bad luck (2)

33 12 32
                                    

"Se-separah itukah?" Tanyaku pada montir tampan itu. Ah sial! Kenapa di mataku semua pria terlihat tampan? Bahkan saat duduk di bangku SMA aku memiliki seorang pacar yang sekarang beralih menjadi mantan. Namanya Bio, bukan biodata, biografi, biofera ataupun bio yang lainnya. Cukup "Bio" tak ada nama lengkap. Karena bagiku, ia hanya dapat terlengakapi saat bersamaku. Tapi, itu dulu!

Kalian tahu? Dulu, saat aku menerima cokelat dan bunga darinya. Sahabat-sahabatku kesal, mereka marah. Mereka mengatakan, bahwa Bio pria yang aneh, culun, dan tak mengenal dunia luar. Tapi, aku tak masalah dengan itu. Aku menerima Bio apa adanya meski ia memiliki rambut cepak, dan tahi lalat yang cukup besar di bagian dahinya. Ia memang terlihat culun dengan kaca mata bulat yang bertengger di kepalanya, tapi dia adalah master matematika di sekolahku dulu. Ia sangat pintar, tapi setelah enam bulan berpacaran aku putus dengan Bio. Alasannya sedikit tak masuk akal, karena aku sudah bosan dengan Bio yang tak pernah bersikap romantis, setiap berdua ia selalu menanyakan tugas-tugas sekolah yang aku tidak mengerti dan berakhir dengan belajar yang berkepanjangan.

Sampai saat ini, aku menyesal telah memutuskannya. Bio kini telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan, seorang insinyur yang sukses, dan hartanya melimpah. Tapi, apalah dayaku, yang tak dapat menarik kembali hatinya.

"Hey!! Apa kau tidak mendengar?" Suara itu lagi. Entah mengapa jika mendengar suara pria itu, darah dalam tubuhku terasa mendidih. Ingin sekali rasanya aku menikamnya dengan sebuah pisau daging.

"Yaa!! Aku tidak tuli. Baiklah aku akan bertanggung jawab. Perbaiki saja motor itu, kalau sudah selesai hubungi nomorku. Aku akan mengirimkannya ke rekeningmu." Setelah mengatakan itu aku terdiam. Aku tidak menyangka kalau mulutku bisa berkata seperti itu, sungguh aku sama sekali tidak berpikiran kalau kalimat itu bisa dengan mulus terucap dari mulutku.

Aku sangat menyesal, aku baru sadar kalau aku akan mengalami kerugian yang mungkin sangat besar. Bisa saja mereka akan menipuku dengan menaik-naikkan harga. Aku jadi semakin kesal saat pria itu mengembangkan senyum kemenangannya.

"Itu baru kau bertanggung jawab. Oh iya, namaku Dharma Wilson. Kau dapat memanggilku Wil. Okay?" aku membuang muka, sedikit bersikap jual mahal. Eh!! Murah saja tidak ada yang mau, apalagi mahal, ya. Wajahku kan di bawah standar wanita normal.

"Ya. Kau mendapatkan nomorku dari mana. Hah?" aku bertanya saat kami kembali berjalan ke parkiran tempat mobilku berada.

Pria itu tersenyum. Oh astaga!! Senyumnya sangat menawan. Wajahnya sangat mirip dengan--Kevin Sanjaya--pemain bulu tangkis Indonesia. Tapi, Wil adalah versi manisnya. Kulitnya tak seputih atlet idolaku itu. "Tidak sulit. Aku memintanya pada wanita resepsionis di dokter hewan," kata Wil menjelaskan.

"Bukannya tadi kau bilang, kau mampu membeli mobil yang lebih mahal dari mobilku? Lalu kenapa hanya memperbaiki motor saja kau meminta ganti rugi?" tanyaku padanya.

Seketika Wil berhenti dan menatapku. "Itu agar kau bertanggung jawab!" ia menarik sebelah telapak tanganku dan menaruh kunci mobilku di atasnya. Kemudian, Wil berbalik dan pergi begitu saja kembali ke dalam bengkel besar itu. Saat ini aku merasakan wajahku memanas, cara Wil memberikan kunci mobil padaku terkesan manis. Setelah bertahun-tahun lamanya, tanganku yang mulus ini disentuh lagi oleh pria. Sebenaranya setiap hari tanganku selalu disentuh oleh pria, bahkan pria yang sangat tampan dan sangat kucintai, siapa lagi kalau bukan ayahku.

Aku memasuki mobil dan melesat pergi begitu saja, kembali menembus jalanan yang kian terasa padat karena menjelang sore. Entahlah padahal seharian ini aku diterpa oleh berbagai kesialan, namun saat ini aku masih mampu tersenyum. Aku memang sangat kesal pada pria itu. Ulahnya sangat membuatku dongkol. Tapi, aku rasa dia adalah pria yang baik dan manis. Mungkin ia tak semenyebalkan apa yang aku bayangkan. Mungkin setelah ini aku harus membuat skenario agar dapat bertemu dengannya lagi.

