Kita tidak pernah tau apa rencana Tuhan. Maka tetaplah bersyukur, karena Tuhan tak akan pernah merancang rencana buruk untuk umatnya.
Gadis dengan iris hitam itu berjalan keluar, memperhatikan setiap helai daun yang jatuh mewarnai halaman asrama sambil memikirkan agar dirinya bisa bebas dari tempat yang ia rasa bagai penjara. Kejadian dua hari lalu membuat Alya semakin tidak nyaman, apalagi sekarang ia belum mempunyai teman akrab, karena tetap menutup diri dan tak mau berinteraksi dengan santri disana. Setiap kali Nuri ingin mengajak berkeliling pesantren Alya selalu menolak.
"Alya kita ambil makan yuk, udah waktunya sarapan."
Iris hitam Alya berputar mendapati Nuri yang tengah menenteng handuk selekas mandi.
"Lo aja!"
Nuri mengangguk lalu ia segera menggantungkan handuknya dan memutuskan mengambil sarapan sendiri.
"Bibi Fatma, Nuri ambil sarapan dua piring ya," ujar Nuri setiba di dapur.
Perempuan yang dipanggil bibi Fatma itu bergidik ngeri. Beliau telah mengabdi kurang lebih dua puluh tahun di pesantren Al-Falah, masakannya favorite para santri disana apalagi kalau ayam kecap, tak bisa dipungkiri kalau dalam dua menit masakannya itu lenyap diserbu para santri.
"Loh katanya si eneng mau diet," ucapnya ketika mengingat Nuri yang pernah berkata ingin menurunkan sedikit berat badannya yang akhir-akhir ini bertambah tiga kilogram.
"Iya Nuri mau diet, tapi satu piring lagi buat Alya," jelasnya.
"Alya saha neng?"
Nuri terkekeh kecil, ia lupa menceritakan terlebih dulu perihal Alya. "Alya itu santri baru disini, Bi."
"Oalah pantesan."
"Pantesan kenapa, Bi?" tanya Nuri yang sedang menyeduk beberapa sendok nasi.
"Pantesan Bibi gak pernah dengar namanya Alya itu."
"Iya, dia baru seminggu disini."
"Oh udah seminggu, tapi kenapa atuh bibi gak pernah liat dia ambil jatah makan sendiri."
"Emang gak pernah ambil jatah makan bi, ini aja pertama kali mungkin dia makan nasi dapur itu pun kalo Alya nya mau."
Kening Fatma berkerut.
"Bibi, lauk masih ada, Bi?" teriak seorang santri wan yang tiba-tiba muncul dibalik tembok belakang dapur.
"Astaghfirullah, anti limadza fi huna ya akhi?" tanya Nuri sedikit cemas, ia takut ustadzah melihat dan dikira sengaja mengobrol dengan santri wan.
"Afwan, ana bukannya bermaksud masuk kawasan akhwat."
"Terus kamu teh kenapa disini ujang Azam?"
"Ini, Bi. lauk yang diambil sama teman Azam habis, Azam gak kebagian," jelasnya.
"Ya udah ini ambil, terus cepet sana!" kata Fatma seraya memberikan sepiring lauk.
"Syukron bibi Fatma yang cantik," ucap santri yang menyebut dirinya Azam.
"Eh satu lagi."
"Apalagi atuh?"
"Ana mau nanya sama anti ya ukh."
Nuri hanya bergumam tanpa melihat lawan bicara.
"Katanya ada santri wati baru ya, namanya siapa?" tanya Azam mencoba mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Astaghirullah ujang aya-aya wae, sok pergi sana!" ucap Fatma gergetan seraya hendak mengambil sapu lidih.
"Eh iya-iya."
***
Dari kejauhan Fariq dan Hafiz melihat Azam berjalan ke arah mereka dengan raut wajah masam.
"Gimana, Zam, siapa nama santri wati baru itu?" belum sempat Azam bernafas lega Hafiz telah meluncurkan pertanyaan saja.
"Boro-boro tau nama, ana nanya aja gak dijawab."
"Antum sih kepo banget sama santri wati itu, untuk apa coba?" ucap Fariq yang tak begitu menghiraukan.
Hafiz duduk sambil menghayal.
"Coba ana aja yang ketabrak di tempat wudhu kemarin, Riq," kata Hafiz berandai-andai.
"Dia judes tapi cantik," gumam Fariq dengan mengukir senyum sambil mengingat insiden dimana ia dan Alya tak sengaja bertabrakan.
"Kenapa senyum-senyum kamu suka sama santri itu ya? katanya gak perduli," ucap Azam menuduh.
"Astaghfirullah gak kok," elak Fariq.
"Assalamu'alaikum."
"Eh, wa'alaikumsalam ustadz," jawab Fariq kemudian diiringi Azam dan Hafiz.
"Antum cerita apa sih, kayaknya asik bener."
Fariq hanya terkekeh pelan sedangkan Azam dan Hafiz menyengir kuda.
"Jangan bilang lagi bahas perempuan," tebak Haikal sang ustadz yang terkenal dengan kelembutan dan keramahannya dalam bersikap membuat para santri wati klepek-klepek bak ikan yang tak diberi air. Terlebih lagi beliau merupakan ustadz termuda dan berparas rupawan.
***
"Nur itu dua piring buat kamu?" tanya Aza.
"Gak, satunya buat Alya," jawab Nuri seketika membuat Alya meliriknya.
"Gue gak laper!"
"Tapi Alya kamu kan belum makan dari tadi malam."
Alya terdiam, ada benarnya juga perkataan Nuri. Ia pun haru melihat ketulusan Nuri. Sebenarnya Alya ingin sekali menerima makanan dari Nuri, sejak malam tadi perutnya sibuk protes meminta Alya memenuhi kebutuhannya. Tapi Alya telah menyusun rencananya dengan sangat rapi. Kalau saja ia makan satu sendok pun, keinginannya untuk sakit dan pulang ke rumah hanya jadi angan-angan belaka.
"Hei Alya kamu itu emang gak tau diri ya, udah dibawakin makanan masih aja gak mau," cerca Salwa.
"Salwa diem, gak ada urusannya ya sama anti!" tegas Nuri
Salwa langsung mengunci mulutnya dan berlalu keluar asrama.
"Kenapa sih harus ada anak baru itu, jadinya semua orang malah merhatiin dia," gerutu Salwa yang disambut lemparan gumpalan kertas.
"Aw!" Salwa memutar kepalanya ke kanan dan kiri mencari dalangnya namun tak ditemui maka ia mengambil gumpalan kertas tersebut dan membukanya.
"Siapa nama santri wati baru itu?" ucap Salwa membacakan tulisan yang tercantum dikertas tersebut.
"Tuh kan lagi-lagi Alya. Aaaa! Kesel."
Salwa semakin memanas dan dikerumukannya kertas tersebut sehingga membentuk gumpalan kembali kemudian dilemparnya asal.
***
Arti kosa kata :
Anta limadza fi huna ya akhi = kamu kenapa ada disini
Akhwat = para perempuan
Syukron = Terimakasih
Selebihnya udah tau kan?😊Jgn lupe vomment.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajadah Cinta [SUDAH TERBIT]
Spiritual[SUDAH TERBIT] untuk pemesanan link di bio. Wahai lelaki yang suatu saat nanti sajadahku berada tepat dibelakangmu, bimbinglah aku agar menjadi makmummu yang selalu bertaqwa pada Allah. Aku tak perduli betapa banyak kekurangan atau pun kelebihan dal...