BAB 7 #2

2.1K 140 14
                                    

PUTAR VIDEO INSTRUMENNYA SAMBIL MEMBACA:)

#2


Untukmu, Ibu,

Ini aku, satu-satunya anakmu yang manja. Anakmu yang tidak pernah absen menikmati es krim buatan tanganmu. Anakmu yang selalu memaksa dan memintamu membuatkan es krim bahkan tengah malam. Anakmu yang hanya mampu tersenyum berkat usahamu seorang. Maafkan aku, Ibu, karena aku sering rewel, kadang ketus, dan hal-hal buruk lainnya.

Ibu, kau juga tahu kan, kalau hanya kamulah yang mampu membuatku tersenyum sebelum aku dipertemukan oleh senja yang akan segera ditelan malam itu. Kamu juga yang membuatku merasa tak hampa ketika waktuku dengan Ayah semakin ada jaraknya. Lalu bagaimana lagi jika kamu pergi? Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya? Apakah kamu memang sudah tidak mau membuatkanku es krim lagi? Ataukah kamu memintaku untuk berhenti memakan es krim? Jika itu yang kamu mau, Ibu, aku akan berhenti. Yang penting, kamu kembali dan ada di sini. Kau tahu Ibu? Perlahan mereka semua pergi dariku. Apakah kamu memang ingin melakukan hal yang sama seperti mereka?

Ibu, terima kasih pernah mendengarkan semua keluh-kesahku. Terima kasih sudah memperkenalkanku dengan Maria yang sekarang entah di mana. Terima kasih juga bisa menjadi teman mengobrol dengan senjaku ketika aku yang sering telat bersolek di kamar, sampai dia harus menungguku berjam-jam di depan teras. Dan terima kasih sudah menggantikan Ayah selama dia menyibukan diri dengan dunia pekerjaannya.

Ibu, kamu mengajariku banyak hal yang belum kuketahui. Dari hal-hal kecil tentang cinta, juga perdebatan-perdebatan pendapat yang tengah menjadi konflik besar saat ini. Bukannya aku menyalahkan mereka. Tapi kali ini, mereka salah. Bagiku, perbedaan pendapat itu salah.

Aku tak menyangka, bahwa malam itu merupakan saat terakhir aku mengobrol denganmu. Aku berharap ingin sekali mengulang kejadian di hari itu, Ibu. Dari beberapa menit yang lalu, aku sempat tidak mempercayai hal seperti ini akan terjadi. Tapi, aku harus belajar untuk merelakan sesuatu yang sebenarnya sudah harus pergi. Dan detik ini, aku mulai menyadari kalau memang benar, kamu sudah tiada, Ibu.

Untuk mengikhlaskanmu saja tidak semudah yang dibayangkan. Aku masih belum merelakanmu bahwa benar-benar sudah pergi, dan mungkin tidak akan pernah. Apakah harus secepat ini, Ibu? Kadang aku berpikir bahwa kamu akan selalu ada di sisiku sampai perlahan kamu menua dan bukan seperti ini caramu meninggalkanku, Ibu.

Tapi, kematian bisa datang kapan saja. Dan hari ini, aku belajar banyak. Aku tahu, kamu pasti menginginkanku untuk tidak lama-lama bersedih. Aku tahu kamu memintaku untuk tak selamanya menderu. Tapi kali ini memang benar-benar sudah tak ada pelangi sehabis hujan, Ibu. Jika kamu memintaku untuk berhenti merintik, mungkin aku bisa. Semoga aku mampu melakukannya.

Ibu, terima kasih selalu mengerti aku. Terima kasih selalu percaya dengan semua mimpi-mimpiku.

Dan untuk-Mu Maha Pengatur Waktu, apakah aku sudah boleh menyalahkan-Mu?

Senja di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang