2.1 - Tim Jelajah Waktu [R ✔]

4.3K 497 45
                                    

"...jadi, semua ini hanya kesalahan teknis saja. Kami pastikan peristiwa ini tidak akan terjadi lagi," ujar Profesor Adi menutup pidato pendeknya di hadapan koloni wartawan penuh ambisi mengunggah imformasi, sayangnya dengusan tak puas berhelatan di dalam ruang konferensi pers. Profesor Adi hanya tersenyum tipis, tanda kesabaran terkikis. Cepat-cepat ia berdiri, menggiring raganya meninggalkan acara dan otomatis membubarkan pencari berita.

Derap langkah kasarnya bertalu-talu, membangkitkan gelegar nadi. Entah kapan terakhir kali ia berurusan dengan orang-orang itu, yang jelas wartawan adalah sumber kebenciannya. Sudah ribuan desas-desus dibawa angin globalisasi mengarungi pikiran cetek orang awam yang membuat mereka tanpa sebab mengutuki Departemen Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Visualisasi mengerikan yang tak terhitung menggunung dalam pikiran rakyat, membuat keluarganya dijuluki 'monster'. Siapa yang membuatnya mendarah daging dalam ingatan masyarakat? Tentu saja para wartawan rezim Ir. Winarko. Kecacatan politik negara dan munculnya wartawan-wartawan penyebar gosip seketika memaksa Adi mundur dari pemerintahan. Menyingkir sejenak mencari angin kedamaian, meski sukar ditemukan pada zaman yang kian ambles moralnya.

Barulah pada masa pelantikan Ir. Agung Atmodjo sebagai presiden namanya dipulihkan kembali. Walaupun masyarakat sepertinya sudah tidak peduli warta-warta miring perihal kegilaan keluarga Bramantyohadiningrat, barangkali pikirannya sudah melembaga dalam fantasi atau terhisap lolongan bisnis ironis. Ya, seperti itulah kisah singkat antar Adi dengan wartawan. Menyedihkan ketika pernyataan kebenaran darinya terabai hingga tertimbun jutaan fitnah pedih.

Ia segera melangkahkan pantofel hitam mengkilatnya menyusuri sisi kanan gedung pemerintahan. Langkahnya mantap menapaki tiap ubin elektronik, tiap petak menampilkan warna-warna yang senada dengan kondisi emosi penginjaknya. Saat ini ubinnya berwarna merah membara, tanda keberanian dan kemarahan. Dan Profesor Adi mengabaikan orang-orang di sekitar yang menanyakan apakah ia baik-baik saja. Toh, sudah jelas ia tidak apa-apa.

"Panggil semua anggota kabinet. Kita harus rapat sekarang juga," titahnya pada resepsionis lantai 5. "Bangunkan presiden juga. Katakan agar mereka datang ke ruang rapat darurat di lantai 27."

Resepsionis wanita itu mengangguk mengerti sebelum mengirimkan pesan hologram darurat. Sementara Profesor Adi melanjutkan perjalanan dengan lift. Dalam beberapa menit mobil-mobil terbang mulai memasuki Central Area. Akses ditutup sementara, dan para wartawan yang masih nangkring di dalam terpaksa didorong keluar.

Profesor Adi menunggu di dalam ruang serba putih berdindinding cerdas. Ia segera mengaktifkan proyeksi dan aplikasi hologram peraga. Seorang pria seusianya memasuki ruangan, agak terkejut melihat pengaturan yang berlebih.

"Apa yang kau katakan di berita hanya masalah teknis?"

Profesor Adi meninggalkan utak-atiknya terhadap mesin kopi di sudut ruangan. "Tidak," katanya dan kembali menunduk, menunggu kopi panas memenuhi cangkir.

"Ah, sudah kuduga."

Santoso mendudukkan dirinya di kursi yang memiliki label 'Santoso Handoyo'. "Hei, aku buatkan kopi juga!" perintahnya.

Profesor Adi menyipitkan mata tak suka. "Kau buat saja sendiri, dasar kakek manja!"

Santoso balas menatap tajam. Mendengus kesal dan mulai beranjak dari tempatnya. "Gara-gara kau aku jadi harus bangun dari tidurku. Padahal baru satu jam yang lalu aku menyelesaikan laporan suksesi program pengamanan wilayah setenggara," curhatnya sebelum mendorong pinggul Profesor Adi agar menyingkir dari mesin kopi. "Minggir sana!"

Profesor Adi menegakkan tubuh. "Aku yang belum tidur saja diam. Kenapa kau banyak komplain sih?" sindirnya sebelum duduk di tempat.

"Terserah kau, kakek sombong!" sengit Santoso sebelum menekan tombol penggerus biji kopi.

Time Explorer: VastataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang