0.3 I Blame On You

733 92 4
                                    

Song :: I Blame On You by Taeyeon

Hari semakin larut. Bahkan nyaris pagi. Kita sampai di apartement sederhanaku yang aku sewa dengan uang hasil kerja part time di sebuah toko kelontong. Kau mengantar kami sampai depan pintu apartement. Mengucapkan beberapa pesan pada Irene yang dibalas dengan anggukan patuh. Sahabatku benar-benar jatuh cinta padamu.

Namun seakan takdir memiliki rencana lain, hujan deras tiba-tiba terjun dari langit. Mengirimkan udara dinginnya malam yang menyatu dengan dinginnya hujan. Dan kau terpaksa menginap di apartement sederhanaku karena kita sama-sama tidak memiliki mantel. Terlebih, hujannya terlalu deras untuk diterabas ditengah malam. Gadismu sangat mengkhawatirkanmu. Begitu pun aku, tapi aku diam.

Lihat. Betapa beruntungnya kau di khawatirkan oleh dua gadis yang saling bersahabat.

Akhirnya aku menyerahkan satu buah selimut dan bantal simpanan untuk kau gunakan tidur diatas sofa. Kamar di apartementku hanya ada satu. Hal yang patut aku syukuri karena dengan begitu tak ada alasan bagi Irene untuk berada diatas ranjang yang sama denganmu.

Mungkin aku akan cemburu.

Namun saat fajar datang, aku tak menemukan Irene disampingku. Dia tak diranjang yang sama denganku. Dan aku menemukannya berada disatu selimut yang sama denganmu di sofa mungil itu. Berbagi bantal, berbagi sofa, berbagi selimut, dan berbagi kehangatan di dalam rumahku, di sofaku. Aku, yang juga menyukaimu.

Ah, bodoh! Lagi-lagi aku hanya mampu mengutuk kebodohanku sendiri. Mengapa rasanya begitu sulit menghapusmu dari pikiranku? Mengapa begitu sulit untuk melenyapkan perasaan tak baik ini. Aku tak boleh mencintaimu. Tidak boleh!

Lalu pagi benar-benar menampakan matahari. Aku sibuk di dapur dengan apron yang menggantung di tubuhku, menyiapkan sarapan untuk kita. Untukku, kau dan kekasihmu.

Irene mandi. Gadis itu akan sangat lama menghabiskan waktunya di kamar mandi. Dan kau merasa tak enak hati karena aku hanya sendirian berkutat di dapur sementara kau duduk tenang di depan televisi.

Akhirnya kau mendekat, menghampiriku dan bertanya, "Ada yang bisa aku bantu?"

Aku menoleh, menemukan presensimu dengan senyum manis yang biasa kau suguhkan untukku, yang berbeda saat kau bersama Irene. Memang tak secerah saat bersamanya, tapi aku menyukai senyummu.

Tidak. Semua tentangmu. Aku suka.

Dan rasa perih pada jari telunjukku menyadarkan aku dari lamunan sendiri. Darah nampak muncul cukup banyak disana dan kau terlihat panik. Kau meraih tanganku. Memperhatikan telunjuk berdarahku dengan raut wajah yang sulit aku mengerti.

Kau membawanya pada westafel, mengguyur jari berdarahku dengan air pancuran yang menimbulkan ringisan serta rengekan kecil dari bibirku. Kemudian hal yang tak terduga, kau menghisap darah itu. Memasukan jari berdarahku pada mulutmu. Dan aku terperangah.

Kau meludahkan darah itu, menghisap lagi, meludah lagi hingga darah itu benar-benar berhenti mengalir. Kemudian kau mengguyurnya lagi dengan pancuran air.

"Kau menyimpan plester luka?"

Wajahmu benar-benar menawan. Ini jarak yang paling dekat selama kita mengenal selama dua bulan belakangan ini. Aku bisa meneliti wajahmu lebih jelas. Wajahmu, bagaikan pahatan seni yang Tuhan buat. Sangat indah. Sempurna.

"Hey, kau menyimpan plester luka?"

Aku sadar dari lamunanku -- lagi -- tentangmu. Aku mengangguk kaku. "Oh, ya. Ada. Ada di..... di....."

Aku bahkan lupa perlengkapan obatku ada dimana.

"Di sana, aku rasa." Lanjutku setengah ragu, menunjuk sisi lemari hias. Kau pun melangkah cepat, dengan gesit mengambil plester luka dan kembali dengan segera mengambil jariku dan melilitkan plester itu disana. Jemarimu bermain pada tanganku, melilitnya pelan, menutup luka pada jariku hingga tertutup rapi.

"Lain kali hati-hati."

Sesak. Sesak sekali dada ini. Jantung yang berdegub mendengar ucapan perhatianmu bercampur dengan rasa sakit karena itu hanya sebuah perhatian kecil dari seorang kekasih sahabat.

"Jadi, ada yang bisa aku bantu?" Ujarmu sekali lagi. Aku tersenyum kikuk. Bodoh sekali. Mencari hal apa yang bisa kau kerjakan sebelum menunjuk beberapa telur yang belum aku campurkan ke adonan.

"Kau bisa membantuku mencampurkan telur itu kesini?" Kau melihat sejenak sebelum mengangguk dengan senyum itu dan mulai membantuku.

Berada di dapur saat itu rasanya lebih menegangkan. Bukan menegangkan seperti di film horor atau misteri, ini jauh lebih menegangkan karena aku rasa, aku benar-benar salah tingkah. Gadis dalam diriku seolah bertengkar. Berdebat atas perasaan yang tak semestinya.

"Jaga sikapmu, kau mau Kim Taehyung melihatmu seperti gadis bodoh yang memalukan? Lakukan dengan baik dan anggun."

"Jangan! Jadilah kau yang seperti biasanya. Tidak perlu bertingkah sok manis. Ingat! Dia itu kekasih sahabatmu."

Perdebatan para gadis dalam diriku terus berlanjut, membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Yang pada akhirnya aku hanya semakin terlihat bodoh karena beberapa kali menjatuhkan barang dan bahan makanan sementara kau menggeleng berkali-kali.

"Kau ternyata ceroboh juga, ya." Katamu dengan kekehan lucu dan senyum yang lain. Itu senyum kotakmu! Senyum yang sering kali kau suguhkan untuk Irene. Apakah itu artinya--

"Kalian sedang buat apa? Wah, kau membantunya, sayang?" Irene datang dengan handuk diatas kepalanya yang basah. Dan pertanyaan tak terselesaikan itu seakan terjawab saat kau mengamit pinggulnya dan mencium pipinya beberapa kali. Aku tahu, dari sorotan matamu, kau sangat mencintai Irene.[]

Klandestin [KTH] (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang