BAB 7 #1

3.4K 154 8
                                    

PUTAR VIDEO INSTRUMENNYA SAMBIL MEMBACA:)


TAK ADA PELANGI*


Selamat malam Maha Pengatur Waktu,

Bagaimana perasaan-Mu sekarang? Apakah Kamu sudah benar-benar menikmati cerita ini? Apakah Kamu sudah cukup puas membiarkan hatiku sengsara seperti ini? Oh, iya. Untuk sebelumnya, terima kasih, yah, sudah membiarkanku mengetahui hal yang sebenarnya tanpa perlu langsung dari mulut Dokter tentang keadaannya yang sekarang. Kamu memang terbaik, Maha Pengatur Waktu. Kamu mampu membiarkanku tersakiti meskipun tidak berdarah.

            Sekarang, semua orang dapat belajar dariku, bahwa tak selamanya akan ada pelangi sehabis hujan. Fahri, pelangi yang kamu bangga-banggakan, mungkin sudah tak mampu bersinar lagi.

Aku hanya ingin ceritaku selayaknya perempuan-perempuan lain di luar sana wahai Maha Pengatur Waktu. Jangan biarkan hal buruk apa pun terjadi. Bantu dia untuk kembali pulih. Meskipun memang sudah tidak bisa lagi. Berikanlah sedikit waktu-Mu pada senjaku itu. Jangan biarkan dia ditelan malam dulu. Aku hanya ingin berlama-lama dengannya. Sebab, jika Kau tanya, apakah aku sudah puas, jawabanku belum.

            Aku tahu semesta, apa yang kupikir ini belumlah tentu benar, namun setidaknya ingin kudo'akan yang terbaik untuknya, tak mengapa bukan? Akan ada waktunya, entah kapan pun itu, aku tahu, langit harus berusaha menerima senjanya yang ditelan malam. Tapi, aku tidak setegar langit yang mau membiarkan senjanya pergi secepat itu. Aku Kanidya, bukan langit, bukan pula pelangi yang mampu terpancar sehabis hujan. Sudah kubilang berulang-ulang. Aku hanyalah aku. Seorang anak perempuan biasa.

            "Lalu, apakah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Fahri?" tanya Ibu ke Tante Vina.

            Dan Tante Vina hanya menggeleng-geleng kepala.

            Aku sudah tak berdaya lagi. Aku sudah tak mengingat lagi bagaimana reaksiku ketika mendengar kabar itu dari Tante Vina. Yang kurasakan saat ini hanyalah sebuah kebungkaman. Aku tahu Jufri, Evan dan Guntur berusaha menghiburku, namun telingaku sudah menolak setiap suara dalam bentuk apa pun masuk sebelum sampai di otak. Jangankan hati.

            Setiap malam yang aku lakukan hanyalah mendo'akannya. Semenjak hari itu, aku sudah mulai malas belajar. Mungkin ini yang mereka bilang, cinta itu kesesatan. Semenjak hari itu, aku sudah mulai berusaha untuk tidak mengenal siapa diriku.

            Hal buruk yang menimpanya mampu terinfeksi padaku. Hari ini, langit benar-benar memperlakukanku dengan tidak sopan. Bulan dan bintang sangat tidak bertata krama. Bahkan mereka tidak menunjukan rupa sama sekali. Sebab mereka tahu bahwa ada sebuah rona kesedihan yang mampu membuat orang lain ikut bersedih. Makanya itu mengapa mereka tidak memperlihatkan keberadaan mereka sama sekali padaku.

            "Beberapa hari belakangan ini, kamu sudah terlihat kurang sehat, sayang," itu Ibu yang menghampiriku.

            "Perasaan Ibu saja. Aku baik, kok."

            "Kamu tidur lebih larut dari kami, dan kamu bangun paling awal dari kami. Apa kamu tidak tidur?"

            "Nggak mungkin, lah, Ibu," dustaku.

            "Ibu tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Masih dengan permasalahan yang sama, Fahri, kan?"

            Aku tersenyum.

            "Jika kamu tidak menjaga kondisimu dan hanya melakukan hal seperti ini setiap malam, kamu salah, sayang," kritiknya.

            Aku tidak butuh tidur, itu yang kucamkan. Setiap malam, aku hanya perlu menunggu fajar datang. Bagiku, tidur hanyalah membuang-buang waktu. Entah orang lain ingin berpendapat apa. Itu pendapatku, benar atau pun salah, yang jelas itu satu-satunya pendapatku tentang tidur. Dan aku juga tidak merasa bahwa dirikulah yang paling benar. Entah bagaimana pendapat orang lain tentang tidur, bagiku tak masalah. Kritikan itu boleh, tapi merasa diri paling betul, aku tidak seperti itu. Seperti katanya.

Senja di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang