Sedari tadi Alya menciup aroma mencurigakan pada kedua orang tuanya ini. Ketika ditanya Lisa dan Aji hanya diam, arah mobil yang dibawa pun bukan menuju tempat perbelanjaan. Ia merasa jengkel dalam keadaan seperti ini, kemudian ia memutuskan untuk menghibur dirinya dengan beberapa lagu.
Aji memberhentikan mobilnya di Apro Bandara Soekarno Hatta. Kali ini Alya benar-benar dibuat penasaran. Dilepasnya headshet yang menyumbati telinganya tersebut dengan kasar.
"Pap, ngapain ke bandara? mau jemput kak Farzan?" tebak Alya karena memang tidak ada kepentingan lain, selain menjemput Farzan atau mengantar Aji untuk pergi ke luar kota.
"Udah turun aja dulu!" perintah Aji dengan masih menutup rapat rencananya dan Lisa.
"Itu koper siapa, Mam?" tanya Alya ketika melihat Lisa mengeluarkan dua koper besar dari bagasi.
"Ikut aja!" ajak Lisa sambil menarik lengan Alya lembut.
Saat memasuki ruang arrival banyak pasang mata yang memperhatikan Alya, terutama laki-laki yang sebaya dengannya. Entah apa yang dipikirkan, yang pasti mereka terpesona dengan kecantikan Alya, ditambah keanggunannya terpancar karena kesopanan baju yang dikenakannya. Alya tahu sejak tadi ia menjadi sorotan mata sebab itulah ia merasa sangat risih.
"Mami, papi, jelasin sama aku sekarang apa maksud kita ke bandara?" todong Alya jengkel.
Lisa menarik Alya dalam pelukannya, sementara Alya hanya terpelongo. Kemudian Lisa mengelus punggung Alya pelan, menangisi detik-detik kepergian anaknya. Begitu pun Aji mengusap kepala Alya lembut dan mencoba menahan air mata yang sejak tadi ingin meluncur. Alya melepaskan pelukan Lisa dengan lembut, menatap kedua orang tuanya itu aneh.
"Sumpah deh aku tu bingung mami sama papi tu kenapa?"
"Sayang, maafin abi sama umi yang gak bilang-bilang dulu ke kamu," kata Aji.
"Apa?" tanya Alya tambah bingung.
Aji menarik nafas panjang. "Abi sama umi mau pin-pindahin kamu ke pesantren," jelas Aji sedikit terbata.
Mendengar kata pesantren wajah Alya berubah seketika, pikirannya pun telah menjalar kemana-mana. Sejak dulu ia sangat mewanti-wanti kedua orang tuanya ini memasukannya ke pesantren seperti kakaknya Farzan. Namun kewantiannya itu benar terjadi, ia sungguh tak percaya Lisa dan Aji akan memutuskan ini padanya. Rasa sedih, kesal, jengkel mewarnai perasaan Alya saat ini.
"Mami sama papi apaan sih! aku gak mau masuk pesantren, aku gak mau!" ujarnya sambil merengek dan menangis.
Lisa menarik wajah Alya ke arahnya, mengusap wajah Alya lembut sambil menghapus setiap air mata Alya yang turun.
"Alya dengerin umi, pesantren itu bagus, nak. Baik untuk kamu, kalau kamu mau terus-terusan sekolah diluar sana pergaulannya sungguh bebas."
"Iya, nak. Pergaulan diluar sana itu bebas, moral dan akhlak anak sekarang banyak yang mines. Abi gak mau kamu kayak gitu," sambung Aji.
Namun itu tak kunjung membuat tangisan Alya berhenti bahkan ia semakin menderai air mata hingga tersedu-sedu.
"Aku gak mau Mam, Pap. Disana itu gak enak semuanya dikekang, terus aku gak ada temen. Pokoknya aku gak mau!"
"Sayang disana itu bukan dikekang tapi di didik untuk disiplin, kalo soal temen umi yakin kamu bakal dapat temen banyak kok."
"Aaa... gak mau! mending gak usah sekolah sekalian."
"Alya gak boleh gitu," kata Aji sambil mengusap punggung Alya.
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Garuda Indonesia dengan tujuan Surabaya. Penerbangan ke Surabaya akan ditempuh lima menit kedepan. Penumpang harap bersiap-siap."
Suara salah seorang pegawai bandara yang bergema di setiap sudut ruangan melalui pengeras suara pun memberhentikan percakapan mereka sejenak.
"Tuh lima menit lagi kita take off."
Mulut Alya setengah terbuka, "Surabaya? Ya ampun itu kan di Jawa Timur, gak ada tempat lain apa? London kek Paris kek," ocehnya.
Lisa dan Aji tertawa tanpa kode akibat mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan Alya.
"Di London sama Paris mana ada pesantren," tukas Lisa sambil mencubit pipi Alya gemas.
"Ya biarin aku sekolah disana aja."
"Udah gak usah rewel, turutin aja kata umi sama abi. Insyaallah kamu akan jadi anak yang sukses."
Lagi dan lagi Alya tak henti meneteskan air matan, memasang ekspresi kesal andalannya. "Mam, pap, beneran deh aku gak nakal lagi, tapi jangan masukin pesantren ya?" bujuk Alya.
"Gak! Keputusan umi sama abi udah bulat, lagian ini udah mau berangkat. Nama kamu juga udah di daftarin disana," jelas Aji dengan tetap mempertahankan keputusannya.
"Ayo sayang kita ke holding bay, sini umi yang bawa kopernya."
"Biar Abi aja, Mi," ujar Aji menawarkan diri.
Di perjalanan memasuki holding bay Alya masih saja terus menangis, merengek, sesekali menghentakkan kaki, menarik-narik kerudungnya hingga bentuknya pun berubah tapi tak menghilangkan sepersen pun dari kecantikannya.
"Pantas aja Mami nyuruh aku pake baju kuno gini, ternyata ada something," ucapnya sambil menangis cecegukan.
"Alya, udah dong nangisnya. Malu diliatin," pinta Aji yang berjalan membuntuti Lisa dan Alya sambil menggeret koper.
"Biarin!"
Tangisan dan rengekan Alya itu tak sedikit pun membuat Aji maupun Lisa merasa sebal, mereka berdua tetap sabar dan terus menenangkan Alya.
"Kenapa cantik, kok nangis?" tanya seorang laki-laki manis yang berlalu dihadapannya dengan sedikit terkekeh.
"Diem lo!"
"Alya gak boleh gitu ah!" kata Lisa sambil mengelus lengan anaknya.
Laki-laki tersebut hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya tanpa merespon perkataan Alya.
***
Untuk readers tersayang terimakasih udah sempatin baca cerita aku, tapi jangan baca doang dong vote juga. Munculin imajinasi itu gak gampang loh! Heheh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajadah Cinta [SUDAH TERBIT]
Spiritual[SUDAH TERBIT] untuk pemesanan link di bio. Wahai lelaki yang suatu saat nanti sajadahku berada tepat dibelakangmu, bimbinglah aku agar menjadi makmummu yang selalu bertaqwa pada Allah. Aku tak perduli betapa banyak kekurangan atau pun kelebihan dal...