met again (2)

32 10 10
                                        

Untuk pertama kalinya pandanganku tidak terfokus pada makanan yang berada di hadapanku. Aku sibuk meneliti setiap inci wanita paruh baya--sahabat ibuku--itu. Rambutnya pendek sebahu, kulitnya putih dan halus, matanya pun terlihat sipit seperti bulan sabit. Sangat sempurna di usianya yang tak dapat dikatakan muda lagi. Wanita itu tampak sangat feminim, tapi aku tak menyukai caranya berbicara. Sedikit berlebihan.

"Jadi, kapan kau mau membawa kedua putramu untuk makan malam bersama?" tidak biasanya ibuku mau berbicara di saat makan.

Wanita itu meletakkan sendoknya. "Kapan pun bisa. Tapi, kau tahu sendiri, 'kan? Puteraku yang pertama sangat sibuk."

"Apa pekerjaan putra pertamamu?" timpal ayahku.

"Nanti kalian akan tahu." wanita itu terdiam sejenak, lalu tersenyum.

"Em... Tante, apa besok aku bisa bertemu dengan Kak Wil?" kini Meira pun berhasil masuk dalam percakapan.

Tapi, tunggu! Wil? Wil siapa yang Meira maksud? Apa mungkin kekasih barunya itu?
Tapi, sungguh, mendengar sebutan itu aku jadi teringat lagi. Apakah Wil yang dimaksud Meira sama dengan Wil yang kutemui hari ini?

Pikiranku melayang entah ke mana. Membayangkan Wilson membuatku kembali jengkel sekaligus senang. Ini sangat kacau! Bahkan hanya dengan mengingat wajahnya saja, aku merasakan pipiku memanas. Ku rasa, saat ini kulit wajahku telah bersemu. Ah sial!

"Anakmu Olin, bekerja di mana?" tanya wanita cantik itu.

Ayahku terbatuk lalu tersenyum. "Aku rasa dia belum menemukan pekerjaan yang tepat, atau mungkin... ia belum siap bekerja." ayah menatapku. Entahlah, aku tak dapat mengartikan maksud dari tatapan itu.

"Oh, benarkah begitu, Olin?"

"Ahh... ya kurang lebih seperti itulah, Tan--" aku bingung harus bagaimana memanggilanya.

"Jessie, kau dapat memanggilku Tante Jee." senyumnya merekah. Sungguh cantik, di usianya yang sudah tidak muda lagi.

"Ya, Tante Jee."

***

"Iya!!!" aku berlari kencang mengejar Bio. Peluh mengalir mulus di wajahku. Setibanya di hadapan Bio, aku segera memanyunkan mulutku. Kesal karena harus berlari mengejarnya.

"Kau tidak bisa jalan lebih pelan lagi? Kau berbicara sambil berjalan. Kau membuatku lelah. Seharusnya kau membawa sepeda motormu. Lihat sekarang! Kita tidak mendapat angkutan umum. Bahkan kau tidak mau menghentikan taksi yang lewat. Bio...!!! Aku--"

"Aku lelah mendengar kalimat panjangmu. Kau selalu mengeluh, Olin." kini Bio menghentikan langkahnya dan menatapku. Tahi lalat di dahinya selalu ingin membuatku tertawa. Itu bahkan terlihat seperti tahi kambing. Aku menahan tawa. Sungguh aku tak kuat. Aku berdosa karena selalu menghina pacarku sendiri. Oh, ampuni lah aku, Ya Tuhan!

Aku diam saat Bio terus menatapku. "Sebenarnya apa yang kau mau, Olin? Apa kau malu saat berjalan denganku?"

Aku tertegun. Sekali pun aku tidak pernah malu saat berjalan dengannya. Hanya saja, terlalu banyak berjalan akan membuat kakiku bengkak seperti gajah. "Tentu saja tidak!" ucapku meyakinkan. Aku jadi merasa bersalah pada Bio. Sungguh!

"Hari ini aku hanya ingin mengajakmu ke perpustakaan kota. Aku tahu kau belum pernah menginjak perpustakaan. Terutama perpustakaan sekolah, kalau bukan aku yang mengajakmu saat itu." Bio memalingkan sedikit kepalanya.

Sudah kuduga. Lagi-lagi perpustakaan, lagi-lagi belajar. Aku heran dengan isi kepala Bio. Setiap bertemu dengannya, selalu saja pengetahuan yang dibahas. Bahkan saat kencan pertama kami, dia membawa buku fisikanya dan mengerjakan beberapa soal saat makan malam. Aku curiga, mungkinkah saat mengandung Bio, ibunya memakan tumpukan buku? Lucu sekali.

"Aku tidak suka duduk dengan ribuan buku yang menatapku seakan ingin membunuh, Bio!" aku sedikit meninggikan suara, agar terlihat sedikit dramatis.

Bio membuka kacamatanya dan memakainya lagi. Entahlah kenapa dia melakukan itu. "Seharusnya kau tahu, membaca dan belajar itu baik untuk masa depan. Kau tidak akan menyesal kalau kau banyak membaca, Olin."

Saat ini aku sudah malas untuk sekedar menjawa "iya" atau bahkan menghembuskan napas di hadapannya. Bio sungguh membuatku depresi. Mempunyai pacar yang kutu buku memanglah tidak mudah. Apakah ini harus kulakukan? Apakah keputusan yang selama ini sudah kurencanakan harus kujalankan? Haruskah aku mengatakannya dan mengakhiri ini semua?

Tapi, aku takut menyakiti Bio.

Tapi, bukankah cinta memang berakhir menyakitkan?

Lebih baik aku melakukannya lebih dini, sebelum rasa sakitnya semakin menjadi.

Di pinggir jalan yang sepi, di bawah Satu beringin yang rindang, aku akan mengatakannya. Di bawah langit sebagai saksi dan hembusan angin yang kelak mungkin menjadi penghantar memori ini. "Aku rasa, kita bisa mengakhiri semuanya. Sekarang." aku hanya berani menatap ujung sepatuku

Bio diam, aku pun sama. Aku rasa Bio sudah tahu maksud dari ucapanku. "Aku sudah tahu, kalau kau akan mengatakan ini cepat atau lambat."

Diam.

"Aku harap kau tidak akan lupa untuk terus belajar. Tetap berjuang untuk masa depanmu."

Diam.

"Terima kasih untuk kesempatan yang kau beri untukku. Aku sangat menikmatinya. Meski, kau yang merasakan sakitnya."

Diam.

Aku hanya terus menatap ujung sepatuku. Untuk sesaat terasa hening. Aku coba mendongak, ternyata Bio perlahan beranjak pergi. Aku sangat merasa bersalah.

Bukan aku yang sakit. Tapi. Sesungguhnya dialah yang merasa sakit paling dalam. Namun, entah mengapa ada sepercik rasa bahagia yang kurasakan. Ya, meskipun aku sadar kalau aku menyukai Bio. Tapi, saat ini aku bisa merasa bebas. Bebas!!!

***

"Bio," gumamku. Kulihat fotonya yang sedang membaca buku dengan kacamata bulatnya.

"Bio, maaf. Aku baru sadar, kalau semua yang kau katakan saat itu benar. Bahwa belajar sangat penting untuk masa depan. Saat itu, aku sangat malas belajar dan membaca. Dan kini, masa depanku suram tanpa pekerjaan. Kau sendiri? Kau sangat sukses di usia mudamu. Sungguh, aku malu jika harus bertemu denganmu lagi, Bio." aku menutup album lama yang berisi kumpulan fotoku bersama Bio.

Entah mengapa, aku teringat dengannya. Aku ingin bertemu dengan Bio, tapi itu hanya akan membuat diriku malu sendiri.

Aku beranjak dari dudukku. Hari ini, aku akan pergi ke bengkel untuk melihat kondisi motor Wil. Mungkin saja aku akan bertemu dengannya di sana. Hehe...

Wilson. Semalam aku memimpikannya. Sungguh, saat di mimpi ketampanannya semakin bertambah. Kami bertemu di taman yang dipenuhi bunga sakura. Pemandangan yang sangat indah dan suasana yang menjadi romantis kala Wil menatap mataku dalam. Dia menarik tanganku dan menggegamku dengan lembut. Dia tersenyum. Sangat manis. "Olin," dia menyebut namaku. Aku terdiam, menanti kata berikutnya.

"Jangan lupa untuk membayar biaya kerusakan motorku, ya." lalu dia tertawa.

Itu adalah mimpi indah yang menjelma menjadi mimpi buruk. Pertama kali aku mengalaminya. Bahkan saat terbangun, wajahku dibasahi oleh keringat. Bau sekali!

Karena mimpi itulah, aku memutuskan untuk ke bengkel. Mungkin saja, mimpi itu adalah petunjuk bahwa aku akan bertemu lagi dengan Wil. Semoga saja!

Aku sangat bersemangat pagi ini, aku suntuk bila harus seharian di dalam kamar dengan membaca artikel-artikel zodiak yang menggeramkan. Lagi pula, aku adalah seorang pengangguran. Jadi, bebas untukku pergi dan melakukan apa saja.

Bersambung...

Maaf, lama tidak update🙏

Salam manis, Kalis~

Stingy CrabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang