[6] Kesepakatan Tahu Bulat

3.4K 792 71
                                    

Selamat minggu malam. For further notice, cerita ini aku update tiap Malming ya (kemarin telat ehe). Karena harus bagi-bagi fokus dan rencana A B C D. Hopefully setelah mulai kelar satu-satu tugasku, aku balik update lebih sering.

---


Vero

Aku belum pernah berpacaran atau menjalin hubungan romantis dengan siapa pun. Tapi, dalam sekejap aku merasa ketahuan berselingkuh. Pengandaiannya memang nggak banget, sayangnya hanya itu yang bisa kupikirkan. Ini lebih dari sekadar tertangkap basah membicarakan seseorang.

Niatnya mau minta Jordan merahasiakan, yang kualami sekarang justru ....

Ini sih sudah jatuh dari tangga, tertimpa durian. Enak? Tentu saja nggak. Yang ada sakit dan bengek.

"Jangan ngasih tahu apa?" Surya kembali mengulang pertanyaannya, dan itu membuatku tiba-tiba berharap ada black hole di bawah kakiku, mengisapku dan menghilang begitu saja.

Pikiranku saja sudah gila begini.

"Kalian berdua juga di dapur ngapain dah?" Kali ini dia memandangi Jordan. Berbeda denganku, cowok satu itu masih tampak tenang. Dia juga nggak mungkin panik sih. Malah lebih memungkinkan kalau dia bakal bilang aku suka sama—

"Dia makan cokelat lo di kulkas."

H-hah? Cokelat apa? Aku malah nggak tahu ada cokelat di kulkas. Cokelat pemberian Surya kemarin saja masih ada di dalam tasku.

"Katanya jangan bilang ke lo," lanjut Jordan lagi. Dia menoleh, memandangiku dengan tatapan datarnya. Aku nggak tahu dia bercanda, mencoba membantuku, atau justru menambah masalah baru.

Surya langsung geleng-geleng, tapi tersenyum. "Cokelat yang kemarin kurang gede, ya?"

Aku mengerjap cepat, makin bingung dengan situasi. Namun Surya dengan mudahnya menepuk pundakku, alisnya sempat terangkat jenaka sebelum kembali menambahkan, "Ya elah, Ver. Santai aja. Kalau lo mau tinggal ambil aja."

"Sok baik lo," komentar Jordan. Ketika aku menoleh ke arahnya, dia ternyata sudah melempar pandangan padaku juga. Seperti mau mengatakan sesuatu, tapi tetap menutup mulut.

"Oya, Ver. Kita berangkat entar siang. Udah tahu?" tanya Surya lagi, sepertinya mengabaikan celetukan Jordan.

Aku mengangguk, diam-diam bersyukur topik pembicaraan berubah. "Dikasih tau Mbak Mei tadi."

"Sip. Kalau ada yang lo perluin, bilang aja," kata Surya. "Gue mau keluar dulu bentar, ketemu teman."

Usai pamitan, Surya langsung keluar dari dapur, lagi-lagi meninggalku dan Jordan berdua saja. Otakku masih berusaha memroses semuanya. Sayangnya, aku sendiri nggak paham.

"Baik kan gue?" ujarnya santai. Ekspresinya mendadak kelihatan sombong—atau lebih tepatnya seakan berusaha menunjukkan aku harus membalasnya dengan sesuatu. Maybe he try to show me I owe him one.

"Surya mungkin ngira saya pencuri yang rakus," timpalku. "Kenapa tiba-tiba jadi cokelat? Saya nggak makan tuh."

"Oh, jadi lebih suka kalau gue bilang kita ngobrolin Surya dan perasaan diam-diam lo itu?" hardiknya cepat. Sungguh, aku bahkan nggak kenal dia siapa sampai kemarin, tapi dia sudah berhadapan begini dengan raut yang begitu menyebalkan. Rasanya pengin aku cuci pakai spons saja.

Entah bagaimana aku harus merespons. Terlalu bingung. Rasanya otakku berubah tumpul dan nggak bisa berputar.

Apa sekarang bisa dibilang aku aman? Apa Jordan nggak akan cerita ke siapa-siapa soal ini? Apa cowok satu ini bisa dipercaya?

"Kenapa lo nggak bilang aja?"

"Hah?" Aku memelotot, beda jauh dengan Jordan yang masih bersikap santai. Yah, dia jelas nggak mrasa terancam. It's my secret we're talking about here. Dia bahkan kelihatan nggak peduli.

"Bilang aja ke dia. Abang gue bukan anjing yang bakal ngegigit lo," ujar Jordan, masih sama santainya. "Walaupun kelakuannya kadang kayak anjing."

"Saya nggak segila itu."

"Memangnya kalau ngakuin perasaan artinya gila?"

Kenapa rasanya dia seperti mendesakku, ya? Sialnya, sesuatu dalam diriku menyetujui ucapannya. Memang nggak ada yang salah dengan mengakui perasaan. Jujur bukanlah dosa. Sayangnya, hanya karena benar bukan berarti bisa dilakukan begitu mudah. Bukankah menutupi sesuatu selalu lebih mudah daripada mengungkapkan?

"Saya ...." Aku merapatkan bibir. Dengan situasi begini, tentu aku perlu jawaban logis yang bisa menjustifikasi apa yang kulakukan. Tapi, tiap melihat Jordan, rasanya semua yang kulakukan bisa dia tepis begitu saja.

"Takut abang gue ngejauhin lo?"

Ragu-ragu, aku mengangguk. Percuma berbohong untuk yang satu ini. Berhadapan dengan cowok satu ini seperti berhadapan dengan dukun—walaupun, yah, aku nggak tahu apakah dukun ada yang semuda dan bertingkah sombong begini.

"Saya mungkin udah bertahun-tahun kenal Surya, tapi nyatanya saya nggak tahu apa-apa tentang dia," akuku. "Saya bahkan baru tahu kalau kamu adiknya. Saya baru tahu dia punya keluarga di Pangandaran. Saya baru tahu dia lebih suka ikan laut daripada ikan tawar. Dan ...." Jordan mengangkat alis, jadi aku melanjutkan, "Pokoknya, saya merasa baru kenal dia. Kalau saya bilang saya suka sama dia, belum tentu dia terima kan? Gimana kalau dia justru risi dan pertemanan kami malah terganggu hanya karena itu?"

Anehnya, Jordan justru menghela napas. Dia menggaruk kepalanya, membuat rambutnya sedikit berantakan. "Buat ukuran cewek yang jatuh cinta, lo terlalu banyak pertimbangan."

Lho, bukannya karena jatuh cinta orang jadi memikirkan banyak hal?

"Kalau lo mau, gue bisa bantu."

Eh? Kok tiba-tiba begini?

"Bantu apa maksudnya?" tanyaku.

Dia lantas mendekat hingga benar-benar berada di hadapanku. Baru kusadari perbedaan tinggi kami lumayan, karena aku harus mendongak agar bisa menatapnya—aku hanya sepundaknya. Dia sepertinya lebih tinggi dari Surya.

"Lo tadi bilang belum terlalu kenal Surya, kan?" tanya Jordan, dan aku segera mengangguk. "Kalau gitu, biar gue bantu. Pertukaran informasi."

"Maksud kamu?"

"Yah, gue ngasih lo informasi. Gue bisa bantu lo buat tahu Surya orangnya gimana, rahasia-rahasia kecil dia, atau tipe cewek kayak gimana yang dia suka. Kalau kayak gitu, lo kebantu kan?" Ketika aku mau bertanya, Jordan sudah lebih dulu menambahkan, "Tapi ada syaratnya."

Aku mengernyit. "Syarat apa?"

Kendati menjawab, Jordan justru tersenyum sebelum menunduk dan membisikkan sesuatu, yang membuatku makin terkejut. []

Thesis Crush (✓) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang