jadi kuanggap saja, tidak ada ulang tahun di hari ini.
Dan hari ini adalah hari pemakaman Ibu. Kado terindah yang Tuhan berikan. Kalian tahu bagaimana perasaanku yang sekarang bukan? Aku tidak ingin membahasnya lagi.
Aku kembali sakit. Semesta tahu kalau tenaga yang kukeluarkan untuk bertahan pada semua cobaannya sudah di ambang batas.
Jika Kau tahu kekuatanku tidak sehebat itu, mengapa Kau masih saja membiarkanku tersiksa seperti ini, Semesta?
Mengapa harus Ibu? Mengapa tidak bisa orang lain saja? Mengapa harus Ibuku? Dia itu senyumku, Semesta. Rasanya seluruh tulang di tubuhku retak satu per satu. Bagaimana Kau tahu kalau aku akan mampu menghadapi semua ini, Semesta? Aku hanyalah seorang anak kecil yang baru saja belajar mandiri dari sebuah senja yang Kau-titipkan. Untungnya masih Kau-suguhkan senja itu padaku.
Tapi semesta, jika ingin mengambil kebahagiaanku, apakah tidak bisa selain Ibu? Dia adalah segalanya untukku. Jangankan mengkihlaskan, hal seperti ini saja bahkan tak terfikirkan olehku. Mengapa hal seperti ini tiba-tiba saja terjadi. Sudah terlalu banyak kenangan indah tentang Ibu yang masih tertinggal dan bahkan meminta untuk diulang kembali. Tapi, sudah tidak bisa lagi.
Aku benci bernasib seperti ini, Semesta! Aku benci sekali. Mengapa harus aku? Aku tidak suka plot seperti ini. Bahkan aku tak ingin Kaulanjutkan cerita ini.
Kita layaknya sedang berhubungan jarak jauh saja. Dan aku benci sekali dengan sebuah hubungan jarak jauh, hubungan jarak jauh yang bahkan tidak akan pernah bisa lagi mempertemukan kita. Tidak mudah bagiku untuk merelakanmu pergi begitu saja, Ibu. Sebab kematian bukanlah sebuah hubungan jarak jauh yang disuatu ketika semesta akan mempertemukan kita lagi di bumi ini. Bukan seperti itu, Ibu.
Jika dipertemukan pun, mungkin aku yang harus menemuimu di sana, Ibu. Aku sangat benci sekali dengan hubungan jarak jauh. Ibu, jika semua ini takdir bagiku yang harus merelakanmu, aku minta maaf kalau aku tidak pernah mau mengakui takdir ini.
Hari demi hari telah berlalu. Minggu demi minggu telah berlalu. Valentine Daykulewatkan tanpa keberadaan Ibu. Dan untuk yang pertama kalinya dalam hubunganku dengan Fahri, Valentine Dayku kulewatkan tanpanya.
Ayah sudah mulai merelakan kepergian Ibu. Tidak denganku. Dia diberi waktu tambahan sudah dari kejadian yang menimpa kotaku. Dan sekarang dia diberi lagi waktu seminggu untuk tetap tinggal di Ambon. Sebab, dia masih memikirkan nasibku yang entah akan bagaimana bila tanpanya. Oh iya, rumah kami sudah hangus. Terbakar dengan semua kenangan yang ada di dalamnya. Dan dalam beberapa hari ini, aku dan Ayah tinggal pada penginapan terdekat.
Seluruh komplek perumahanku terlihat bagaikan tempat yang tidak pernah ada kehidupan di dalamnya.
15 February 1999.
"Tidak ada lagi yang mau membangun tempat tinggal di sana. Kita harus segera pindah, Nidya," ucap Ayah pagi itu.
Aku benar-benar letih sekali dengan tenaga maupun pikiranku. Aku tak tahu harus menghadapi siapa lagi. Entah itu Ayah yang diminta sesegera mungkin pindah ke Jakarta bersamaku, Maria yang kini mengamatiku bagaikan sedang melihat musuhnya, atau Fahri yang sampai saat ini pun masih belum terbangun juga.
"Siang nanti, aku ingin ke rumah sakit, Yah. Bertemu Fahri," kataku pada Ayah.
"Apa lagi yang mau kamu perbuat dengan lelaki yang tidak jelas umurnya itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Jakarta
Romantik"Senja adalah keindahan tersingkat yang pernah langit suguhkan untukku. Dan kamu seperti senja, suguhan tersingkat yang pernah Tuhan ciptakan untukku. Kenapa sampai kamu yang baru saja datang, kemudian sudah pergi lagi? dan mengapa Tuhan harus menci...