Aku menatap hidangan yang disajikan di hadapanku dengan tatapan senang. Nafsu makanku siang ini benar-benar luar biasa membuatku mengajak Bang Adit dan Mbak Mona makan siang di rumah makan segala ada yang jaraknya cukup jauh dari kantor. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin makan siang ditempat ini, bahkan sampai memesan tempat dan memaksa dua senior itu ikut denganku.
"Yakin itu pesenan lo? Bakal abis emang?" Aku mengangguk tanpa repot mengalihkan pandanganku ke Bang Adit yang bertanya. Duh, makan yang mana dulu, ya? Enak semuaa...
"Lin, serius, ini banyak banget. Ayam bakar, iga bakar, udang, cumi, kepiting, kangkung, terong. Itu pesenan lo doang."
"Gue kepengin mbak. Gue cuma makan nasi dikit kok, tenang." Ujarku sambil mengambil lauk pauk yang akan ku makan. "Kalian makan aja, biar gue yang bayar." Ujarku. Aku merasa sungkan kalau mereka membayar sendiri karena aku yang memaksa mereka untuk ikut.
"Lin, jangan-jangan lo hamil." Aku menghentikan suapanku di udara. Masa sih aku hamil?
"Enggak mungkin deh, kayaknya. Ini tanggal gue mau dapet kok." Bisikku pada Mbak Mona.p pii Kalau ku hitung, harusnya minggu ini ku kedatangan tamu bulanan, dan biasanya sebelum aku kedatangan tamu aku akan ngidam seperti orang hamil. "Biasanya juga gini, kan?"
"Cepet gih makan." Perintah Bang Adit yang langsung ku amini. Kami makan dalam diam.
Pikiranku masih berkelana mengingat perkataan Mbak Mona tadi hingga kami kembali ke kantor. Apa iya aku hamil? Kalau ku hitung. Ini sudah hampir dua bulan kami melakukan hubungan intim sejak yang pertama kali di Lombok, dan kami selalu melakukannya dengan jarak waktu yang tak terlalu lama. Apa aku tes saja, ya? Tapi kalau ke dokter kandungan bakal kecewa jika hasilnya negatif. Apa aku tes sendiri saja? Kupikir itu lebih baik.
***
"Mampir apotek dulu, ya." Pintaku saat aku dan Bagaskara dalam perjalanan pulang. Ku lihat Bagaskara sedikit mengerutkan dahi sambil terus fokus pada jalan.
"Kamu sakit?" Bagaskara menengok kearah ku sesaat lalu kembali fokus pada jalan.
"Enggak. Ada yang perlu aku beli."
"Oke, kita berhenti di apotek depan." Aku hanya mengiyakan. Kenapa hanya ke apotek saja aku berdebar? Rutukku dalam hati.
Sampai di depan apotek aku menyuruh Bagaskara menunggu di mobil saja meskipun ia sudah menawarkan diri untuk membeli barang yang aku butuhkan. Aku memasuki apotek dan langsung menuju ke mbak yang menjaga kasir. Ada tiga orang disana: satu dikasir, satu menata obat di belakang dan satu lagi menanyaiku apa yang aku butuhkan.
"Mbak saya mau beli testpack." Kataku pelan, taku kalau ada pelanggan lain yang dengar.
"Mau yang merek apa, mbak?" Mbam itu bertanya dengan ramah. Mana tau aku merek begituan, mana tadi belum sempat browsing.
"Yang bagus yang mana ya, mbak? Yang hasilnya akurat." Tanyaku.
"Semua hasilnya akurat mbak kalau pemakaian sesuai prosedur." Jawab mbaknya. "Saya ambilkan yang sering di beli ya, mbak."
Aku mengangguk saja. Mbak tadi kembali dengan tiga buah test pack berbeda merek di tangannya. Aku memilih membeli dua macam dan membeli aspirin juga pembalut. Setelah membayar aku segera memasukan barang yang ku beli ke dalam tas karena tak mau Bagaskara melihat.
"Lama amat." Tanyanya begitu aku masuk ke dalam mobil.
"Harus milih dulu tadi."
"Beli apaan, sih?" Dia melajukan mobilnya setelah memberi uang parkir pada petugas.
"Barang khusus."
"Oohh." Dia manggut-manggut. Dia tau apa yang ku maksubbarang khusus karena dia pernah ku minta membelikanku pembalut saat stok dirumah habis.
Paginya aku segera masuk ke kamar mandi setelah ibadah sedangkan Bagaskara kembali tidur. Aku sudah menyiapkan gelas plastik kecil sebelumnya, setelah terisi aku lalu mencelupkan bagian test pack kedalamnya selama beberapa menit secara bergantian. Setelah itu ku angkat dan kudiamkan untuk menunggu hasilnya.
Aku menghela napas. Satu garis. Negatif. Aku kecewa, tentu saja. Kenapa usaha kami belum membuahkan hasil? Aku menyimpan dua testpack yang sudah kering itu ke dalam laci bagian belakang agar tak ditemukan oleh Bagaskara. Terlalu berisiko kalau aku membuangnya ketempat sampah sekarang. Lalu aku beranjak ke dapur untuk membuat sarapan.
***
Sepanjang hari aku lebih banyak diam. Tak terlalu menghiraukan orang-orang di sekitarku. Makan siang saja aku hanya minta tolong OB untuk membelikan roti dan air putih di minimarket terdekat. Bahkan Mbak Mona sampai mengejekku kehabisan uang karena makan banyak kemarin.
Aku masih fokus ke arah sheet di layar komputer sambil menggigit roti isi selai yang tinggal separuh sampai plastik putih berisi sesuatu diletakkan dihadapanku. Aku mendongak mencari si pelaku. Mataku melebar. Aku memutar kepalaku ke kanan dan kekiri untuk melihat keadaan. Huh! Beruntung masih sepi.
"Kenapa kesini?" Tanyaku.
"Kenapa nggak makan siang?" Dia malah bertanya balik. Aku menunjukan roti isi di tangan kananku seakan mengatakan jalau aku sedang makan siang. "Makan siang itu nasi sama lauk pauk. Berapa kali aku bilang kalau makan siang harus nasi?" Aku mengangkat bahu. Dia berjalan memutar lalu mengambil kursi dan duduk disampingku. "Makan!"
"Aku udah kenyang."
"Aku bilang makan!" Ujarnya dingin. Aku memberengut tapi tetap menuruti kata-katanya. Setiap kali dia berkata dingin aku jadi takut sendiri.
Aku makan dalam diam, takut kalau dia akan berkata dingin lagi. Sebenarnya aku tidak begitu bernapsu, tapi karena dia menungguiku aku harus makan. Aku merasakan tangan yang mengelus puncak kepalaku dengan lembut, membuatku menengok ke arahnya.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?"
Aku menelan makanan dimulutku lalu menggeleng.
"Terus kenapa? Dari tadi pagi kamu kayak bayak pikiran gitu?"
"Lagi PMS mungkin?" Jawabku asal.
"Kamu mau sesuatu? Biar aku beliin." Aku mau hamil. Ucapku dalam hati. Tapi aku hanya menggeleng.
"Udah kenyang." Aku mendorong bungkus makananku yang tinggal separuh. Rasanya perutku sudah penuh.
"Bener udah?" Aku mengangguk. Dia membereskan makanan sisa itu, memasukannya dalam plastik lalu ia memberikan air mineral padaku yang langsung ku sambut.
"Ya udah aku ke ruanganku, ya?" Aku mengangguk. Dia memelukku sebentar dan mengecup pelipisku lalu melenggang keluar sambil membawa kresek yang berisi makanan sisaku tadi untuk dibuang.
"OMG! OMG! Pak bos so sweet bangeeeet. Bawain makan siang. Peluk-peluk."
"Mau di peluk jugaaaa...."
"Brondong gantengg!"
"Alina menang banyaakk!!"
Aku tesentak mendengar suara pekikan yang bersahutan. Mati aku! Didepan ruanganku ada beberapa pegawai wanita yang kurasa melihat kegiatanku dengan Bagaskara.
***
Tbc...
Part depan : 26 | Pradipta H. Wiryatama
Aku mau tanya. Kalo seandainya nih, seandainya aja. Kalo seandainya part depan di privat gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali (ON HOLD)
ChickLit#Highest rank #130 on chicklit _______ Hanya kisah klise seorang Alina yang baru menginjak usia 25 tahun. Baru mendapatkan kebebasannya. Dan baru menikmati hidupnya. Kebahagiaannya terenggut seket:ika saat pagi itu. Pagi yang ia harap bisa dimusnahk...