Song :: You by Ben
Aku mencoba menikmati tiap detik yang aku lalui bersamamu. Seakan tiap detiknya itu berarti dan akan membuatku menyesalinya jika aku membuangnya satu detik saja. Karena aku tahu, setelah kau mengantarku pulang dan kau membawa motorku, mungkin kita tak akan punya waktu seperti ini lagi. Jadi, aku akan menikmati detik-detik ini seakan ini adalah saat-saat terakhir yang aku punya bersamamu.
Mendengar ceritamu tentang cita-cita yang ingin kau capai sebelum usiamu menginjak 25 tahun, ada sebuah keinginan dalam diriku untuk mewujudkan mimpimu. Tapi bagaimana bisa? Kau ingin menjadi seorang penyanyi profesional. Kau ingin memasarkan lagu yang kau buat dengan gitar yang kau petik dirumah. Kau ingin memperdengarkan suaramu pada dunia. Bagaimana aku bisa mewujudkan cita-citamu, Taehyung?
Saat mobil derek datang dan petugas mengangkut motormu, aku segera memberikan kunci motorku dan kau mulai membawanya dengan aku berada di boncengan. Sesuatu yang amat sangat sederhana namun berdampak luar biasa. Aku bisa mencium aroma parfum yang bercampur feromonmu. Aku jadi tahu aroma seperti apa yang menjadi favorit Irene sekarang. Dan itu juga menjadi aroma favoritku.
Cirtus. Aroma parfummu. Aku tahu ini sebab aku pernah selama beberapa bulan bekerja di body shop. Dan aroma ini bisa menjadi favoritku sekarang setelah aku menghirupnya dari udara yang menerpa tubuhmu. Oh Tuhan! Percayalah, aku tidak semesum itu! Tapi sungguh, aroma ini membuatku akan semakin sulit membuangmu dari hidupku.
Sampai di apartement, kau berniat mengantarku hingga depan pintu. Rasanya menyenangkan bisa menikmati beberapa menit denganmu. Aku mungkin akan mengabadikan kenangan hari ini dalam sebuah buku harian yang aku simpan dibawah tumpukan buku kuliah.
Dan takdir memainkan skenarionya lagi. Hujan turun dengan derasnya secara mendadak. Hampir sama seperti kejadian beberapa minggu yang lalu saat kau mengantarku dan Irene pulang. Tapi bedanya, malam ini lebih deras, dan tak ada Irene. Dan aku, masih tak memiliki mantel.
"Hujan. Aku.... tak punya mantel."
Aku tahu kau terlihat bingung. Aku pun sama. Aku tak akan membiarkan kau pulang tengah malam dengan guyuran hujan yang deras. Sangat berbahaya. Tapi jika kau menginap--
"Jaketku cukup tebal. Aku rasa tak apa-apa."
"Kau yakin? Hujannya sangat deras dan jalanan pasti licin, terlebih rumahmu cukup jauh dari sini. Kalau kau mau, kau bisa menginap. Kau bisa tidur disofa jika kau mau." Aku berucap dengan setengah ragu. Sungguh, tak apa jika kau menginap. Tapi aku merasa tak enak hati pada sahabatku jika kau menginap di apartementku tanpa dia.
Dan suara petir yang cukup keras membuatmu terkejut, memejamkan mata dan menyentuh dinding dengan cepat. Kau terlihat takut. Kemudian kau membuka mata perlahan, berpikir sejenak dan berkata, "Baiklah. Aku akan bilang Irene jika aku menginap di apartemenmu karena hujan deras."
Aku hanya mampu tersenyum dan mengangguk. Kau menghubungi Irene. Menceritakan insiden motormu, pertemuan kita dan keadaan sekarang yang membuatmu terpaksa menginap. Kau terlihat cemas saat menghubungi Irene. Entah takut Irene marah atau tak mengijinkan. Tapi setelah telepon berakhir, kau tersenyum tipis dan berkata, "Irene bilang tak apa-apa."
Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Merasa senang dan bersalah. Mana yang harus aku rasakan lebih dulu? Aku senang kau disini. Bersamaku, berdua. Meski kita tak melakukan apa-apa. Itu sudah lebih dari cukup. Seakan Tuhan memberikan aku waktu ekstra untuk bersamamu. Tapi aku juga merasa bersalah pada Irene. Meskipun hal ini diatas namakan menolong dan terpaksa karena tak ada pilihan, aku tetap tak enak hati pada kekasihmu yang merupakan sahabatku. Semoga Irene tidak berpikir yang macam-macam.
Aku tak punya pakaian pria. Juga tak punya pakaian ukuran besar yang bisa kau gunakan. Maka aku hanya bisa memberikanmu selimut dan dua bantal untukmu tidur di sofa milikku.
"Kenapa bantalnya dua?" Kau bertanya saat aku akan kembali ke kamar.
"Untuk kepalamu dan untuk yang kau peluk. Irene bilang kau akan kesulitan tidur jika tidak ada yang bisa kau peluk." Kau menatapku beberapa detik, kemudian mengangguk dan tersenyum sebelum mengucapkan terima kasih.
Kembali ke kamar. Aku tak bisa tidur cepat. Rasanya jantungku berdebar hanya karena kita yang dibatasi sebuah dinding. Senang sekali rasanya kau berada disini meski aku tak bisa melihatmu tidur.
Ponselku berbunyi. Irene. Aku harap bukan hal yang membuat aku dan Irene bertengkar karena seorang pria. Aku sangat menyayangi Irene, percayalah. Aku tak akan mengkhianati sahabatku sendiri.
"Ya, Irene. Kau belum tidur rupanya."
"Hmm. Kau baik-baik saja?" Sebuah pertanyaan yang tidak kuduga.
"Aku baik-baik saja. Kenapa?"
"TIdak apa-apa. Kunci kamarmu, ya. Terima kasih sudah mau menampung dia malam ini. Aku tahu dia kekasihku dan dia baik. Tapi dia tetap saja pria. Kita tak tahu apa yang ada di dalam kepalanya. Kau tetap harus jaga diri. Katakan padaku kalau dia macam-macam padamu."
Aku terperangah. Jujur saja, kami memang tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Kekasihnya yang menginap di apartementku atau kekasihku yang menginap dirumahnya. Tapi disaat aku merasa bahagia karena kau menginap di apartementku tanpa kekasihmu, dia justru menghkhawatirkan keadaanku. Dia yang ternyata tetap mementingkanku.
Aku tahu itu bukan karena dia yang tidak mempercayaimu. Tapi itu adalah bentuk sayangnya padaku. Dia tetap ingin memastikan aku bisa menjaga diriku, memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Iya, aku pasti menjaga diriku baik-baik. Maaf karena kekasihmu harus menginap disini. Apa kau mau kesini?"
"TIdak. Aku tidak bisa. Ayah Ibu sedang dirumah dan lusa mereka akan kembali ke Jepang. Aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka."
"Hmm, baiklah. Aku pastikan besok pacarmu bisa pulang tepat waktu."
Panggilan berakhir. Rasa bersalah menggrogoti. Semoga perasaan cintaku padamu bukanlah sebuah bentuk pengkhianatan. Aku hanya menolongmu, kan? Aku, tidak bersalah karena merasakan bahagia karena kau ada disini kan, Taehyung?
Kemudian petir menggelegar begitu hebat. Kau berteriak kencang. Membuatku panik dan keluar kamar dengan berlari.
"Taehyung! Ada apa?!"
Ponselmu dilantai, mungkin baru terjatuh. Kau menekuk kakimu, duduk meringkuk diatas sofa, kau ketakutan dan aku mendekat dengan rasa cemas karena melihatmu begitu gemetar.
"Hei. Kau baik-baik saja?" Aku berjongkok, memastikan wajahmu baik-baik saja. Tapi ternyata tidak. Kau benar ketakutan. Matamu tak fokus, tubuhmu bergetar. Sedangkan aku tak tahu harus berbuat apa.
"Ma-ma-maaf. A-aku takut." Ucapmu tergagap.
"Petir?" Tanyaku memastikan. Dan kau mengangguk takut setengah malu.
Aku tidak tertawa. Aku rasa itu bukan hal konyol karena kau benar-benar takut, seakan ada trauma yang kau alami hingga kau seperti ini.
"Ada yang bisa aku lakukan untukmu?" Tanyaku.
Jeda cukup lama. Aku tahu kau sedang menenangkan diri dan berpikir. Kemudian petir kecil terdengar dan kau terkejut lagi. Meski tak berteriak, tapi kau tetap gemetar.
"Bisakah, kau tidur di sofa? Aku akan tidur dilantai." Ucapmu, dan aku setengah terkejut.
"Tapi dilantai sangat dingin, Taehyung. Karpet ini tidak terlalu tebal untuk menangkal dinginnya lantai."
"Ma-maaf. Bukan bermaksud untuk merepotkanmu lagi. Tapi sungguh, aku takut petir."
Aku mencoba mempertimbangkan permintaanmu. Aku tahu apa yang kau minta bukanlah karena kau ingin, tapi karena kau butuh. Tapi aku punya hati yang begitu lemah hanya dengan melihatmu. Aku takut tak bisa menahan sesak yang berlebihan saat aku lebih dekat denganmu lebih lama lagi. Bayangan Irene selalu muncul dan membuatku merasa begitu bersalah.
"Baiklah. Tapi, bisa kau ceritakan alasan kenapa kau takut petir?"
Kau mengangguk, dan malam ini aku tidur di ruangan yang sama denganmu.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin [KTH] (✔)
FanfictionMencintai dia dalam kebisuan adalah caraku untuk mempertahankan apa yang sudah ku miliki sebelumnya ; sahabat. Tidak etis rasanya, ketika kau mengucapkan secara gamblang kepada sahabatmu dan kekasihnya jika kau mencintai kekasih sahabatmu kelewat da...