***

Setelah setengah jam perjalanan, aku sampai di kediaman orang tuaku. Rumah ini sangat besar, dan aku sudah dua puluh tiga tahun menumpang di rumah ini. Nanti jika aku sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri, aku berniat untuk membeli sebuah apartement atau membuat sebuah rumah minimalis. Aku tidak suka tinggal di rumah mewah dan besar seperti milik ayahku. Hanya membuat repot saja.

Setelah menghentikan mobil di depan pagar, aku mengklakson mobil, memanggil satpam rumah untuk membukakan pagar. Namun, Pak Dumay tak kunjung membukakan pintu pagar mewah ini.

"Pak Dumay, ke mana, sih!" aku menggerutu sendiri di dalam mobil. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka sendiri pagar itu. Sebelum turun aku memutuskan untuk memundurkan sedikit mobilku. Namun, saat hendak memundurkan mobil, aku tidak sengaja menginjak pedal gas hingga mobilku menabrak pagar besi itu. Mataku terbelalak.

Matilah aku!

Dari suaranya kurasa mobilku menabrak cukup kuat. Aku sangat panik dan segera turun untuk melihat pagar dan kondisi mobilku. Saat turun yang pertama kali kulihat adalah, "Ayaaaaahhh!!!! Mobilkuuu!!! Huwaaaa!! Hiks...." kondisi bumper mobilku sangat menyedihkan.

Thanks God. Jadikanlah aku manusia tersial di dunia ini.

***

"Tidak! Tidak! Aku tidak akan keluar lagi dari kamarku untuk hari ini!! Aku benci hari ini! Aku sangat benci hari ini!" aku menjerit dan menangis sendiri di dalam kamarku. Aku benar-benar sudah sangat muak untuk semua yang hal kualami hari ini. Baiklah aku sangat berlebihan. Aku sangat dramatis, ku akui itu. Tapi, sungguh apa yang ayah dan ibuku lakukan padaku semakin membuatku bertambah kesal.

Tadi, saat aku berhasil merusak pagar mewah rumah ayah, Ibuku keluar dengan jeritannya yang memekikkan telinga. Ia menjerit saat melihat pagar rumahnya yang telah berubah bentuk karena ulahku. Di saat ibu menangisi pagar besi itu, aku menangisi bumper mobilku. Sedih rasanya.

Setelah itu, ayah pulang dan ibu memberitahukan segalanya. Aku dimarahi oleh ayahku, bahkan ia menyebutku "anak tidak tahu diri" karena selalu menyusahkan mereka. Aku tidak marah, dan tidak menangis mendengarnya. Namun, saat ayah mengatakan aku harus bertanggung jawab dan harus mengganti rugi, di saat itulah aku ingin menjerit. Rasanya kakiku terasa seperti jelly, aku tak sanggup berdiri. Pikiranku menerawang, aku akan kehilangan banyak uangku. Aku harus ganti rugi atas kerusakan motor Wil, mengganti rugi pagar besi ayah, dan aku juga harus memikirkan kondisi mobil kesayanganku. Baiklah, semua uang tabunganku di ATM akan habis. Thanks Ghost!

Terlalu lama menangis membuat mataku terasa berat dan aku rasa aku harus tidur. Namun, saat itu pula aku melihatnya, ya, Wilson. Pria tampan itu menatapku dengan senyuman manisnya. Perlahan ia berjalan mendekat ke arahku. Aku merasa jantungku berdegub kencang, aku pun melangkahkan kaki mendekatinya.

Wil...

Aku kembali berjalan.

Wil...

Dia pun semakin dekat.

"Olin!!" dia berteriak lagi?

"Olin!! Bangun!! Seketika aku terperanjat. Kubuka mataku lebar-lebar, ternyata tadi hanya mimpi.

"Ah Ibu, ada apa? Aku sangat mengantuk," kataku sembari mengucek-ngucek mata, rasanya seperti ada sesuatu yang lengket, dan saat ku lihat ternyata ada belek.

"Cepatlah turun. Ada yang ingin bertemu denganmu." tak sempat aku menjawab. Ibu sudah melenggang pergi.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku menerka-nerka, siapa kira-kira yang ingin bertemu denganku? Sebelum turun ke bawah, aku melihat wajahku sebentar di kaca.

"Tetap saja jelek." itulah alasan aku sangat malas berkaca. Karena aku yakin sebanyak apapun aku berkaca, wajahku tidak akan pernah cantik. Jadi berkaca merupakan kegiatan buang-buang waktu bagiku.

Segera aku menuruni satu demi satu anak tangga. Saat aku melihat ke arah ruang tamu, aku terpaku. Aku sungguh tak percaya. Ia mendekatiku, memelukku, dan menciumku dengan manja.

"Pikoooooo!!" kupeluk anjing kesayanganku.

Bersambung...

Stingy CrabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang