[1] Si Pintar Yang Menjomblo

10.8K 1.3K 171
                                    

Selamat datang di bab satu. Buat yang udah kenal, hai, selamat membaca kembali. Dan buat yang baru kenal, halo. Sebelum ketemu babang biskuat, kenalan sama cewek satu ini dulu ya~

-

Vero

Siapa pun yang bilang hidup jadi orang pintar itu menyenangkan, pasti belum pernah merasakan jadi salah satunya.

Aku tahu pendapatku ini bisa membuat orang lain menganggapku sombong, tapi aku serius. Karena jadi orang pintar itu sama sekali nggak enak.

Semua orang pasti senang punya pencapaian, memenangkan penghargaan atas sesuatu atau sekadar mendapat pujian dari orang-orang terdekat. Sewaktu berumur 5 tahun, aku senang sekali atas piala pertamaku dalam lomba membaca tercepat sekomplek. Bukan lomba besar, tapi dapat traktiran es krim dari Mama dan Papa juga selembar uang berwarna ungu sudah cukup untuk balita.

Beranjak ke bangku sekolah, berbagai piala mulai terpajang di ruang keluarga dan Papa membuat lemari khusus. Oma dan Opa merasa cucunya ini pintar dan bahkan disama-samakan dengan Einstein—yang, anyway, tentu saja nggak, aku belum bisa buat teori sendiri dan memusingkan orang sampai sekarang—kemudian menyarankan Papa untuk memasukkanku ke berbagai bimbingan belajar. Sebuah saran pendek yang, well, efeknya terasa sampai sekarang.

No, aku bukannya mau menunjukkan betapa nggak tahu dirinya aku karena bisa mendapatkan semua itu, tapi hal tersebutlah yang membuatku hanya tahu tiga hal: belajar, belajar, dan belajar.

Oke. Sebenarnya itu cuma kehitung satu.

Kenyataannya, jadi orang yang dianggap genius itu punya bebannya sendiri. Dianggap bisa melakukan ini-itu, dituntut untuk bisa membanggakan, membawa piala setidaknya di urutan tiga, dan diharapkan bisa belajar cepat sampai membuatku lupa kalau sebenarnya ada hal lain yang harus kuurus selain kemampuan kognitif.

"Dek, mau ke mana? Kampus?"

Suara Mama membuatku menoleh ke arah pintu, tanganku berhenti menyisir rambut dan mengangguk. "Iya, Ma."

"Bimbingan lagi?"

"Mau ketemu sama teman-teman yang lain buat bahas tempat penelitian." Mama mengangguk sambil masuk ke kamar, tersenyum sambil mengamatiku dari atas sampai bawah. Sadar apa maksudnya, aku menambahkan, "Nggak ketemu dosen kok hari ini, Ma. Sekalian mau ke supermarket dulu. Aku nunggu dijemput."

"Oh, dijemput siapa?"

"Yayang."

Mama tersenyum geli, menggeleng kecil sebelum melarikan tangannya untuk merapikan rambutku. Sesaat aku merasa tadinya Mama mengharapkan jawaban lain, mungkin berharap aku menyebut teman. Tapi, nggak. Aku hanya pergi sama Yayang—Kak Yani, nama aslinya, keponakan Mama. Cewek.

Aku jadi ingat pertama kali minta izin ke Papa untuk jalan sama Yayang, Papa langsung menginterogasiku, hingga aku menjelaskan siapa yang kumaksud. Mungkin Papa dan Mama mengira aku pacaran, dan rasanya nggak akan aneh kalau cewek pads usia kepala duanya sudah memperkenalkan pasangan ke orangtuanya.

Unfortunately, aku nggak bisa begitu. Jangankan mengenalkan, punya juga nggak. Jean Veronica Hamel ini sendirian. Jomlo. Single. Silakan sebut sinonim dari 'nggak punya pasangan'.

Padahal dulu Oma sering bilang, cewek pintar itu bakal banyak disukai cowok. Kelihatan hal serupa nggak berlaku buatku. Apalagi, teman-temanku sering bercanda, "Vero cocoknya sama profesor gitu ya?"

"Kamu sudah 22 tahun kan, Ver?" tanya Mama. Senyumnya kelihatan getir. "Abang kamu juga sudah mau 30, tapi sama sekali nggak bisa diharapin."

Aku terkekeh, meski sebenarnya meringis dalam hati. "Apalagi aku, Ma."

Kak Yani sempat bilang kalau kepercayaan diri itu penting. Semuanya berawal dari pola pikir. Sayangnya, aku nggak bisa begitu. Mau sepercaya diri apa pun, nyatanya aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Aku bahkan nggak heran kalau jadi jomlo seumur hidup.

"Lagian kenapa coba Abang nggak ngajak Mbak Anin kawin?" celetukku. Begitu Mama melotot, aku buru-buru meralat, "Maksudnya nikah. Kan udah pacaran lama mereka. Kenapa masih belum?"

Niatku sebenarnya hanya ingin Mama fokus pada Felix saja ketimbang aku. Sayangnya, kenyataannya meneruskan obrolan ini nggak lebih dari keputusan ceroboh, karena aku malah menyeret diri sendiri.

"Kamu juga kenapa belum?"

Aku tahu Doraemon belum ada sekarang, tapi buat siapa pun yang pintarnya kebangetan sampai tumpah-tumpah, tolong dong putar balik waktu, 10 detik saja juga sudah cukup.

"Paling nggak kenalin ke Mama sama Papa kamu lagi dekat sama siapa," Mama melanjutkan, kali ini melangkah mundur dan tersenyum. Aku tahu itu gestur berharap khasnya. Dan aku lebih tahu lagi kalau harapan itu hanya bisa kubalas dengan kekecewaan.

"Kalau ada aku pasti cerita kok, Ma," balasku, sebisa mungkin merespons santai. "Lagian sekarang kan aku lagi sibuk ngurusin tesis. Masalah begituan bisa nantilah, tunggu sudah selesai."

Nanti. Satu kata paling nggak pasti. Kata yang selalu aku yakini. Nanti bisa. Nanti juga dapat. Nanti, nanti, nanti.

Nyatanya, sampai sekarang kondisiku sama sekali belum berubah.

Ini mungkin kesannya konyol dan miris, tapi ketimbang merasakan gimana jadi juara satu untuk lomba, mewakilkan fakultas dalam ajang nasional, aku juga ingin tahu gimana rasanya bisa ngumpul bareng teman-teman yang lain, bergosip dan saling curhat soal kegilaan pacar masing-masing, entah sekadar pamer atau memang mau berbagi cerita. Kenyataannya, sejak jadi mahasiswa baru aku lebih sering masuk kantor prodi daripada hangout bersama teman-teman yang lain.

Gosh, kesannya aku seperti kutu buku kurang pergaulan, ya?

"Dek." Sekali lagi Mama memanggil, dan mau nggak mau aku menoleh. "Kamu bisa kok kuliah terus, kejar apa yang kamu suka. Lanjut S3, cari kerjaan bagus, ikut banyak kegiatan. Mama nggak larang." Suaranya tiba-tiba memelan ketika pandangannya berubah ... entahlah, aku nggak tahu apa ini semacam sorot mata kasihan atau apa. "Kamu itu perempuan, Dek. Kamu butuh pendamping. Mama nggak mau kamu cepat-cepat nikah atau apa, tapi Mama mau kamu ingat kalau selain ngurusin karir, ada hal lain juga yang harus kamu urus. Hidup nggak berhenti di pendidikan aja. Perempuan sudah kodratnya punya ...."

Pasangan. Menikah. Berkeluarga. Aku melanjutkan dalam hati. Kalimat itu aku hafal di luar kepala.

In a way, rasanya itu stereotipe banget. Pada dasarnya, cewek nggak lahir hanya untuk berpasangan. Namun, aku juga nggak menampik kalau hidup sendirian bukan sesuatu yang menggugah. Setidaknya untukku.

Tanpa Mama beritahu pun, aku sudah cukup sadar. Aku juga nggak bisa mengubah kenyataan. Cewek pintar mungkin nggak semenarik itu. Bukan hanya sekali aku melihat tulisan-tulisan di social media berisikan: Nggak perlu pintar-pintar amat, asal cantik dan bisa menuhin kebutuhan gue, oke-oke aja.

Mau marah, tapi kenyataannya memang begitu. Kalau cewek pintar digemari banyak orang, bisa jadi sekarang aku sudah punya satu pacar dan empat mantan.

Sebelum percakapan berlanjut lebih jauh, suara klakson terdengar. Dari jendela kamarku terlihat Mini Cooper putih terparkir.

"Yayang udah nyampe tuh, Ma," kataku. Kesempatan untuk segera pergi. "Aku pergi dulu, ya."

Mama hanya mengangguk ketika aku menyalaminya untuk pamit, tapi sebelum keluar dari pintu kamar, Mama kembali bersuara, "Jodoh nggak akan ke mana kok, Dek."

Aku cuma bisa tersenyum, melambaikan tangan dan mengambil langkah seribu. Jodoh memang nggak ke mana. Tapi kalau jodohnya kabur, aku bisa apa? []

Thesis Crush (✓) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang