my zodiacal (2)

71 20 30
                                    

"Kau--"

"Maaf, Bu, sedang ada pasien lain di sini. Mohon Ibu tunggu di luar sebentar." dokter tampan itu berbicara sangat lembut dengan senyum manisnya. Sangat berbeda dengan pria di sebelahnya yang sangat menjengkelkan.

"Tidak. Tidak!! Dokter, saya mohon, periksalah hewan peliharaanku terlebih dulu. Kurasa Piko sudah sekarat. Lihat!! Lihat!! Dia bahkan tidur sedari tadi tanpa bergerak sedikit pun. A--aku ... takut terjadi--"

"Hei!! Mengertilah, kau dengar 'kan apa kata dokter tadi? Semoga kau paham dan keluar!" pria menyebalkan itu malah memarahiku. Seharusnya 'kan dia iba pada Piko, sebagai sesama pemilik hewan pliharaan, semestinya ia mengerti perasaanku.

"Apa kau bilang? Bagaimana jika seandainya kondisi anjingmu yang seperti ini, hah?!" emosiku semakin meluap-luap olehnya.

"Eh... Sudah-sudah. Ini ruang praktek saya, jika kalian berdua ingin bertengkar sebaiknya kalian keluar." kemudian dengan santainya dokter rupawan itu kembali duduk di kursinya.

"Hei!!"
"Dokter!!"

"Dok! Kau tidak bisa mengabaikan pasienmu! Lihatlah kondisi anjingku, kumohon...," kataku berusaha membujuk dokter muda itu yang kuketahui namanya adalah Arfan--terlihat jelas dari name tag miliknya.

"Fan, periksa Piki dulu. Kau tahu 'kan Piki ini bukan hanya kesayanganku, tapi juga kau! Kau sendiri bukan, yang menyuruhku membawanya ke mari untuk memeriksa kesehatan kulitnya?"

Tunggu!! Pria itu berbicara sangat santai pada dokter Arfan? Tidak menggunakan kata 'dokter'? Dan apa?! Kulit?!

"Hey! Hanya memeriksa keadaan kulit?!"

"Kenapa?"

"Anjingku sekarat dan kau hanya ingin memeriksa kulit anjingmu?"

"Ya. Anjingku harus sehat. Bukan seperti anjingmu, kurus dan ... kotor!" selamat. Pria itu berhasil membangkitkan amarah dalam diriku.

"A--apa?! Bahkan kau menghina Piko? Kau tahu? Hiks... Anjingku terlihat kurus semenjak dia sakit! Bulunya rontok dan tampak kotor, itu karena sejak semalam ia muntah dan tidak ingin makan!! Kau--kau sungguh keterlaluan!" Aku sungguh marah dan sedih. Aku tidak bisa mendengar siapapun menghina apa yang kusayangi, sekalipun itu hanya seeokor anjing.

Dokter Arfan segera mendekatiku, oh... Bukan! Tapi ia mendekati kandang Piko dan mengambilnya. Dokter dengan lesung  pipit yang terbentuk di pipinya itu menaruh Piko di atas meja perikasa. Ia mengeluarkannya, sedikit membuka mata Piko yang terpejam. Seketika, Piko menggeliat lemah.

"Jadi, apa keluhannya?" tanya dokter tampan itu. Aku bingung, mengapa dokter itu bertanya padaku? Bukannya yang sakit Piko? Seharusnya ia bertanya pada Piko, bukan denganku.

Kalau ia bertanya mengenai keluhanku, butuh waktu berjam-jam untuk menjelaskannya. Hidupku memang terlalu banyak keluhan, dan tidak ada satupun dokter yang dapat membantu. Tapi, saat melihat dokter Arfan, rasanya seperti--

"Ehem, apa ada sesuatu di wajahku?" tanya dokter Arfan sembari menyentuh kulit wajahnya yang mulus.

"Ee--tidak. Tidak, Dok. Tadi dokter bertanya apa?" tanyaku dengan gugup. Rasanya detakan jantungku memompa dua kali lebih cepat.

"Saya bertanya apa keluhannya?" ulang dokter itu.

"Ke--keluhan siapa, Dok?"

"Hey!! Kau ini, kau berpura-pura bodoh atau hanya ingin mencari perhatian Arfan? Jelas sekali Arfan menanyakan keadaan anjingmu, bukan kau!" aku tersentak mendengar volume suara pria menjengkel itu.

"Pelankan sedikit suaramu, Wil," kata dokter itu. Setelahnya, dokter tampan itu melihatku menunggu sebuah jawaban.

"Aku tidak tahu, Dok. Aku 'kan bukan Piko, sedangkan yang merasakan sakitnya adalah Piko. Jadi--"

"Maksudku, bagaimana kondisi Piko sejak sakit?"

