Aisha memasuki rumah megah dan besar bercat putih dengan halaman yang luas didepan rumahnya. Ia langsung menghempaskan tubuh lelahnya diatas sofa empuk berwarna cokelat muda yang senada dengan warna karpet bulu yang menutupi sebagian lantai.
Aisha menyandarkan punggungnya disandarkan sofa dengan mata terpejam mengarah keatas. Tas pundaknya ia lemparkan keatas meja.
"Huuuft... cape banget. Baru hari pertama kerja udah dikasi tugas seberat itu," gumam Aisha pelan.
Aisha membuka matanya pelan, matanya melirik kearah kumpulan bingkai foto yang berdiri dengan tegak diatas sebuah meja tak jauh dari tempatnya melepas lelah. Sebagian dari foto tersebut adalah fotonya ketika kecil saat berusia 5 tahun bersama ayah dan bundanya.. Dan sebagian besar lainnya foto seorang bayi laki-laki bersama ayah dan bundanya.
Aisha menghembuskan nafasnya pelan. Ia meraih ponselnya yang berada diatas meja yang tadi ia lempar sembarangan. Tangannya bergerak -gerak diatas ponsel yang masih mati karena bingung.
Baru saja Aisha akan melempar kembali ponselnya di atas sofa, dering ponselnya kembali menahan tangannya agar tidak melemparkan benda persegi yang harganya jutaan itu.
Senyuman terukir di wajah Aisha. Aisha menegakkan punggungnya dan segera mengangkat telpon dari bundanya.
"Assalamu alai..."
"Uang yang bunda kirim udah kamu ambil? Jangan boros ya. Dan jangan keluar malam. Bunda sama ayah gak tau pulangnya kapan. Kamu jaga diri disana ya sayang. Bunda tutup telponnya. Assalamu alaikum, "
Aisha segera melemparkan ponselnya diatas sofa. Ia merebahkan dirinya di sofa panjang itu, matanya memandang ke arah langit-langit ruang tamu. Aisha menutup matanya, 'seandainya dari dulu aku tahu akhirnya seperti ini, aku lebih memilih tinggal selamanya dipanti asuhan.'
Kenangan masa lalu kembali mengusik fikirannya.
"Aisha. Kamu dimana?"
Mendengar namanya dipanggil, Aisha yang awalnya asik bermain boneka bersama Ulfha, sahabatnya pun meninggalkan mainannya dan menghampiri Marni, pengasuh panti asuhan sekaligus ibu baginya sejak kecil.
"Ada apa, bu?" Tanya Aisha.
"Sini, sayang!" Marni membawa Aisha ke ruang tamu dan mendudukkannya diatas kursi kayu bercat cokelat.
Selain Marni, Aisha juga melihat adanya seorang wanita dan seorang laki-laki di ruang tamu. Aisha mengenal sepasang suami-istri itu. Mereka adalah Zainal dan Sarina. Aisha pernah bertemu dengan mereka beberapa pekan yang lalu.
"Aisha," panggil Marni.
Aisha mendongakkan kepalanya agar bisa melihat dengan sempurna wajah Marni.
"Pak Zainal dan bu Sarina ingin mengangkat kamu jadi anak mereka," terlihat jelas adanya kesedihan yang terpancar dari wajah berkedip utk milik Marni saat mengucapkan kalimat itu.
"Maksudnya bu?" Tanya Aisha tidak mengerti.
Marni mengelus kepala Aisha dengan sayang lalu mencium kepala Aisha yang tertutup jilbab pink kesukaannya.
"Mereka akan menjadi ayah dan bundanya buat Aisha. Aisha pengen kan punya ayah dan bunda? "
Aisha tersenyum hingga menampilkan deretan gigi-gigi kecilnya, "mau, bu!"
Zainal dan Sarina tersenyum melihat Aisha yang begitu semangat ingin memiliki ayah dan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jungkir-Balik Dunia Aisha
SpiritualAisha tidak pernah menyangka jika memasuki sebuah perusahaan ternama bahkan termasuk perusahaan go international bisa semudah mendudukkan diri ke kursi. Tapi ternyata, dibalik kemudahan itu akan ada banyak hal yang menguras emosi dan kesabaran. Ia h...