#2 Minggu Kedua

2K 227 2
                                    

“Kamu bantuin lagi ya, bawa buku-bukunya ke meja saya lagi. Taro di tempat biasa, di atas kotak merah.”

Untuk kesekian kalinya, Bu Rita memilihku membawakan barang-barangnya ke ruang guru. Sudah menjadi hal biasa, dan tak jadi masalah untukku juga. Meskipun tak jarang beberapa dari teman sekelas mendecak malas karena mengira aku cari perhatian, anak kesayangan atau sebagainya. Ada juga yang mendecak syukur karena tak perlu repot-repot menjajahkan kaki untuk ke ruang guru.

Sesampainya aku di ruang guru, tanpa sengaja melihat seorang cowok yang duduk di meja Bu Rita, lengkap dengan lembaran-lembaran soal serta sebuah pensil di genggamannya.

Jangan bilang…

Kak Rio?

Aku jelas tahu siapa cowok itu ketika dia mengangkat kepalanya. Menatapku yang kini dihadapannya untuk jarak beberapa meter sambil membawa setumpuk buku tulis.

Dan kini aku tahu alasan Bu Rita keluar masuk kelas untuk izin ada keperluan. Yang nyatanya adalah mengawasi cowok satu ini.

Dan ini di minggu kedua aku menemukannya berada di ruang guru tepat duduk di meja Bu Rita. Seperti minggu lalu, di jam yang sama.

Aku mengerjap sekilas untuk memastikan, tapi nyatanya masih tetap sama. Kak Rio masih memandangku, dan aku kembali mengerjap untuk mengilangkan kegugupan. Apa lagi, di sekian detik lalu aku memberhentikan langkah dan berdiri begitu saja dengan bodohnya. Ketahuan kaget, gugup, dan tepatnya tak mau lebih terlihat bodoh lagi, aku melangkah mendekatinya.

“Hai,”

Dan tanpa diduga, Kak Rio menyapa, lengkap dengan senyum manisnya yang memikat.

Sedikit kaget, namun aku menyamarkannya dengan tersenyum ramah ke arahnya. Kembali menjalankan tugas untuk menaruh buku-buku yang berada digendonganku tepat ke atas kotak merah yang selalu ada di atas meja Bu Rita.

Sedetik kemudian aku memilih berbalik. Namun, tiba-tiba mendengar suara benda yang terlempar jatuh ke lantai, tepatnya menggelinding ke depan dekat meja guru yang lain. Mencoba untuk tak mengidahkan, namun satu panggilan mengurungkan niatku untuk kembali secepatnya.

“Eh, boleh minta ambilin pensilnya nggak?”

Lantas aku menolehkan kepala, menatap Kak Rio.

“Pensil? Boleh minta ambilin?” ulangnya.

Aku mengangguk, buru-buru menghampiri meja guru dimana pensil itu berada dan mengambilnya. Lalu, membalikkan badan lagi untuk kembali ke meja Bu Rita—menghampiri Kak Rio.

“Thanks,” katanya tersenyum ketika aku menyerahkan pensil itu padanya.

Aku mengangguk, menggedikkan bahu merasa itu tak masalah. “Sama-sama.”

Ia balas tersenyum, dan mengangguk singkat.

Lantas aku berbalik. Menahan keinginan untuk tersenyum lebar dan tak mau disangka gila karena berjalan sendirian di tengah ruang guru.

Dan tolong saja, ini kali pertamanya aku terlibat obrolan dengannya. Meskipun singkat, namun siapa pun akan senang bisa bicara dengan orang disuka, bukan?

one more pageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang