Radit beruntung karena atap tempat itu bergenting kaca. Ada sedikit cahaya masuk menyinari tempat ia berdiri. Radit menjelajahi tempat kecil itu dengan kedua matanya. Lorong itu dibatasi dua dinding bata. Dengan menyisakan satu lubang kecil di bawah. Lubang itu setinggi lututnya. Mungkin ini pintu darurat? Pikir Radit panik. Dia memandang lorong gelap yang panjang seolah tanpa ujung di kejauhan. Tak sudi Ia kembali melewati lorong maut itu lagi.
Radit berjongkok mencoba membuka pintu besi berwana oranye pucat yang memulai memudar warnanya. Sekuat tenaga Radit menarik dan mendorongnya. Nihil. Pintu itu terkunci rapat. Radit terduduk lemas sambil meremas-remas rambutnya yang tak gatal. Peluhnya bercucuran.
Sedetik kemudian. Lambat laun terdengar sayup langkah kaki mendekat. Radit memicingkan telinganya. Langkah kaki tersebut bergaung di sepanjang lorong yang sepi. Radit sejenak menatap langit yang mulai gelap. Langkah kaki tersebut semakin nyaring mendekat. Radit memeluk kedua kakinya erat. Ia pasrah dengan nasibnya.
Suara kaki tersebut sudah sampai di depan tempat Radit jatuh terduduk. Radit masih membenamkan kepalanya jauh ke kedua kakinya. Matanya terpejam erat. Pasrah menanti hantu pocong, kuntilanak atau genderuwo yang berdiri di depan hidungnya. Radit siap menanti saat kematiannya.
"Pak Radit."
Sebuah suara lembut namun berat bergema di kepala Radit. Radit mencoba menutupi kedua telinganya.
"Pak Radit, ini Iwan, Pak. Saya mau ikut ujian susulan." Suara tersebut selaksa guyuran es di atas kepala Radit yang mendidih karena ketakutan.
Radit mendongakkan kepalanya, melihat sosok Iwan, anak kelas sebelas yang dua puluh sentimeter lebih tinggi daripada dirinya. Iwan masih memakai kaus basket warna merah hitam. Keringat bercucuran menuruni lehernya yang jenjang.
Radit mencoba tegar berdiri seolah tak terjadi apapun. Diluruskannya kacamatanya dan mencoba tersenyum meskipun pahit. Iwan membalas dengan senyum yang canggung. Mungkin Iwan heran melihat gurunya duduk di kegelapan seperti ini.
"Teman-teman sudah menunggu di Lab. Biologi, pak. Itu ruangannya terlihat dari sini," lanjut Iwan sambil menunjuk ruangan di sisi kiri Radit. Ruangannya terang benderang. Dan ada papan nama besar warna coklat tua tergantung di ujung daun pintu sebelah atas. LAB. BIOLOGI. Ruangan itu tersembunyi oleh posisi lemari buku yang melintang. Pantas sedari tadi Radit kesulitan menemukannya.
Iwan membantu merapikan kertas yang berserakan dan berlari kecil mengejar Radit menuju ruang ujian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sixth Student
TerrorRadit melirik dengan waswas dari ujung kacamatanya. Gadis antah-berantah itu masih duduk mematung di kursi belakang ruangan. Semilir angin malam tiba-tiba masuk dari pintu yang terbuka. Bulu kuduk Radit berdiri seketika. Suasana di luar ruang sanga...