"Em... Dia lebih sering tidur, kalau makan Piko pasti akan memuntahkannya, dan juga Piko tidak mau mandi."

"Baiklah, biar saya periksa." dokter Arfan mengambil peralatan periksa miliknya. Ia membuka mata Piko, menerangkannya dengan senter kecil. Lalu, ia mengambil sebuah alat ukur suhu tubuh.

"Dia hanya demam biasa saja kok, tidak sekarat." dokter itu memberikan senyuman termanisnya padaku.

"Benarkah?? Kau tidak berbohong 'kan Dok?" aku bertanya lagi penuh harap. Dokter itu hanya menangguk pertanda jawaban 'iya'.

"Kondisinya baik-baik daja, kau tidak perlu khawatir."

"Lalu, menagapa Piko sejak tadi tertidur seperti mayat?"

Dokter tersebut tersenyum. "Itu karena dia sakit. Kau ini hahaha... piko hanya kelalahan saja. Saya akan memberinya vitamin, nanti."

Aku hanya mengangguk dan menghampiri anjingku. Aku mengelusnya perlahan dan seketika itu pula Piko menggeliat. "Piko?! Kau sudah sadar? Oh astaga, syukurlah!" aku mengguncang-guncangkan tubuh Piko dan memeluknya.

"Kau sungguh berlebihan. Lihat, anjingmu sudah diperiksa, kan? Kalau begitu kau bisa keluar sekarang." pemuda berkulit cokelat itu menatapku dengan tajam.

Aku jadi sedikit kesal karenanya, kutatap matanya yang gelap itu dengan sengit. "Tidak bisakah kau bersikap sopan? Aku juga pasien di sini, dan kau bukan dokternya jadi jangan semena-mena!" aku sungguh terbawa emosi.

Dokter Arfan selesai menulis resepnya dan berdiri. Ia menghampiriku yang masih tersulut emosi. "ini resepnya, berikan pada apoteker di ruang sebelah. Semoga anjingmu lekas sembuh," ucapnya dengan lembut dipadukan dengan senyumannya yang menawan.

"Terima kasih, Dok. Maaf juga karena sudah membuat keributan." balasku tak kalah ramah.

Dokter Arfan hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian aku memasukkan kembali Piko ke dalam kandangnya dengan perlahan. Aku sangat bersyukur karena ternyata Piko tidak sekarat dan tidak memerlukan operasi yang menguras isi dompetku. Setelah kulihat Piko cukup nyaman pada posisinya di dalam kandang, aku bergegas pergi. Kulihat lagi dokter muda itu dan tersenyum. Kemudian, mataku beralih pada sosok pria monster yang berada satu langkah di bekakang dokter tersebut. Aku melihatnya dengan kesal, aku merasa belum bisa memaafkan semua kata-kata kejamnya padaku dan Piko tadi. Setelah beberapa detik kami bertatapan dalam emosi aku memutuskan untuk segera pergi. Sebelum itu aku berterima kasih lagi pada dokter Arfan.

Tidak butuh waktu lama aku mengantre untuk menebus obat. Aku segera ke luar dan menuju parkiran. Kulihat parkiran yang semakin penuh. Kurasa semua kendaraan ini bukanlah seluruhnya pengunjung klinik hewan. Mungkin saja juga kendaraan para pengunjung supermarket di sebelah. Aku segera membuka pintu penumpang di sebalah kemudi, kuletakkan kandang Piko di dalamnya. Kemudian aku berlari kecil menuju pintu kemudi.

"Astaga, motor siapa ini? Apa dia tidak bisa parkir di tempat lain? Menghalangi mobilku saja." aku kesal sendiri karena ada motor bebek hitam di samping mobilku. Aku cukup kesulitan untuk masuk ke dalam. Tidak lama, aku berhasil masuk ke dalam mobilku, itu berkat tubuhku yang sangat kurus. Baiklah ralat "langsing". Aku sangat langsing.

Aku segera menyalakan mesin mobil, dan lagi-lagi aku dibuat kesulitan oleh motor itu. Karena terlalu sempit, aku ceroboh dan tak sengaja menyenggol motor tersebut hingga terjatuh. Cukup keras bunyinya, aku rasa akan ada kerusakan pada badan motor itu. Aku hendak keluar untuk mendirikan motor itu lagi. Tapi, suara teriakan menghentikan niatanku.

"Hey!! Motorku!!" aku melihat pria itu berlari mendekat. Orang itu lagi. Segera aku tancap gas dan meninggalkan parkiran dengan sebuah motor yang sudah terbalik.

"hahaha... Rasain! Anggap saja itu balasan!" aku tertawa sendiri dalam mobilku.

Bersambung...

Stingy CrabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang