"Kita sudah sampai di Alexandria!"
Alfan ternganga takjub. Dia tidak menyangka akan berada di sini. Di kota pelabuhan ternama dan termaju di zaman ini. Rasanya seperti mimpi bisa melihat kota dengan mencusuar pertama di dunia. Rasanya seperti tak mungkin dirinya menginjakkan kaki di Alexandria. Rasanya seperti angan-angan saja dirinya bisa melihat langsung kemajuan pradaban manusia sebelum masehi. Dia bertanya-tanya dalam hatinya, siapakah pemimpin di zaman ini? Mungkinkah Sang Philopator yang terkenal itu?
Alfan menatap obor-obor panas yang memberi penerangan di jalan mereka. Bangunan-bangunan kokoh berjajar teratur membentuk pola memanjang. Orang-orang berlalu-lalang dengan kantong-kantong berat di pundaknya. Mungkin karena ini malam tak ada yang menyadari bahwa Alfan memakai tas dan pakaian yang berbeda dari mereka.
Thabit dan Eshe memimpin jalan. Rombongan mereka bergerak melewati pasar-pasar yang riuh ramai. Kota pelabuhan ini seolah tak akan beristirahat. Walaupun malam telah tiba, Alexandria terasa semakin sesak. Alfan hampir saja tertinggal rombongannya kalau saja Hamadi tidak segera menariknya dari kerumunan orang yang sedang mendebatkan harga dan barang.
Alfan menghela napas lega ketika mereka telah mencapai daerah pemukiman —yang menang tidak seramai pasar— tenang. Rombongan Alfan berhenti di sebuah lahan kosong yang tampaknya memang untuk peristirahatan para pelancong, buktinya ada beberapa rombongan di sekitar mereka. Para budak Thabit dan Eshe menurunkan bawaan mereka di atas pasir yang terasa kasar. Mereka semua duduk melingkar dengan kantong-kantong kain berat sebagai tengahnya.
"Tuan Thabit, kita akan kemana setelah ini?" tanya Alfan sambil menatap kantong-kantong kain yang entah apa isinya, dia tidak mau tahu.
Thabit membuka wadah minumnya dan menegak bulir-bulir air secara perlahan, agar tidak tersedak. Setelahnya dia mengalihkan atensinya pada Alfan. "Istana," jawabnya sambil menyungingkan senyum riang.
Alfan mendelik seketika. Ludahnya tertelan kasar. Dia terkejut sekaligus takjub. "Kau serius?" tanyanya tak percaya.
Thabit mengangguk mantap. "Tentu saja!" ujarnya yakin.
"Thabit, sebaiknya kita segera pergi ke istana sekarang. Sudah semakin larut," Eshe menyarankan.
Rombongan kecil itu pun akhirnya bergerak kembali setelah beberapa saat lalu mengistirahatkan otot-otot kakunya. Mereka menuju sebuah gerbang besar yang dijaga pasukan bertombak runcing. Para penjaga gerbang menghadang rombongan itu untuk masuk.
Alfan terkejut. Dia yakin mereka tahu kalau dirinya bukanlah orang mesir dan kemungkinan besar dia akan ditangkap. Tetapi rombongan itu ternyata diizinkan masuk setelah Thabit berbicara serius dengan para penjaga. Mengenai Alfan, mereka tidak begitu peduli dengan penampilannya yang terkesan aneh pada zaman ini.
Setelah melewati gerbang, mereka menuju ruang singgasana. Di perjalanan Alfan bertanya pada Thabit, "Kenapa kita ke istana?"
"Aku pernah membantu ratu memperluas cakupan dagang kota Alexandria. Sebagai rasa terima kasih dia mengundang rombonganku bertamu," jawab Thabit bangga.
Alfan mengangguk mengerti. Sesampainya mereka di ruang singgasana, atensi para penghuninya pun terpusat pada rombongan kecil itu, terutama Alfan. Lelaki itu mengembusakan napas pasrah. Daripada memedulikan tatapan aneh itu, Alfan lebih tertarik dengan arsitektur bangunan istana. Pilar-pilar yang menjulang tinggi menompang langit-langit istana. Pintu berukir dan tembok bergambar menarik perhatiannya. Tak luput dari pandangannya, patung-patung batu di letakkan berselingan dengan pilar-pilar tinggi. Obor-obor dengan wadah logam menambah penerangan dalam istana. Sangat mewah untuk zaman kuno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Explorer: Vastata
Science Fiction[Proses Revisi] Tumbangnya listrik malam itu menjadi pengawal petaka. Mesin waktu yang dicuri membuat para petinggi negara resah akan keamanan masa lalu dan dampaknya pada masa depan. Setelah melalui perdebatan sengit dalam rapat darurat, akhirnya...