Radit berjalan tergopoh menyusuri lorong-lorong sekolah. Dia melewati lapangan basket yang penuh dengan anak-anak berpostur tinggi dan berambut modis. Anak-anak basket, selalu menjadi trendsetter di sekolah ini.
Di pinggir lapangan barisan siswi perempuan kelas sepuluh berteriak histeris memanggil idola mereka yang sedang mandi keringat di tengah lapangan. Sekolah ini memang tak pernah sepi dari sorak sorai siswa semenjak pagi hingga malam.
BYARRR!
Sekeliling Radit tiba-tiba menjadi terang benderang. Lampu sekolah rupanya sudah dinyalakan Pak Manto, sang penjaga sekolah.
"Anak-anak sudah menunggu di Lab. Biologi, Pak Radit." Radit mengingat pesan Bu Normala.
Radit bergegas menuju Gedung D dan memasuki lorong gelap panjang lokasi laboratorium sekolah berada.
Radit celingukan mencari papan nama Lab Biologi. Sekolah ini sangat besar. Tak mudah menghapalkan seluruh ruangannya bagi dia yang baru bekerja dua bulan di sini.
LAB. FISIKA, LAB. KOMPUTER, LAB. KIMIA.
Radit membaca cepat papan nama tersebut dalam gelap. Kenapa Pak Manto belum menyalakan lampu di gedung ini? Radit bersungut kesal sambil bersusah payah membawa tumpukan soal ujian dan tas laptopnya.
Sudah satu menit Radit berputar-putar dalam kesunyian mencari ruangan tersebut. Hentakan sepatu pantofelnya bergema memantul-mantul di tembok. Sejenak Radit teringat kata-kata Pak Lasto guru fisika kemarin lusa.
"Mas Radit, tahu cerita legenda di sekolah kita?" Radit menggeleng tegas. Dia memang tidak tertarik kisah-kisah takhayul.
"Laboratorium di Gedung D kita itu terkenal wingit, Mas Radit. Guru-guru di sini tidak ada yang berani masuk ke laboratorium setelah jam lima sore. Banyak penampakan, mas!" Terang Pak Lasto serius.
Radit menggelengkan kepala cepat, mencoba membuyarkan ingatan percakapan tersebut dari kepalanya.
Tiba-tiba, terdengar deru nafas berat di belakang leher Radit. Nafas itu mengeluarkan aroma misterius. Membuat bulu kuduk siapapun akan merinding.
Radit berbalik cepat. Tidak ada siapa-siapa. Radit memandang berkeliling mencari sang pemilik nafas misterius tersebut. Kosong.
Radit menggigil dalam kegamangan. Jantungnya berdegup keras demi menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan gedung ini. Jangan-jangan cerita Pak Lasto itu benar. Ada hantu di Gedung D ini. Radit ingin berteriak minta tolong. Siapa tahu Pak Manto dan anak-anak basket bisa mendengar suaranya. Namun Radit tak mungkin menjerit seperti anak perempuan. Hati kecilnya berteriak mengatakan bahwa Ia laki-laki. Ia harus kuat dan berani.
Radit mempercepat langkahnya. Sesekali ia menengok cepat ke belakang. Kegelapan memanjang sepanjang lorong gedung. Tapi ia yakin seseorang atau sesuatu sedang mengikutinya. Ia melewati musola kecil Gedung D saat sesosok bayangan hitam tiba-tiba berkelebat memacu adrenalinnya. Radit memutuskan berlari. Ia sudah tak peduli lagi dengan Lab. Biologi atau anak-anak bandel peserta ujian susulan. Ia harus segera keluar dari gedung terkutuk ini.
Radit terus berlari sampai berhenti di ujung lorong. Buntu. Nafasnya terengah-engah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sixth Student
TerrorRadit melirik dengan waswas dari ujung kacamatanya. Gadis antah-berantah itu masih duduk mematung di kursi belakang ruangan. Semilir angin malam tiba-tiba masuk dari pintu yang terbuka. Bulu kuduk Radit berdiri seketika. Suasana di luar ruang sanga...