Radit terus berlari menyusuri lorong Gedung D yang gelap dan panjang. Sampai akhirnya...
BRAKKK!
Radit menabrak tubuh tua yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Pak manto sang pemilik tubuh terjengkang ke belakang. Radit yang panik bergegas menolong tukang kebun sekolah tersebut.
"Maaf, Pak Man. Saya buru-buru." Radit tersengal menjelaskan.
"Ada apa Pak Radit kok ketakutan seperti ini?" Pak Manto berusaha berdiri sambil mengibaskan celananya yang berdebu.
Mulut Radit membeku tak bisa berkata-kata. Pak Manto yang tanggap dengan situasi segera memberikan sinyal kepada Radit untuk mengikuti dirinya. Rupanya Pak Manto sudah menangkap peristiwa yang menimpa Radit.
"Mari ikut ke gubug saya, Pak." Pak Manto berjalan menuju pondoknya diikuti Radit.
"Jadi begini ceritanya, Pak Radit." Pak Manto membuka kisahnya sambil menyulut sebatang rokok kretek setelah mereka berdua duduk di ruang tamu rumah Pak Manto.
Radit duduk tak nyaman di kursi rotan tua yang sudah rusak di sana sini. Rumah itu gelap dan berbau tanah. Radit melongok ke bawah. Ternyata memang belum dipasang keramik. Mata Radit berkeliling menjelajahi rumah dinas penjaga sekolah tersebut. Almari tua berwarna coklat muda dengan kaca pecah berdiri tegap di sudut ruangan. Kulkas warna putih yang sudah berkarat berada di sebelahnya. TV tabung ukuran 21 inch yang tampaknya sudah rusak juga berjejer tak jauh dari situ. Jam dinding yang mati mematung tepat di atasnya. Radit mendongak ke atas. Pilar penyangga dari kayu sudah bengkok di beberapa bagian. Genting-genting tua berjajar tak rapi. Rumah itu belum ada eternit. Seekor tikus kurus berlari melintasi kayu atap di atas kepala Pak Manto. Radit bergidik risih. Namun ia berusaha tersenyum. Mencoba menghormati sang tuan rumah.
"Gedung D itu memang menyimpan kisah suram, Nak Radit." Pak Manto berkata tajam sambil menghirup rokok kreteknya. Asap memenuhi ruangan. Radit mencoba menahan batuk. Ia memajukan duduknya, tertarik dengan kisah apa yang hendak keluar dari lisan Pak Manto.
"Sebenarnya tadi Nak Radit bertemu apa dan siapa?" desak Pak Manto seakan sudah menebak kisah seram yang baru di alami Radit.
Sosok perempuan setengah baya masuk ke ruang tamu menyajikan dua gelas teh hangat. Rupanya istri Pak Manto. Radit mengangguk hormat.
"Saya bertemu lelembut, Pak Manto. Anak sekolah berpakaian OSIS. Saya kira itu siswa juga yang ikut ujian susulan. Ternyata hantu itu bahkan tidak tercatat namanya di daftar siswa peserta ujian." Radit bercerita panjang lebar sambil menyeruput teh hangatnya. "Hantunya anak perempuan. Rambutnya panjang hitam menutupi wajahnya. Ngeri, Pak." Sambung Radit.
Pak Manto tertegun sesaat. Kemudian bertatapan mata dengan Bu Manto yang juga termangu memandang suaminya itu. Bu Manto segera berbalik masuk lagi ke dalam rumah. Pak Manto semakin dalam menghirup rokok kreteknya.
"Gedung D itu memang ada hantu perempuan yang bersemayam, nak." Pak Manto menerawang ke atap rumah memulai ceritanya.
"Kami biasa memanggilnya Menur. Dia dahulunya adalah siswi di sekolah ini. Anak itu menjadi siswa di sini sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Konon, anak itu meninggal karena sakit. Penyakit aneh. Sawan kalau orang dahulu bilang. Wajah anak itu sampai mengoreng dan meninggalkan luka yang besar. Itu sebabnya hantu tersebut selalu menjulurkan rambutnya ke depan. Mungkin malu dengan wajahnya yang buruk." Radit terbengong mendengar kisah hantu Pak Manto. Radit jadi teringat baju si anak hantu yang kumal kecoklatan. Pantas saja dia sudah gentayangan selama tiga puluh tahun.
"Menur itu dahulu sampai di kelas tiga, nak. Kurang sebentar saja dia bisa lulus. Tapi karena penyakitnya itu, dia meninggal beberapa hari sebelum mengikuti ujian akhir sekolah. Itu sebabnya banyak guru di sini yang sering melihat penampakan Menur mengikuti ujian maupun ulangan di Gedung D. Rupanya ada obsesi dirinya yang belum tertunaikan di dunia ini. Sehingga dia menjadi arwah penasaran." Radit semakin terhempas ke kursi rotannya menyadari cerita seram Pak Manto.
"Jika obsesinya itu belum selesai atau tertunaikan. Menur akan tetap gentayangan mengganggu guru-guru di sini, nak." Sambung Pak Manto.
Radit jadi teringat dia sempat memaksa Menur menghentikan mengerjakan ujiannya karena waktu yang habis. Radit bergidik ngeri membayangkan Menur yang akan mengamuk, mencakar wajahnya atau bahkan menggigit lehernya. Perutnya mual menahan kalut.
"Nak Radit sekarang pulang saja. Tenangkan diri. Semuanya saya kira akan baik-baik saja besok." Pak Manto mencoba membesarkan hati Radit.
Radit mengangguk pelan kemudian menghabiskan teh manisnya dalam sekali teguk. Ia kemudian beranjak berdiri dan menyalami Pak Manto.
"Baik, Pak Manto. Terima kasih. Saya pamit dahulu. Salam buat Bu Manto." Radit bersiap meninggalkan rumah tersebut.
Radit hendak keluar menuju pintu, saat dari sela punggung Pak Manto pandangannya jatuh ke kamar bertirai merah di ruangan tersebut. Ada bayang-bayang bergerak perlahan di dalamnya. Radit berpikir apakah itu Bu Manto? Tapi kemudian matanya melihat pemandangan yang membuat jantungnya berhenti.
Di atas dipan tempat tidur yang terlihat sebagian di dalam kamar. Radit melihat baju OSIS kumal kecoklatan! Mirip yang dipakai Menur!
Mulut Radit membeku. Matanya menatap Pak Manto ketakutan. Tapi Pak Manto hanya tersenyum tajam. Radit sejenak tertegun dan kemudian mencoba mengalihkan ketakutannya. Mungkin itu baju biasa.
Radit melangkah keluar menuju tempat parkir sekolah. Cukup sudah petualangannya hari ini. Dia ingin segera pulang.
The End
................................................................................................................................................................
NB: Jika kalian suka dengan cerita ini, tinggalkan komen ya. Kalau banyak yang suka insya Allah saya akan lanjutkan di seri kedua: "The Sixth Student 2" (Pembalasan Menur). See ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sixth Student
TerrorRadit melirik dengan waswas dari ujung kacamatanya. Gadis antah-berantah itu masih duduk mematung di kursi belakang ruangan. Semilir angin malam tiba-tiba masuk dari pintu yang terbuka. Bulu kuduk Radit berdiri seketika. Suasana di luar ruang sanga...