met again

21 7 1
                                    

"Lihat! Kau sungguh ceroboh, Olin. Kau pulang dengan meninggalkan Piko di klinik hewan." ibu dan ayahku segera memasang wajah marah terhadapku.

Piko kecil terus menjilati wajahku dan menggoyang-goyangkan ekornya dengan girang. Aku sungguh tak menyangka dapat melupakan Piko dan meninggalkannya sendirian di klinik. Aku terus memeluk anjing kecilku. Mungkin karena terlalu terbawa suasana oleh Wil di bengkel tadi, aku jadi melupakan adik tersayangku ini.

Aku segera menggendong Piko. "Maaf, aku tak sengaja melupakannya," setelah mengucapkan itu, aku membawa Piko ke pekarangan belakang rumah.

"Apa kau sudah merasa lebih baik? Apa kau sudah tidak sakit lagi? Ahh... kau tampak segar dan jauh lebih sehat. Bahkan kau belum meminum obatmu." aku duduk di rerumputan hijau dan menaruh Piko di pangkuanku. Piko memang jauh terlihat lebih sehat, meski baru beberapa jam setelah pengobatan tadi siang. Piko mulai membaringkan badannya dan aku terus mengelus puncak kepala Piko.

Kemudian, aku terpikirkan oleh satu hal yang terasa sangat ganjil. Aku segera mengguncangkan Piko perlahan hingga ia tersadar kembali.

"Piko, sekarang jelaskan. Dengan siapa kau ke mari? Mengapa kau dapat pulang ke rumah? Apa kau bersama orang lain ke sini? Apa ada yang mengantarmu?" aku melontarkan segala pertanyaan pada Piko. Alih-alih menjawab, Piko kembali menidurkan tubuhnya setelah berputar-putar (kebiasaan anjing sebelum duduk atau tidur, mencari posisi ternyaman).

Karena Piko tak kunjung menjawab, aku memutuskan untuk ke dalam dan bertanya pada ibuku. Aku menemukan ibu berada di ruang tamu, namun ia tidak sendiri melainkan bersama dengan seorang wanita paruh baya, yang mungkin seusia dengan ibuku. Mereka tampak asyik berbincang dengan diselingi tawa. Aku tidak heran mengapa suara tawaku sangat keras dan tampak seperti makhluk gila. Ternyata kemampuan itu ditularkan oleh ibuku. Menyedihkan.

Aku menghampiri ibuku dan bertanya, "Can I ask?"

"Sure," kata ibuku sambil sedikit berbisik.

"Siapa yang membawa Piko pulang?" tanyaku langsung.

Ibuku berdecak dengan matanya yang membulat. "Seornang pria. Sudahlah kita bicarakan nanti saja."

Aku jadi sangat penasaran dan ingin bertanya lagi, namun lagi-lagi tatapan mata ibu membuatku bergidik ngeri. Jadi, aku memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali bersama Piko. Namun saat baru beberapa langkah, aku mendengar pertanyaan yang menurutku menyebalkan dari seorang wanita itu.

"Dia... anakmu?" tanyanya dengan sedikit ada keraguan dalam nada bicaranya.

Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh ibuku, namun aku belum mendengar jawaban darinya. Seharusnya itu adalah pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab, terlebih aku adalah anak kandungnya. Tak kunjung mendengar jawaban, aku kembali melajukan langkahku menuju tempat Piko berada. Kulihat Piko tengah tidur pulas di tengah pekarangan. Cakrawala yang membentang telah menggelap menuju malam. Sinar mentari pun tergantikan oleh bulan dan bintang yang bertaburan.

Aku membangunkan Piko dan memasukkannya ke kandang hewan. Setelahnya, aku menuju dapur untuk mengambil seporsi makan malam untuk anjing kesayanganku itu.

"Halo, Kakakku...." tak sengaja aku menjatuhkan kacang yang berada di tanganku.

Aku segera membalik dan menusuk wajah gadis itu dengan tatapan tajamku. "Kau ingin membunuhku?"

"Ah, Kakak. Maaf-maaf, aku tidak sengaja," ucapnya tanpa raut bersalah sedikit pun.

"Kau telah membuat kacangku jatuh!" aku memungut kacang-kacang yang berserakan di lantai dengan sangat kesal.

"Berhentilah makan kacang terlalu banyak, Kak. Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik, lho." gadis itu membantuku memungut kacang-kacang yang tersisa.

Aku menatapnya. "Kau selalu saja menasihatiku bocah kecil." aku segera berdiri dan mengambil mangkuk yang telah terisi makanan untuk Piko.

"Aku baru datang ke sini, tapi Kakak tampak tidak peduli. Apa Kakak tidak merindukanku?"

"Sangat jelas, bukan?" lalu aku melenggang pergi meninggalkannya di dapur sendiri. Biarkan saja, kurasa ia tidak sendiri, ada kecoak atau tikus-tikus kecil yang akan menemaninya.

"Kakak!! Tunggu!! Aku akan mengadukan ini pada ibukuu!!"

***

"Jadi, Piko kecil sakit?" tanyanya dengan panik, ia mencuri Piko dari pelukanku dan tampak cemas. Atau mungkin berpura-pura cemas. Ia sangat pintar berakting.

"Ya. Jangan terlalu sering menyentuhnya, Meira. Kau dapat membuatnya semakin sakit." aku kembali mengambil milikku.

Meira Anastasia, gadis kecil itu masih berusia tujuh belas tahun dan duduk di bangku kayu yang diletakkan di sebuah sekolah menengah atas. Dia adalah adik sepupuku, parasnya sangat cantik. Kulitnya seputih susu dan selembut sutra, matanya bulat berwarna cokelat, dan yang membuatnya semakin indah dipandang mata adalah karena rambutnya, panjang bergelombang. Sempurna. Namun, aku sedikit tidak menyukainya. Aku memiliki banyak alasan mengapa aku tidak menyukai adik sepupuku sendiri. Akan aku jelaskan ketika tiba saatnya aku menjelaskan.

"Kakak, kau tahu--"

"Tidak," aku memotong kalimatnya.

"Aku bahkan belum memeritahukannya, Kak!" Meira memasang wajah datar, tapi sayangnya tetap terlihat cantik.

Aku hanya diam, dan tak perlu disuruh ia mulai bercerita, "Aku punya pacar baru."

"Selamat. Bukan untukmu, tapi untuk deretan mantanmu yang tersakiti."

"Kakak!! Kau harus tahu, pria ini baik. Sungguh! Kami sudah lima bulan. Kakak harus tahu, wanita yang berada di ruang tamu itu adalah ibunya. Iya!! Calon mertuaku, Kak!!" Meira sangat bergairah saat menceritakan itu.

"Astaga! Bahkan kau sudah memperkenalkan calon mertuamu pada ibuku?" tanyaku tak percaya. Bahkan aku sendiri tak pernah mengenalkan siapapun pada orang tuaku, dan bocah ini? Dia sudah berani! Apa dia ingin sombong bahwa ia jauh lebih disukai pria dan ingin menginjak harga diriku? Aku sangat emosi saat ini.

"Untuk apa memperkenalkan kalau mereka sudah saling mengenal. Hahaha...."

Aku sedikit bingung dan menautkan kedua alisku. "Saling mengenal?"

"Iya. Aku bahkan tidak menyangka kalau ibu pacarku adalah sahabat baik, Bibi." ia tertawa bahagia.

"Apa kau membawa pacarmu itu ke sini?" entah kenapa aku sangat penasaran, dengan pria yang berhasil mendapatkan seorang Ratu Meira.

Ia mengibaskan rambutnya, yang membuatku sangat jengkel. Aku 'kan tidak memiliki rambut panjang yang indah sepertinya. "Saat ini belum."

"Apa dia masih bersekolah? Atau mungkin kuliah?"

"Wah. Ternyata sekarang Kakak jadi penasaran. Heheh... dia sudah tidak bersekolah lagi."

"Maaf mengganggu, Mbak Olin dan Mbak Meira dipanggil nyonya untuk makan malam." asisten rumah tangga itu segera pergi setelah menyampaikan pesan.

Bersambung...

Stingy CrabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang