MBB | 09

5K 371 23
                                    

Diftan duduk di depan ruang UGD, menunggu dokter yang sedang memeriksa Aisha.

Diftan tidak bisa dikatakan baik-baik saja sekarang. Pikirannya benar-benar kalut, dan hanya satu orang penyebabnya; Aisha.

Bagaimana keadaan gadis itu?
Apa dia bisa selamat?
Apa lukanya parah?
Kenapa dia berada di belakang tubuh Diftan saat itu?

Diftan menggeram kesal. Ia menjambak rambutnya sendiri tanpa peduli jika hal itu dapat menyakitinya. Jika merasa kurang sakit, ia akan meninju dinding hingga tangannya memar. Diftan tidak peduli dengan dirinya sendiri.

Untuk pertama kalinya, Diftan menyakiti dirinya sendiri karena seorang gadis polos berotak lamban bernama Aisha.

Diftan segera bangkit saat seorang suster keluar dari ruang UGD.

"Bagaimana keadaan Aisha?" tanya Diftan, langsung to the point.

Sister tersebut tertegun sejenak memperhatikan Diftan. "Masih dalam tanganan dokter. Apa anda keluarga korban?"

Diftan menggeleng, "bukan, tapi saya bosnya."

"Tolong hubungi keluarganya, Pak. Kami tidak bisa melakukan hal banyak jika keluarga korban belum memberikan izin."

"Tapi nyawanya sekarang sedang terancam. Apa kamu mau bertanggung jawab jika terjadi apa-apa padanya, hah?!" bentak Diftan, yang berhasil membuat nyali suster berperawakan mungil itu menciut.

"Ini sudah menjadi prosedur rumah sakit, Pak."

Diftan menghela napas berat, "baik."

Diftan merogoh ponsel Aisha yang sempat diberikan suster sebelum menangani Aisha. Jangan tanya dimana ponsel Diftan sekarang. Entah terjatuh atau mungkin Diftan yang memang sudah membuangnya tadi.

Mencari-cari nomor keluarga Aisha, Diftan mengetuk nama 'Bunda' dan mulai mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

Diftan merasa mendapat napas tambahan saat sambungannya tersambung.

"Halo, Tante."

"Ya. Ini siapa, ya? Aisha mana?"

"Aisha ditembak ...."

"Bagaimana bisa? Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya?"

"Di rumah sakit Kasih Bunda. Nanti saya beritahu semuanya setelah Tante datang,"

"Saya tidak bisa," terdengar isak tangis dari ponsel Aisha. "Saya di luar negeri sekarang."

Diftan ikut bingung, "apa tidak ada keluarga Aisha sama sekali di sini?"

"Tidak ada. Hanya satu teman, Nadia."

Diftan meneguk ludahnya yang terasa pahit saat mendengar nama Nadia, "nanti saya hubungi lagi, Tante."

"Iya. Kabari saya tentang keadaan Aisha."

"Baik."

Diftan memutus sambungan telpon. Bagaimana sekarang?

Diftan mencoba menghubungi Risnah, Mamanya. Biasanya Risnah sangat ahli dalam masalah seperti ini karena memang Risnah salah satu dokter di rumah sakit ini.

Diftan mulai bisa bernapas lega setelah Risnah datang dan menyelesaikan semua masalah. Aisha dapat dioperasi untuk mengeluarkan peluru dari dalam perutnya.

Satu hal lagi yang perlu Diftan selesaikan. Manusia sialan yang sudah melakukan semua ini pada Diftan dan juga semua orang yang disayanginya. Apa Aisha termasuk? Entahlah. Yang pasti, kehidupan Diftan tidak akan tenang setelah kejadian ini.

Jungkir-Balik Dunia AishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang