Paula, anak perempuan tunggal dari pasangaan Joseph dan Carol yang baru saja mengakhiri masa pendidikannya di SMA, ia berlari dengan seluruh napas dan tenaga yang tersisa. Wajahnya terus bertambah pucat seiring dengan derasnya darah yang mengucur keluar dari luka yang berhasil merobek perut bagian samping kanannya cukup dalam. Persetan dengan luka, saat ini yang terpenting baginya adalah menemukan tempat persembunyian sebelum makhluk bertaring dengan kedua telinga tegak, ekor terkibas dan kuku-kuku setajam gergaji itu berhasil menemukannya.
Hutan di bukit ini dirasa terlalu besar untuk manusia sepertinya. Belum cukup dengan langkah kaki yang seakan tak cukup untuk menapaki jalan setapak di depannya, sebuah akar tua yang mencuat dari dalam tanah berhasil membuat tubuhnya ambruk ke atas tanah. Bermacam umpatan kasarpun terlontar dari lidahnya, kalau saja ia tidak kabur ke bukit dari acara perjodohan yang diadakan orang tuanya, dia pasti tidak akan tertimpa sial seperti ini.
"Hey, kau yang di sana!”
Suara berat dengan nada malas itu terdengar samar memantul ke dalam gendang telinganya, Paula yang sudah ketakutan menilik sekelilingnya dengan liar memastikan siapa yang ada di sekitarnya, hidupnya akan berakhir sebagai perawan yang mati diawal memasuki usia kepala dua jika itu adalah monster buas yang berhasil melubangi perutnya.
"Sampai kapan mau duduk manis seperti itu?"
Sekali lagi, kali ini lebih dekat dan jelas diiringi suara langkah kaki yang mematahkan ranting-ranting kecil tak berdosa. Gadis muda sekarat itu semakin tersudut ke sebuah pohon beringin tua, pemilik dari akar yang telah merubuhkan badannya.
Kedua bola mata dengan sorot mata putus asa akan kehidupan itu terkerjap saat mendapati sosok lelaki tinggi berdiri kokoh di hadapannya. Sayangnya, ia tidak berhasil melihat wajah empunya badan karena wajahnya terlindung bayangan dedaunan dari pohon tempat ia kini bersandar.
"Hm? Masih hidup, ya? Jarang sekali ada yang masih hidup. Menyusahkan!” Oceh lelaki itu tenang, seakan gadis yang terluka parah di hadapannya itu bukanlah sesuatu yang bagus untuk dikhawatirkan. Lelaki tak dikenal itu maju sekitar dua langkah dan berjongkok di hadapannya. Seorang lelaki dengan sorot mata tajam dan misterius itu tersenyum dengan sudut bibir merah yang sedikit tersungkit. Paula berhasil melihat wajahnya, ia terlalu tampan untuk ditakuti.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Joh ... Josephine," napasnya terengah saat mencoba menyebutkan namanya. "Paula Josephine."
“Baiklah, Paula. Bagaimana kalau kau mati saja di sini?"
Yang benar saja, ia dapat tawaran untuk mati.
Benar-benar diluar perkiraan, memang benar, tidak ada satupun yang bisa dipercaya di atas muka bumi ini. Anehnya, tidak sedikitpun gadis itu merasa takut terhadap lelaki misterius yang menawarkan kematian padanya, tapi tetap saja ia takut untuk mati.
"Baiklah, kita harus cepat karena tidak lucu jika si bau itu menemukanmu. Jadi__"
Lelaki itu meraih dan mengusap lembut kepala Paula yang sedang sekarat. Beberapa kali ia melakukannya hingga terasa kantuk yang teramat sangat, seakan ada sebuah baja yang kini menimpa kedua kelopak matanya. Samar ia mendengar, "matilah dengan manis!"
Suara itu perlahan menghilang, terasa sesuatu mememasuki dan mengacak-acak dengan kasar lubang luka pada perutnya yang masih terbuka. Seketika itu pula seluruh tubuhnya mati rasa.
"Apakah aku sudah mati?" gumamnya setelah ia terbangun dengan kesadaran penuh.
"Aku tak tega membiarkanmu mati dengan manisnya, aku ingin melihatmu mati mengenaskan karena bertarung melawanku! Tapi itu__" jawab lelaki tampan tersebut seraya menyeringai memamerkan gigi busuknya.
"Bunuh saja aku jika kau ingin!!" teriak Paula dengan suara tertahan.
"Aku tidak sudi membunuh manusia yang sudah tidak berdaya sepertimu!"
Dengan angkuhnya, pemuda itu meninggalkan Paula yang sedang menahan sakit pada perutnya yang kini sudah tidak lagi menganga.
"Siapa sesungguhnya pemuda itu, kenapa ia tidak membiarkanku mati dimakan oleh binatang buas yang sedang kelaparan!" tutur Paula dengan rautbwajah bingung.
"Aku mendengar ucapanmu, Paula!" sentak pemuda tersebut yang tiba-tiba muncul di hadapan Paula. Wajahnya kini tampak menyeramkan, matanya merah dan deretan giginya gemelutuk.
"Hei, kenapa kau tiba-tiba ada di sini?" tanya Paula heran.
"Seperti aku, kau pun bisa melakukannya."
Bau anyir dari mulut pemuda itu mencuat begitu saja. Aromanya menyeruak menusuk hidung mancung Paula.
"Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Paula dengan nada melunak.
"Aku tak perlu membunuhmu, karena kau sudah melakukannya sendiri."
"Hei, aku belum mati!"
"Kau mati untuk kembali hidup, Paula. Dan bau anyir itu berasal dari darahmu yang menempel pada bajuku."
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku adalah sisi gelapmu!"
_____end____
Story by dindayohanes