"Huuft," hembusan napas lega keluar dari hidung dan mulut Aisha setelah membuka pintu masuk yang terbuat dari kaca tebal. Ia menyeka keringat yang menetes di dahinya. Ia menampilkan senyuman manisnya ke arah karyawan yang tersenyum kikuk kepadanya.Aisha mengerutkan dahinya. Biasanya, karyawan akan menyapanya jika bertemu dengan Aisha. Namun pagi ini terasa berbeda.
Aisha merogoh ponsel dari dalam tas miliknya. Ia membuka kamera dan ingin melihat wajahnya sendiri. Karena terburu-buru, Aisha bahkan lupa bercermin tadi pagi.
"Audzu billahi minasy-syaithanir-rajim," pekik Aisha. Mata Aisha membulat seketika saat melihat wajah yang mirip patung di belakang tubuhnya. Aisha segera membalikkan tubuhnya menghadap si muka datar.
"Kamu pikir saya setan?" Hardik Diftan dengan nada datar, seperti biasa, seolah tidak tahu caranya memberikan intonasi pada setiap kata yang di ucapkannya.
"B-bukan, Pak." Aisha menundukkan kepalanya. 'Saya kira patung tadi. Aneh aja, mendadak ada patung di kantor,' batin Aisha.
"Sudah siapkan dokumen yang saya perlukan?" Diftan melangkah mendahului Aisha yang ikut berjalan di belakangnya.
"Sudah, Pak." Aisha tersenyum bangga.
"Beneran?"
Seandainya lelaki di depan Aisha ini bukan seorang CEO, mungkin Aisha akan menjawab, "kalau nggak percaya, cek aja sendiri." Aisha tersenyum terpaksa, "iya, Pak."
"Bawa dokumen itu ke ruangan saya!" Diftan memperlebar langkahnya meninggalkan Aisha yang malah memperlambat langkah kakinya. Aisha merogoh tas pundak yang di pakainya sekarang.
Aisha kebingungan saat dokumen yang sudah ia persiapkan sejak semalam menghilang dari tasnya. Padahal, Aisha ingat betul jika dokumen itu sudah masuk ke dalam tasnya.
"Aduh, dokumennya dimana, sih?" Gerutu Aisha. Ia berjalan perlahan sambil terus mengotak-atik isi tasnya.
Aisha menghela napas berat. Ia mengumpat pelan saat dokumen penting itu tidak masuk ke dalam tasnya.
Kring Kruangg Rang Rang Rang Kringg
Aisha terpaku sejenak saat pandangan orang tertuju padanya. Aisha memperlihatkan gigi-giginya yang putih dengan gugup. Aisha menatap ponsel di tangannya.
"Halo, Nad." Sapa Aisha setelah mengangkat telpon dari Nadia. Ia memilih duduk di sebuah sofa khusus tamu yang di sediakan oleh kantor.
"Lo dimana?"
"Di kantor lah," jawab Aisha dengan kesal. Ia mengapit ponsel miliknya menggunakan pundak dan telinganya sendiri. Sementara tangannya kembali sibuk memeriksa isi tas yang hasilnya sama seperti percobaan pertama.
"Maksud gue, lo lagi di bagian mana?" Nadia memperjelas pertanyaannya.
"Lantai satu," jawab Aisha tanpa tertarik.
"Owh. Gue di lantai lima'--,"
"Emang aku peduli?" Potong Aisha dengan cepat.
"Ya udah. Padahal gue mau ngomong kalau dokumen lo ketinggalan di tas gue. Lo salah tas semalam,"
Aisha meninggalkan tasnya. Tangannya beralih memegang ponsel miliknya. "Serius? K-kamu di lantai mana tadi? Enam?"
"Lima, Aisha."
"Oke. Tunggu lima menit!" Aisha meraih tasnya dan segera berlari menuju lift.
"Empat menit, lima puluh sembilan detik," Nadia terkekeh di balik sambungan telepon dan mulai menghitung mundur.
Aisha berdecak sebal. Berkali-kali ia menekan tombol lift. Tapi lift belum juga terbuka.
Aisha bersyukur ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Aisha langsung memasuki lift dan menggeser beberapa wanita yang ada di dalam lift.
*Ting*
Aisha mengecek ponselnya yang bersamaan dengan sebuah pesan yang masuk. Aisha merasa malas saat membaca nama pengirimnya. BERUANG KUTUB.
-Kenapa lama sekali? Kesasar? Pake Maps!-
Rasanya Aisha ingin melempar ponselnya saat membaca pesan unfaedah dari bosnya itu. Tetapi pikirannya masih menuntun Aisha agar memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas.
Aisha mempercepat langkahnya saat melihat Nadia terkekeh pelan melihatnya dengan sebuah map di tangannya.
"Terlambat dua detik," Nadia menyerahkan dokumen tersebut kepada Aisha.
"Udah. Jangan kayak si patung! Suka ngatur-ngatur waktu!" Ujar Aisha dengan kesal dan menerima kasar dokumen itu.
"Patung?"
Tubuh Aisha terasa kaku. Mulutnya terbuka. Matanya membulat, memandang ke arah Nadia yang ikut terpaku menghadap ke belakang tubuh Aisha, tempat Diftan berdiri.
"Pak Bos?"
"Ali?"
Aisha dan Nadia sama-sama menggumam dengan waktu hampir bersamaan.
Aisha yang masih sadar dengan panggilan Nadia barusan mengerutkan dahinya. "Ali?" Aisha mengulang ucapan Nadia.
Nadia menunduk, menggeleng pelan dan memandang Aisha singkat sebelum menunduk lagi. Tanpa mengucapkan apapun, ia segera meninggalkan Aisha yang memanggil-manggil namanya.
"Pak, kok Nadia--,"
"Mana dokumennya? Mau saya pecat kamu kalau telat mulu?" Potong Diftan.
Aisha terlonjak kaget. Ia menyerahkan dokumen itu ke arah Diftan yang memandangi punggung Nadia yang kian menjauh dengan wajah datar yang semakin sulit digambarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jungkir-Balik Dunia Aisha
EspiritualAisha tidak pernah menyangka jika memasuki sebuah perusahaan ternama bahkan termasuk perusahaan go international bisa semudah mendudukkan diri ke kursi. Tapi ternyata, dibalik kemudahan itu akan ada banyak hal yang menguras emosi dan kesabaran. Ia h...