KAKTUS*
Aku terbangun.
"Kanidya, akhirnya," ucap Ibu yang kemudian memelukku. Aku masih belum melihat keberadaan Ayah.
Aku tidak mau banyak bertanya lagi tentang kejadian semalam. Aku memang pingsan, tapi bukan berarti aku amnesia atau bodoh sehingga lupa apa penyebab aku bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit ini.
Sebenarnya, aku juga tidak ingin mengingatnya, dan juga tidak ingin menuangkannya dalam sebuah tulisan menjadi buku yang siap dibaca oleh banyak orang. Karena aku tahu sejak awal, buku tersebut tidak akan pernah laku jika tertulis kejadian tentangku, cerita sendu ini.
Aku juga tidak mau bertanya banyak tentang Fahri. Karena aku yakin, dia mengalami hal yang sama denganku. Tanpa perlu bertanya, "Fahri juga di rumah sakit ini," Ibu sudah menyampaikannnya kepadaku terlebih dahulu.
Aku hanya bisa menutup mata, dan perlahan cairan yang memiliki sembilan puluh sembilan persen perasaan itu mulai mengalir perlahan, meronta keluar dari kelopaknya. Andai saja, malam itu aku tidak memaksanya untuk nge-gas. Andai saja aku bisa mengajaknya untuk menenangkan diri sejenak, atau andai saja aku tidak pernah mengenalnya sama sekali. Tidak bertemu dengannya sama sekali. Mungkin kami tidak akan terbaring di sini.
"Aku ingin menemuinya, Ibu."
"Kata Dokter, kamu tidak boleh banyak beraktivitas. Asmahmu akan kambuh lagi." Penyakit yang sudah hampir belasan tahun tidak bertamu itu, kembali singgah dan mulai bercengkrama denganku.
Aku hanya memperlihatkan wajah penyesalan, dan menengok ke bawah. Kulihat ada sebuah novel berjudul Flying Blind, "Itu novel siapa? Novelnya Ibu?"
"Bukan. Ini, novel untukmu. Sejak kapan Ibu membaca novel?"
"Siapa yang belikan, Bu?"
"Tadi, ketika Ayah menuju ke sini, dia singgah di toko buku dan membelikannya untukmu."
Ternyata Ayah tidak melupakanku. Perlahan aku belajar, bahwa untuk menjaga seseorang, kamu tidak perlu terus berada di sisinya. Dengan doa dan harapan yang tinggi, Semesta mampu mengawalnya untukmu.
Tapi, dalam hal seperti ini, meski dia tidak datang pun, bagiku sudah merupakan hal yang biasa-biasa saja. Aku mulai terbiasa dengan tingkah Ayah yang di mata orang lain terlewat batas. Tapi, aku benar-benar rindu kedua lelaki itu. Ayah dan Fahri; ngin sekali kulihat kedua wajah mereka, terkhususnya senyuman mereka.
Aku mulai berdiri dan menyandarkan badan pada bagian daerah kepala tempat tidur. Tapi, ada yang berbeda dengan punggungku.
"Awh! Sakit sekali."
"Kamu mau ke mana? Lukamu belum sembuh."
"Sebenarnya aku sakit apa, Bu? Bagian tulang belakangku nyerinya sampai seperti ini?"
Ibu tidak menjawab. Dia menghela nafas dan duduk di sampingku lalu menidurkanku kembali. Aku tidak sempat menyandarkan badanku.
"Ibu!" pertama kalinya aku ketus padanya.
"Tulang belakangmu agak retak sedikit saja karena ledakan malam itu!"
Mendengar hal itu, aku mulai shock. Aku bingung, ledakan itu mampu membuatku sakit seperti ini. Kemudian kupalingkan wajahku ke arah lain.
Ibu mulai bercerita bahwa malam itu aku dan Fahri adalah orang yang sangat beruntung. Kami mampu selamat dari kejadian yang sudah memakan banyak sekali korban jiwa. Yang paling beruntungnya adalah aku, karena kalau saja Fahri tidak memelukku, mungkin aku sudah hangus terbakar, karena kulihat, kaki kananku terluka cukup parah. Mengapa tidak sekujur tubuhku saja, Semesta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Jakarta
Romans"Senja adalah keindahan tersingkat yang pernah langit suguhkan untukku. Dan kamu seperti senja, suguhan tersingkat yang pernah Tuhan ciptakan untukku. Kenapa sampai kamu yang baru saja datang, kemudian sudah pergi lagi? dan mengapa Tuhan harus menci...