Alan

597 55 31
                                    

Ulat boleh berkawan dengan cacing di tanah. Tapi ingat, setelah ia jadi kupu-kupu, kumbang merahlah temannya.

6

"Eh, ada nak Alan," sapa mama begitu ramah padanya. "Duduk dulu nak, pasti cari Meira ya?"

"Meira abis pulang kuliah, lagi ganti baju. Ditunggu sebentar ya," ujar mama, "Nak Alan sekarang kuliah di Yogyakarta juga?"

"Oh, gak tante, saya kuliah di Jakarta. Ini lagi libur aja kok jadi ke sini.

Eh ya! Saya bawa kue buat tante." Alan menaruh kue tersebut di meja. Brownies kukus kesukaan mama. Alan ingat dulu Meira sering cerita ke manapun mamanya pergi liburan, pasti yang dibeli cuma brownies.

"Wah, repot-repot segala nih. Hmm, kebetulan tante tuh suka banget sama kue cokelat yang campur pandan begini. Makasih ya, nak Alan."

Alan mengangguk tersenyum. "Alhamdulillah kalau tante suka."

"Siapa ma?" tanya seorang lelaki paruh baya yang masih bertubuh jangkung turun tangga.

Alan terkejut dan langsung berdiri melihat laki-laki itu. "Lho, om Darwin?" sahut Alan, bergegas mencium tangan laki-laki itu.

"Jadi om Darwin papanya Meira?" tanya Alan.

Darwin Ananta, direktur utama sebuah perusahaan milik papanya Alan. Tentu Alan mengenalnya sebab dari kecil om Darwin sering main ke rumahnya di Jakarta.

"Alan? Ngapain kamu ke rumah om? Disuruh papa kamu ya? Aduh maaf ya, om belum sempet jenguk papa kamu yang lagi sakit," ungkap om Darwin.

Ternyata om Darwin papanya Meira. Alhamdulillah. Gue jadi bisa tiap hari ke rumah Meira tanpa alasan dong!
Papa sama om Darwin juga setuju pasti kalau besanan, huehehe.
Doa gue emang manjur banget dah.

"Alan gak tahu kalau om itu papanya Meira. Alan ke sini mau ajak Meira makan siang di luar om, boleh?"

"Om baru tahu kamu temennya Meira. Ya boleh dong.

Meira! Turun nak, ada Alan nih," teriak papa memanggil Meira yang malas keluar menemui Alan.

Alan bahagia banget. Ketika Meira turun tangga, dengan jilbab warna abu-abu, hati Alan kembali bergetar.

Meira ....
Seseorang yang telah berdiam cukup lama di hati Alan. Wajahnya masih sama seperti dulu, natural tanpa make up.
Seketika syair lagu pemilik hati milik Armada band kembali terngiang;

Kau terindah,
'kan selalu terindah..
Aku bisa apa,
'tuk memilikimu..
Kau terindah,
'kan selalu terindah..
Harus bagaimana?
ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku~

"Papa kok kenal banget sih sama Alan. Jangan-jangan, foto anaknya om Deon yang di meja papa itu, Alan beneran!!" -Meira.

Dari kecil Meira sering melihat sebuah foto di meja kerja papanya. Foto papa dengan keluarga om Deon, sahabat lama papa. Om Deon hanya punya satu anak yang Meira gak tahu namanya.
Namun foto anak kecil umur 5 tahun itu mirip sekali dengan Alan, teman sekelas Meira di SMA.

"Puas kamu! Udah bisa bawa aku keluar?" ujar Meira dengan ketus tanpa melihat Alan.

Meira dan Alan duduk di sebuah caffe dekat komplek. "Gue seneng Mei, papa lo adalah sahabat bokap. Kita bisa deket terus sampai nanti."

"Alhamdulillah sih ya, aku juga bersyukur! Karena papa daridulu anggap kamu anak sendiri. Jadi kita adalah saudara."

Alan tersenyum kecut, "Iya dong Mei, jelas gue anaknya. Kan gue calon menantu papa lo. Hahahaha," canda Alan yang tidak lucu bagi Meira.

Alan..
Mengapa dirimu harus kembali? Sebaik apapun kamu tidak akan mengubah pandangku terhadap kamu dulu.
Karena yang namanya selingkuh itu adalah khilaf yang paling menyakitkan.

"Mei, mama gue SMS nih, papa gue masuk rumah sakit. Gue harus balik Jakarta." Alan berdiri, "Lo mau gue antar pulang dulu?"

"Eh gak usah! Aku mau di sini dulu. Btw, syafakallah buat om Deon."

Alan tersenyum.

"Makasih Mei, udah kasih senyum tipis itu hari ini. Meski senyum itu mungkin untuk papa gue, tapi lo senyum sama gue!" -Alan.

"Alan, apakah kamu udah berubah? Udah gak ngerokok lagi? Udah gak tawuran lagi?" -Meira.

Aroma parfum khas milik Alan telah menghilang bersama dirinya yang hendak kembali ke Jakarta. Meira duduk sendiri di caffe menikmati secangkir kopi manis yang masih terasa pahitnya.

"Kopi ini kayak Alan deh. Aslinya kan pahit, begitu disuguhkan ke aku, dikasih embel-embel gula supaya menutupi pahitnya.
Padahal rasa pahit ini masih terasa walau hanya sedikit," batin Meira.

"Meira! Meira dua belas mipa satu kan?" sapa seorang cowok mendekati meja Meira.

Meira yang masih betah di caffe ini merasa asing dengan orang tersebut. "Siapa ya?"

"Etdah! Lupa kamu? Aku Rendy, sohibnya Alan!" jawab cowok itu.

"Rendy? Oh. Temen ngerokok di toilet? Atau kamu yang sering ngajak Alan ikut tawuran itu ya?" tanya Meira ketus.

"Ngerokok? Tawuran? Alan? Hahahaha ngomong apa sih!

Mei, selama ini kamu tuh salah paham sama Alan. Aku tahu kok masalah kalian, soalnya Alan sering cerita.

Dari dulu, Alan gak pernah mau ngerokok Mei, dia bukan perokok. Kalau kita ngerokok, si Alan tuh yang cerewet. Katanya bisa sakit jantunglah apalah segala macem, kata kamu gitu kan?

Apalagi kalau kita tawuran, behh! Dia ikut buat ngawasin temen-temennya biar gak ada yang terlalu emosi. Dia gak pernah ikutan berantem," jelas Rendy.

Meira gak percaya, "Kamu pasti dibayar Alan ya?

Dulu seragam Alan selalu bau rokok. Kalau pulang tawuran, bajunya juga kusut banget.

Apalagi, kejadian kalian pukulin Rafi. Gak bener!!"

"Meira, jelaslah seragamnya Alan bau rokok, orang kita yang ngerokok. Dia mah kagak.

Rafi? Bener sih Mei, tapi semua itu karena Alan cemburu sama Rafi. Alan gak mau kamu direbut Rafi, Mei!"

"Jadi, Alan orang baik?" tanya Meira dengan sedikit rasa sesal.

"Gak cuma baik, dia juga mulia. Berkat segala ceramahnya, aku sama beberapa temen yang lain udah berhenti ngerokok. Apalagi tawuran di kampus, lah, bisa di DO! Kita semua udah insaf, Mei.

Berkat Alan juga sih. Kata Alan, kamu yang ngubah dia."

"Alan? Dari dulu orang baik? Dan selama ini dia menyebarkan kebaikannya sama temen-temennya. Masyaallah ...."

"Tapi Ren, yang paling bikin aku sakit hati, Alan selingkuh sama Dila. Sampai pegang tangannya! Astaghfirullah." Sebenarnya Meira tidak pernah ingin mengungkit kejadian masa SMA itu.

"Dih! Itu mah gara-gara kamu! Kamu gak pernah mau kan, nemenin Alan futsal? Kenapa? Gak mau berteman sama aku dan yang lain?

Alan sama temen-temen yang lain gak seburuk yang kamu pikir, Mei."

Rendy benar,

Pertama kali aku hijrah, aku merasa ingin berteman dengan orang yang alim saja. Sampai aku tidak sadar, aku menjauh dari teman-teman aku.

Sungguh hina hati ini, memilih-milih teman! Padahal pun imanku juga belum kuat.

Sekarang aku sadar, pertemanan itu bukan tentang kesamaan akhlaq." -Meira.


*TO BE CONTINUE*

Please, give me vote and comment.
Boleh kritik dan saran tulisanku.
Supaya aku juga tahu di mana letak kesalahan aku :)

♥♥Jazakumullah♥♥

Jodohku Bukan DiakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang