Song :: Because I by Lindh
Malam yang terasa begitu panjang. Kau berada dilantai yang beralaskan karpet ditambah selimut tebal yang biasa ku gunakan saat tidur juga dengan dua buah bantal, sedangkan aku berada di atas sofa dengan sebuah bantal dikepala dan selimut simpananku yang cukup besar, terbentang lebar dari sisi tubuhku dan menurun kesisi tubuhmu. Kita diselimut yang sama, meski berada di alas yang berbeda.
Kau tahu, Taehyung? Jantungku benar-benar terasa akan lepas dari tempatnya. Aku berusaha menahan senyum bahagia juga berusaha sedikit membuang rasa bersalah. Aku ingin menikmati tiap detik denganmu meski ada rasa sesak di hati jika mengingat siapa kau dan siapa aku.
"Jadi, kenapa kau takut petir?"
Kau mengatur posisi nyaman, menutupi tubuhmu dengan selimut dan memeluk bantal milikku. Aku tak tahu, tapi mungkin sarung bantal itu akan aku lepas setelah kau pulang dan akan aku simpan baik-baik didalam lemari.
Astaga! Kenapa aku jadi seperti psikopat begini?! Tidak! Sungguh tidak. Ini hanya sebuah upaya agar aku baik-baik saja mesti tidak bersamamu.
"Kakakku, meninggal karena petir enam tahun yang lalu. Dan semenjak itu aku jadi takut dengan petir." Aku melihat guratan trauma dan rasa takut dari wajahmu.
"Dia bekerja di perusahaan listrik, sebagai teknisi. Saat itu mendung, dan dia sedang bertugas memperbaiki listrik di pusat kota. Dan semua terjadi begitu saja. Hujan, petir menyambar aliran listrik, kakakku terjatuh dan, pergi. Secepat itu."
Aku ingin memelukmu, Kim. Andai saja bisa. Tapi aku takut jika itu menjadi sebuah kesalahan fatal. Maka aku hanya mampu berucap, "Maaf, Taehyung. Harusnya aku tidak memintamu menceritakan hal itu. Aku benar-benar minta maaf."
"Tidak apa-apa. Itu sudah berlalu. Hanya saja rasa trauma itu tak pernah hilang. Wajahnya selalu muncul disaat hujan. Dan akan semakin memburuk saat petir datang."
Aku mengangguk. "Jadi, itulah kenapa pagi itu, Irene berada di sofa bersamamu?"
Raut malu terlihat sekilas di wajah tampanmu, "Kalau itu, sebenarnya tidak. Tidak ada petir malam itu. Hujan deras hanya sebentar, sisanya hanya rintikan biasa."
Jeda sejenak. "Irene tidak tahu tentang ini. Jadi, bisakah kau menyimpannya? Aku hanya merasa dia tak perlu tahu. Dia sangat menyukai hujan. Dia sering mengajakku bermain dibawah hujan."
Apa yang aku rasa, tidak jelas. Ada rasa bangga, karena ada satu hal tentangmu yang aku ketahui sementara Irene tidak. Tapi fakta kau menyembunyikan kenyataan ini darinya adalah karena kau tak ingin membuatnya khawatir membuatku sadar bahwa aku tetap memiliki batasan disana. Mungkin benar, kau sangat mencintai Irene. Dan aku yakin, Irene pun sama.
"Aku akan menyimpannya."
"Terima kasih."
Aku menarik napas dalam, "Taehyung, boleh aku bertanya?"
"Ya?"
"Apa, kau sangat mencintai Irene?" Sebuah pertanyaan bodoh. Aku tahu aku sedang melukai diriku sendiri. Tapi seakan butuh sebuah kejelasan, aku semakin membuat hatiku sendiri terluka lebih dalam.
"Tentu saja. Sangat. Sangat mencintainya. Kenapa?"
Kenapa? Kenapa aku bertanya? Aku hanya ingin memastikan. Memastikan hal bodoh yang sudah aku ketahui kebenarannya. Karena matamu menyiratkan demikian.
"Jaga Irene ya. Dia sahabat terbaikku. Aku sangat menyayanginya."
"Tentu. Aku akan menjaganya karena aku sangat mencintainya."
Dan petir yang keras datang lagi bersamaan dengan kalimatmu yang mengantarkan luka pada hati. Kau meringkuk, merapat pada sisi sofa dengan bantal yang kau peluk begitu erat hingga buku jarimu memutih.
Apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bisa menjadi orang bodoh yang melihatmu meringkuk begitu takut. Apa yang bisa aku lakukan, Taehyung?
"Apa yang biasa kau lakukan saat petir sebesar itu datang?"
Kau masih gemetar ketakutan. Meskipun aku disini, kau masih sama takutnya seperti tadi.
"Aku, akan tidur bersama Ibu atau adik perempuanku dan memeluk mereka atau mereka yang memelukku."
Aku cukup terperangah. Bukan karena fakta bahwa kau yang terlihat manja, tapi karena niatku adalah mencoba menjadi sesuatu yang bisa meringankan rasa takutmu. Tapi jika itu sebuah pelukan, bagaimana bisa aku melakukannya?
"Apa, aku perlu meminta Irene untuk datang?" Ujarku. Satu-satunya saran yang bisa aku berikan. Karena jika aku yang melakukannya, tidak mungkin, kan? Karena yang paling aku takutkan adalah kau mendengar deguban jantungku yang menggebu dan aku yang akan terlalu nyaman dalam pelukanmu.
"Tidak usah. Irene bilang orang tuanya pulang. Aku tidak ingin mengambil waktu orang tuanya."
Aku mengangguk, "Jadi, apa kau akan baik-baik saja jika tetap seperti ini?"
Kau nampak berpikir. Cukup lama hingga akhirnya kau menatapku setengah ragu. "Kalau kau tak keberatan, bolehkan aku pinjam tanganmu? Mungkin itu bisa sedikit meringankan rasa takutku. Suhu tubuh seseorang biasanya bisa menurunkan rasa takut. Tapi aku mohon, jangan beri tahu Irene. Aku tak ingin dia berpikir macam-macam."
Aku bahkan siap untuk jadi pelukanmu malam ini, Kim. Tapi aku tahu batasanku. Dan aku hanya akan berusaha baik-baik saja asalkan kau juga baik-baik saja. Meski rasa sesak kian menekan hingga rasanya aku ingin menangis, tapi aku menahannya saat aku mengangguk dan menyerahkan satu tanganku padamu untuk kau peluk.
Kau menggenggam tanganku, kemudian menariknya hingga tangan itu menyentuh dadamu yang jantungnya berdegub normal. Kau, merasakan hal yang biasa, ya? Tapi aku tidak, Taehyung.
Kau memeluk tanganku, Taehyung. Tanganku! Kau memeluk tanganku selama kau tidur! Aku berdebar dan, bolehkan aku merasa bersyukur lagi, kali ini?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin [KTH] (✔)
FanfictionMencintai dia dalam kebisuan adalah caraku untuk mempertahankan apa yang sudah ku miliki sebelumnya ; sahabat. Tidak etis rasanya, ketika kau mengucapkan secara gamblang kepada sahabatmu dan kekasihnya jika kau mencintai kekasih sahabatmu kelewat da...