Di dalam mobil, aku sedikit berpikir, kuurutkan setiap rentetan kejadian yang memang terasa aneh menurutku. Mulai dari membaca artikel zodiak yang membuatku panik hingga menumpahkan kopi ke keyboard laptopku, Piko yang sakit dan terlihat sekarat, bertengkar dengan pria bertampang psikopat di klinik hewan, hingga yang terakhir tidak sengaja menjatuhkan motor pria itu. Tidak! Tidak! Kurasa menjatuhkan motor belum bisa dikatakan yang terakhir. Ini masih pukul 14.00 siang, masih ada sepuluh jam lagi untuk pergantian hari, dan sebelum itu terjadi, kesialanku hari ini akan terus berjalan. Hari ini aku harus berjaga-jaga. Nasib sial harus dihindari atau paling tidak dicegah.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang, kebetulan saat ini keadaan jalan raya masih lenggang. Tidak banyak kendaraan yang memadati jalanan. Biasanya menjelang sore jalanan akan dipadati oleh kendaraan-kendaraan beroda empat ataupun dua, kalau beroda satu ... aku tidak tahu. Saat sedang fokus menyetir, handphone-ku berdering. Tidak, sepertinya tidak dapat dikatakan berdering, tapi bergetar, karena bunyinya 'drrtt... drrtt... drrtt...'
Kulirik benda pintar itu yang berada di sebelahku. Tak dapat kulihat siapa penelponnya, dengan cepat kupalingkan wajahku dan kembali fokus menatap jalan.Seumur-umur aku tidak pernah menerima panggilan saat sedang mengendarai mobil. Aku sangat tahu bahaya apa yang akan terjadi bila itu kulakukan. Tapi, sebenarnya alasan lain mengapa aku tidak pernah menerima panggilan, itu karena memang tidak ada yang memanggil. Inilah pertama kalinya ada yang menelponku saat Berkendara. Kudengar benda tipis itu berhenti bergetar, mungkin si penelpon sudah terlanjur kesal karena aku yang tak kunjung mengangkat. Tak apalah dia marah, yang penting jiwaku terhindar dari mara bahaya.
Tidak lama, handphone-ku kembali bergetar, sudah dua kali aku mengabaikannya, tapi si penelpon tak kunjung lelah, ia terus saja menghubungiku. Karena sudah kesal, aku menepikan mobilku di pinggiran jalan yang sepi. Kutatap layar handphone yang menampilkan nomor asing. Awalnya aku enggan untuk mengangkatnya, tapi setelah berpikir ulang, aku harus mengangkatnya. Mungkin saja yang menelpon adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku tersenyum dan menggeser bulatan hijau.
"Halo," ucapku membuka.
"Tidak perlu basa-basi. Kau harus bertanggung jawab!" Terdengar suara pria di ujung sana. Aku sedikit tersentak mendengar nada bicaranya yang terbilang kasar.
"Kau, kau siapa, hah? Berani membentakku?"
"Datang ke supermarket dekat klinik hewan tadi. Sekarang." Terdengar penekanan pada kata 'sekarang' yang diucapkan pria itu. Aku hanya terdiam, berusaha berpikir siapakah pria itu. Kemudian yang terlintas di kepalaku adalah teman-temanku yang sangat usil. Kemungkinan ini adalah ulah mereka, apalagi ini adalah awal bulan april. April Mob.
"Kalau kau tidak datang, maka aku akan melaporkanmu ke polisi!" Setelahnya pria itu memutuskan sambungan.
Dengan senyum lebar, aku melajukan mobil dan memutar balik arah ke supermarket dekat klinik hewan tadi. Aku banyak membayangkan ekspresi-ekspresi teman-teman yang akan mengerjaiku. Kurang dari lima menit, aku kembali memarkirkan mobilku di parkiran depan klinik. Kondisi parkirannya sudah tidak seramai tadi, jadi dengan leluasa aku dapat memarkirkan mobilku. Aku hendak turun, tidak lupa aku mengajak Piko. Tidak mungkin aku membiarkan Piko berada di dalam sendirian.
Sebelum menuju supermarket, aku kembali ke klinik hewan tadi dan menitipkan Piko di sana. Dengan riang aku berjalan menuju supermarket, tidak hilang dari bayanganku, bagaimana cara kawan-kawan akan mengerjaiku. Sesampainya aku di depan supermarket, aku segera masuk. Tapi, aku tidak menemukan siapapun yang kukenal di sana. Aku segera menghubungi kembali nomor tadi.
"Halo. Kau di mana? Aku sudah di dalam supermarket," kataku dengan santai. Padahal di dalam hati aku ingin tertawa. Karena, aku sangat yakin kalau yang menelponku adalah Rean, sahabatku yang sangat usil.
"Aku berada di belakangmu." aku segera berbalik, dan...
Degg!!
Dia?!!
"Kau terkejut?" ujar pria itu.
Seketika aku ingin roboh dari posisiku berdiri saat ini. Aku sungguh tak menyangka kalau pria itu yang menghubungiku. Tapi kenapa? Dia tahu nomor ponselku dari mana?
Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Apa dia tahu kalau aku yang menjatuhkan motornya tadi? Satu kesialan telah menghampiriku lagi. Aku menatapnya ragu, rasanya bibirku kelu untuk mengatakan satu kata pun.
"Apa kau sakit? Apa perlu aku memanggil Dokter Arfan untuk memeriksamu?" kata-kata pria itu sangat menusuk dadaku. Dokter Arfan 'kan dokter hewan. Sedangkan aku manusia, apa itu salah satu bentuk hinaan? Sungguh keterlaluan.
"Aku baik-baik saja. Kenapa kau menghubungiku?" tanyaku berusaha tenang, aku tidak ingin terlihat takut sedikitpun di hadapan pria menyebalkan itu.
"Baiklah. Kalau kau baik-baik saja." dengan kasar pria jangkung itu menarik lenganku dengan kasar keluar dari supermarket.
Aku bingung dan merasa sakit di pergelanganku. "Hey!! Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku!?" lalu pria itu berhenti tanpa melepaskan tanganku sama sekali. Ia semakin menggenggam tanganku kuat, kurasa sebentar lagi tulangku akan segera remuk dan siap diberikan pada anjingnya.
Matanya menatapku dalam, sedalam lautan. Tampak teduh, meski raut wajahnya melukiskan kekesalan. "Di mana mobilmu?" suaranya berubah sangat dingin.
"Memangnya kenapa? Kau ingin mengambil mobilku?" tanyaku.
"Kau kira aku tidak mampu membeli mobil yang lebih bagus dari milikmu?"
"Lalu untuk apa?"
"Kau harus ikut denganku!" ia pun kembali menarik tanganku. Setelah sampai di parkiran, pria itu meminta kunci mobil. Karena dipaksa aku pun memberikannya.
Pria yang belum kuketahui namanya itu, mengendarai mobilku dengan kecepatan yang sangat tinggi. "Hey!! Pelan-pelan! Kau ingin membawaku mati bersamamu?" tapi lagi-lagi pria itu hanya diam.
Aku memejamkan mata dan berkomat-kamit memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Sungguh, aku belum siap untuk mengakhiri hidupku. Usiaku masih sangat muda, baru lulus kuliah, belum bekerja, belum pergi ke Jepang dan Italia, belum menikah, belum memiliki anak dan belum merasakan bahagia. Semenderitanya diriku saat ini, aku tahu kalau Tuhan akan memberikan yang lebih baik untukku. Jadi, aku sungguh belum siap mati, apalagi bersama pria yang tak kukenali. Aku tidak ingin mati dan masuk televisi!!
"Buka matamu, bodoh!" suara dingin itu kembali membuatku kesal. Dia mengataiku bodoh!!
Aku segera membuka mata, dan ternyata mobilku sudah berhenti di suatu parkiran. "Bengkel?"
"Turun!" ujar pria itu memaksa. Aku pun ikut turun bersamanya, kami berjalan menuju bengkel yang lumayan besar. Hampir seluruh bagian bengkel ini didominasi warna merah dan putih. Kupikir, pemilik bengkel besar ini terinspirasi dari bendera Indonesia. Mungkin.
"Hei, Wil!" seorang pemuda menyambut kami dengan menyapa pria jengkel di sebelahku ini.
"Bagaimana motorku?"
"Sedikit kerusakan di bagian bumpernya, bannya juga bocor dan rantainya putus."
"Ck." kembali pria itu menatapku.
"Kau dengar?? Kau harus ganti rugi, kau kira aku tidak tahu kau pelakunya? Bayar semua kerugian yang kau buat, Nona." matanya kian menusuk bola mataku. Aku bergidik ngeri melihatnya.
Aku merasa bingung, mengapa hanya dengan jatuh saja, motor itu bisa mengalami kerusakan rantai dan ban? Apakah aku dibodohi? Tapi, sesungguhnya aku memanglah bodoh.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Stingy Crab
RomanceKisah petualangan cinta seorang gadis kepiting. Di usia yang sudah berkepala dua, ia belum juga menemukan jodohnya. Bosan dengan kehidupan jomblonya, Olin bertekad untuk menemukan cinta sejatinya. Tentunya melalui ramalan-ramalan zodiak yang ia perc...