Telepon Aku

4.9K 351 11
                                    

Viona Amelia, meja nomor empat.

Sambil menunggu pesanannya, cewek berkaca mata itu duduk sambil membolak-balikan halaman novelnya. Dandanannya biasa, kelewat biasa bahkan dari cewek-cewek kampus biasanya. Bukan cupu, bukan juga popular. Di tengah-tengahnya, netral, mungkin.

Viona mengangkat kepala, nyaris melotot ketika sadar seorang cowok di meja nomor satu lagi asyik merhatiin dia. Risih, mungkin awalnya, tapi gantengnya cowok itu bikin risihnya hilang entah kemana. Dia Alriz, salah satu dari sekian cowok kampus yang popular. Ganteng, jelas. Tajir, jelas lagilah. Apa lagi? Tinggi? Nggak diragukan lagi. Pacar? Hm... Viona nggak tau kayaknya.

Cowok itu sadar kalo dia ke-gap merhatiin Viona, tapi nggak ada rasa malu atau niat memalingin pandangan, yang ada Alriz malah memberikan senyum manis lebih dari gula ke Viona. Dan itu malah bikin Viona salah tingkah sendiri. Cewek itu memalingkan wajah ke arah lain meskipun hatinya bilang buat tetep natap Alriz.

Alriz tertawa melihat respon Viona. Cewek itu lucu, menurutnya. Bahkan dia juga bisa lihat gimana merahnya pipi Viona.

Viona malu, tapi seneng. Ya, gimana nggak seneng diperhatiin cowok ganteng macem Alriz. Kecuali kalo yang merhatiin dia mas-mas kafe, baru itu yang namanya risih. Kalau dibilang Viona suka Alriz juga enggak, bisa dibilang dia cuma ikut teman-temannya kalau-kalau lagi merhatiin cowok-cowok ganteng kampus atau gossipin anak-anak tenar kampus.

Tapi, siapa juga yang sangka bakal di perhatiin Alriz kayak gini, kan?

Viona coba-coba untuk lirik Alriz lagi, dan lagi-lagi Alriz ngasih senyum yang sama manisnya. Bahkan, sekarang pakai dadah-dadah, pula!

Viona menunduk, coba memusatkan pikirannya kembali pada novelnya yang terabaikan. Tapi, lagi-lagi otaknya memerintah untuk curi-curi pandang ke Alriz. Dan lagi, Viona mengangkat kepala demi lihat Alriz di meja nomor satunya. Dan sayangnya… sekarang Alriz lagi bareng cewek cantik. Bercanda bareng. Dan Viona minder. Kalau ditanya cantikan Viona atau cewek itu, Viona pasti bakal teriak kalau dia kalah!

Huh…

Cuma lirik-lirikan toh.

Akhirnya Viona balik menyibukkan diri dengan novelnya.

Beberapa saat kemudian, seorang pelayan menghampirinya, membawa pesanan-pesanannya. Sebenernya cuma secangkir cappuccino, hitung-hitung sebelum mengikuti kelasnya sejam lagi. Dan jangan pikir kalo Viona nggak punya teman, nyatanya temannya banyak tapi sibuk semua.

Mas-mas pelayan pun menaruh pesanan Viona. Sebelum akhirnya menyelipkan sesuatu di balik cangkir cappuccino-nya. Kertas. Viona mengernyit dahi, nggak kepikiran bakal digodain mas-mas kafe tapi nyatanya…

Mas-mas pelayang itu senyum sebelum berbalik untuk ke pelanggan-pelanggan lainnya. Dan Viona masih nggak kepikiran untuk narik kertas itu dari bawah cangkirnya. Nggak minat, dan takut malah bikin dia mual sendiri.

Tapi tetep aja, tangannya bergerak untuk ngangkat cangkir cappuccinonya. Menarik kertas itu dan membacanya dalam hati. Meskipun keningnya masih berkerut, tapi yang ada malah membuatnya melotot shock.

08xxx

Meja no. 1 ;)

Mata Viona nggak kedip sepersekian detik. Keningnya berkerut bingung tapi kebalikan dengan bibirnya yang senyum lebar. Rasanya kepingin teriak dapat nomor si meja nomor satu. Itu nomor telepon Alriz. Apa, mungkin…?

Viona mengangkat kepalanya. Dan matanya terfokus pada Alriz yang lagi senyumin dia. Manis. Bahkan Viona bisa jamin cappuccinonya bakal kalah manisnya dari senyum Alriz. Dan bingungnya pun terjawab dengan Alriz ngasih gestus tangannya menyerupai telepon di sebelah telinga. Minta ditelepon.

Oh…

Viona mesem-mesem. Pipinya merah dan dia buang pandagan ke jendela. Jadi… dia beneran dapet nomor telepon Alriz? Mimpi apa Viona semalam…

Viona membereskan barang-barangnya dari atas meja ke dalam tas dan nggak lupa dengan nomor telepon Alriz. Nggak peduli dengan cappuccinonya yang nggak kesentuh sama sekali, cewek itu melenggang keluar dari kafe.

Berhenti di depan pintu, cewek itu mengeluarkan ponsel, mengetik sesuatu di sana, sebelum meletakkan ponselnya di telinga. Sampai terdengar bunyi nada sambung,

“Halo?”

Viona senyum lebar, “Halo?”

“Ini, siapa?”

Viona menjulurkan kepala ke arah jendela.  Senyumnya masih merekah, dan matanya memperhatikan cowok yang sedang menjawab panggilan. Yang ternyata lagi lihat ke luar jendela juga.

“Meja nomor empat,”

.

.

.

.

.

Kamu sudah mengerti
Pesan itu dariku
Dan kau beri aku senyuman
Beri aku isyarat
Aku sangat berharap
Untuk bicara lebih jauh
Telepon aku 727 enam kali…

(Telepon Aku – Sandy Canester)

one more pageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang