Hari ini, Devon sudah merasa lebih baik. Meski kepalanya masih sedikit pusing, namun suhu tubuhnya tidak lagi sepanas kemarin. Dua hari mendekam diri di rumah benar-benar membuatnya tersiksa. Itulah yang membuat Devon memutuskan kembali bekerja, meski belum sembuh sepenuhnya.
"Kau sudah merasa baikan?" tanya Garry seraya berjalan memasuki ruang kerja Devon.
"Seperti yang kau lihat," sahut Devon. Ia meraih cangkir kopi di atas meja dan meneguknya perlahan, sembari tetap fokus pada berkas pekerjaan di tangan.
"Baguslah kalau begitu, itu berarti kau dapat menghadiri acara ulang tahun kekasihku malam ini, bukan?" Seperti biasa, Garry segera mengambil posisi pada sofa besar yang ada tengah-tengah ruangan tersebut.
Devon memijit pelipis. Nyaris saja ia melupakan undangan itu. Masih jelas dalam ingatan Devon saat Leona, kekasih Garry, mengundangnya untuk menghadiri pesta ulang tahun perempuan itu.
"Hm, tentu."
"Ah ya, Dev, apakah kau sudah membawa berkas yang kuminta untuk kau tanda tangani kemarin?"
Sejenak, Devon mengangkat wajah dari lembaran kertas yang tengah dibacanya. Ia mengangguk, lalu meraih tas kerja miliknya yang terletak di atas meja. Dengan gerakan pelan ia membuka tas itu, hendak mengambil berkas yang dimaksud oleh Garry.
Kala tasnya telah terbuka dengan sempurna, mata elang Devon membulat seketika. Tatapannya terpusat pada sebuah box kecil yang ada di dalam sana. Ia mengerutkan dahi, merasa tidak pernah memasukkan box berwarna merah muda itu. Siapa yang meletakkannya? Devon bertanya-tanya di dalam hati.
Devon meraih kotak makanan itu dan perlahan membukanya. Saat itulah, ia mendapati dua lapis roti selai dengan hiasan lelehan cokelat yang dibentuk menyerupai wajah tersenyum. Dan seolah itu saja belum cukup, Devon juga menemukan sekotak kecil susu kemasan, serta sebuah bungkusan kecil berisi obat-obatan. Lengkap dengan aturan dan jadwal meminumnya.
Davina. Pasti perempuan itu.
"Apa itu?" Entah sejak kapan, Garry telah berada di samping meja Devon. Ia menatap benda-benda di dalam tas lelaki itu dengan mulut nyaris menganga.
"Devon, sejak kapan kau membawa bekal ke kantor?" tanya Garry dengan takjub.
"Jangan bicara seenaknya. Bukan aku yang memasukkan benda-benda terkutuk ini." Devon menyahut sengit. "Aku harus membuangnya," katanya kemudian, seraya bersiap mengumpulkan benda-benda tersebut.
"Hei, jangan dibuang!" sergah Garry, membuat gerakan Devon kontan terhenti. "Kenapa harus dibuang? Apa karena Davina yang membuatnya?"
"Kau sudah tahu, untuk apa bertanya?"
"Ck." Garry terdengar berdecak. "Bahkan saat dia tidak ada di dekatmu, kau masih tetap berusaha menolak segala perbuatan baiknya? Tidak cukupkah kau menyakitinya hanya saat dia tengah berada di dekatmu saja, Dev?"
"Apa maksudmu?" Devon balas bertanya dengan mata menyipit tajam.
"Devon, berhentilah bersikap bodoh seperti ini. Sekuat apa pun kau mencoba membalaskan dendammu pada Davina, kenyataannya, masa lalu tidak akan pernah berubah."
"Dan kau, berhentilah mengguruiku. Sekuat apa pun kau berusaha, aku takkan pernah mendengarkanmu," Devon membalas ucapan Garry dengan sinis. Setelah mengatakan hal itu, ia lantas membereskan benda-benda tersebut, hendak membuangnya ke tong sampah.
ooOoo
Davina melemparkan pandangan ke arah jam yang menggantung di dinding. Pukul sepuluh tepat. Seharusnya, Devon sudah menyantap sarapan yang dimasukkannya secara diam-diam ke dalam tas kerja lelaki itu. Apakah Devon benar-benar memakannya? Atau justru memandangnya dengan tatapan hina, lalu membuangnya begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Doll
RomanceAkibat sebuah kecelakaan, bukan hanya kehilangan kemampuannya untuk berjalan, Davina juga diminta menikahi Devon, pria yang membencinya dan menganggapnya pembunuh. Meski begitu, Davina ingin menjalankan perannya sebagai istri dengan baik dan berhara...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi