Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Pengantar dan Prolog

974K 26.8K 1K
                                    

Halo, semuanya!

Selamat datang di kisah pernikahan Devon-Davina. Bersyukur sekali, cerita dua sejoli ini diberi kesempatan untuk bergabung dalam program Wattpad Original. Tentunya, semua tak lepas dari dukungan kalian. Terima kasih!

Adapun Wattpad Original, bisa kalian nikmati dengan membeli koin.  Untuk cara pembeliannya, bisa dibaca secara lengkap di profil kalian. Jadi, jangan lupa isi koin biar kalian bisa membaca cerita ini sampai tamat, oke? Love you, gaes!

***

Prolog

Malam telah larut. Tidak seperti biasa, kali ini tidak ada bulan yang menghiasi langit. Mendung. Hanya rintik-rintik hujan yang terdengar, membuat suasana terasa semakin kelam. Namun, tetap saja, kelam yang tercipta tidak mampu mengalahkan kelamnya hati seorang perempuan yang tengah duduk di tepian jendela. Ia memandang ke luar melalui jendela yang terbuat dari kaca, berharap seseorang yang sedang dinantinya segera terlihat di luar sana.

Davina Laurencia. Seorang perempuan cantik nan periang, serta suka melakukan hal-hal yang mampu membuat orang lain menjadi senang. Tetapi sayang, kecelakaan yang dialaminya dua bulan lalu terpaksa merenggut kebahagiaannya. Ia bukan lagi Davina yang lincah dan energik, sebab kini geraknya dibatasi oleh sebuah kursi roda. Ia bukan lagi perempuan yang bebas bergaul dengan siapa saja, sebab kini dirinya telah menikah dan harus selalu mendekam diri di rumah.

Ya, kecelakaan yang menimpanya membuat Davina harus menikah dengan lelaki yang bahkan tidak dikenalnya, Devon Hendrico Jonathan. Lelaki yang tampan dan mapan. Namun, dibalik kesempurnaannya, ia juga seorang playboy yang senang berganti-ganti wanita. Entah apa yang membuatnya seperti itu, Davina tidak tahu. Yang ia tahu, Devon membencinya. Devon membenci pernikahan mereka. Bagi Devon, Davina adalah bencana, sekaligus perusak hidupnya.

"Nyonya belum tidur?" suara Lucia, asisten rumah tangga mereka, terdengar mengagetkan Davina.

Perempuan itu menggeleng. "Belum, Luce."

"Masih ingin menunggu Tuan Devon?"

Davina menghela napas sesaat, lalu mengangguk kemudian.

"Kalau begitu saya akan menemani Nyonya di sini," kata Lucia.

"Tidak perlu, Luce. Pergi beristirahatlah. Kau pasti lelah sudah bekerja seharian ini."

Lucia memandang majikannya dengan iba. Setiap malam, inilah yang selalu dilakukan oleh Davina. Menunggu kepulangan suaminya dengan setia. Padahal lelaki itu selalu menyakitinya. Bahkan tidak jarang ia pulang bersama wanita lain, membuat Davina menangis karenanya.

"Tapi, Nyonya—"

Ucapan Lucia terhenti oleh suara pintu yang mendadak terbuka, disusul kemunculan sepasang pria dan wanita yang saling berangkulan. Devon dengan selingkuhannya. Bahkan hari ini pun, ia kembali membawa perempuan yang berbeda.

Davina menghela napas. Ia sama sekali tidak terkejut. Baginya pemandangan seperti ini sudah biasa. Meski begitu ingin marah, Davina sadar bahwa sampai kapan pun, Devon tetaplah Devon. Lelaki yang akan selalu membenci, serta memandangnya sebagai bencana. Lelaki yang tidak akan pernah bisa melirik padanya, terlebih mencintainya.

"Ups ... kau yakin kita akan bersenang-senang di sini, Sayang? Sepertinya akan ada yang mengganggu kita." Perempuan yang bergelayut di lengan Devon bersuara dengan manja. Ia memandang Davina dengan tatapan menghina.

Mengerti arah pembicaraan perempuan di sampingnya, Devon turut memandang Davina. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai kejam.

"Kau tidak perlu takut, Sayang. Dia bukan siapa-siapa, juga tidak bisa berbuat apa-apa," sahut Devon kemudian, dengan memberikan penekanan pada kalimat terakhir.

Davina memperkuat pegangan pada kursi roda, menahan emosi yang mulai meronta, meminta dilampiaskan. "Devon, aku ingin berbicara denganmu."

"Bicaralah."

"Tidak di sini."

"Tidak kalau tidak di sini!"

Lagi, Davina menghela napas. Sepanjang mungkin. Berupaya menentramkan hati, serta meredam amarahnya. "Ikut aku," ucapnya, tanpa memedulikan jawaban Devon yang sarat akan penolakan. Dengan cepat ia menggerakkan kursi roda menuju bagian belakang rumah mereka.

Devon memandang Davina dengan jengkel. Setengah hati ia berjalan mengikuti Davina, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk meminta ijin pada wanitanya.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Devon dengan malas saat mereka telah berada di dapur.

"Devon, apa kau tidak bisa menghargaiku sedikit saja? Aku tidak peduli kau bermain dengan berapa banyak wanita, tapi kumohon jangan di sini. Jangan di rumah ini!" cecar Davina dengan suara bergetar. Susah payah ia menahan tangis. Hal yang selalu dilakukannya setiap kali berhadapan dengan Devon.

Devon mengangkat sebelah alisnya, memberikan tatapan remeh pada Davina. "Memangnya kau pikir kau siapa, huh? Beraninya mengaturku seperti itu."

"Aku istrimu, Devon. Setidaknya kalaupun tak bisa begitu, anggap aku sebagai temanmu."

Devon mengernyit. "Teman? Maksudmu, aku harus berteman dengan pembunuh ayahku? Menyeramkan sekali," sahutnya seraya tertawa. Tawa yang penuh dengan nada ejekan dan penghinaan untuk perempuan itu.

Davina menunduk. Berusaha menahan kejatuhan air yang telah menggenang di pelupuk mata. Sungguh, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Devon. Ia tidak ingin Devon merasa senang karena telah berhasil menyakitinya. Meskipun pada kenyatannya, lelaki itu selalu berhasil. Apa pun kata yang keluar dari bibirnya, selalu mampu menyayat hati Davina. Menimbulkan goresan yang tak kunjung hilang, menyayat luka yang kian lama kian dalam.

"Dengarkan aku, Wanita Cacat," Devon melangkah mendekati Davina dan berdiri tepat di depan perempuan itu, "kau memang bernyawa. Tapi bagiku, kau hanya sekadar boneka yang tidak berguna. Dan selamanya, bagiku kau hanya bencana. Kau telah merenggut nyawa ayahku. Bahkan kini, aku harus menikahimu." Devon berdecih pelan kemudian melanjutkan, "Tidakkah kau pikir ini tidak adil? Karena kau, aku kehilangan satu-satunya anggota keluargaku. Tapi anehnya, aku harus bertanggung jawab atas kecacatanmu!" hardik Devon penuh emosi. Wajahnya memerah, menunjukkan ia benar-benar marah. Matanya lurus-lurus menatap Davina dengan tajam, layaknya pisau yang siap mencabik-cabik hati perempuan itu.

"Jangan pernah bermimpi untuk kuanggap sebagai seorang istri. Itu hanya akan ada dalam khayalanmu. Dan sampai kapan pun, bahkan sampai aku mati sekalipun, aku akan tetap membencimu!"

Usai mengatakan kalimat penuh kemarahan itu, Devon melangkah pergi. Meninggalkan Davina yang hanya dapat menatapnya dengan penuh kesedihan. Sepeninggal lelaki itu, Davina tidak mampu menahan air matanya lagi. Butiran kristal itu tumpah begitu saja, meluap dengan bebas, hingga membuat bahu Davina berguncang hebat.

Sungguh, kata sakit pun tidak mampu mengungkapkan apa yang dirasakannya saat ini. Perih, pedih, nyeri, semuanya bahkan jauh lebih dari itu. Selama dua bulan pernikahan mereka, inilah selalu yang diterima oleh Davina. Kekasaran, kekejaman, keangkuhan, dan berbagai penghinaan dari Devon.

Mungkin akan lebih baik jika Devon menyiksa dirinya secara fisik, daripada harus selalu menyakiti batinnya seperti ini. Andai saja Devon tahu, bukan hanya ia yang menderita. Davina juga. Ia bahkan harus kehilangan fungsi kedua kakinya. Kehilangan masa-masa muda yang indah dalam hidupnya. Dan yang terpenting dari itu semua, ia kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang pengacara seperti impiannya.

Jauh lebih parah dari Devon, Davina bahkan harus kehilangan masa depannya.

My Perfect DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang