Hari itu hujan turun melanda sebagian wilayah di kota Bandung. Hari dimana diriku seperti ditangisi oleh rintik-rintik hujan yang mengenaiku. Aku segera berteduh di bawah atap halte kecil dekat sekolahku sembari melihat orang-orang yang berlalu lalang kehujanan di seberang jalan sambil membawa payung atau barang lain untuk melindungi dirinya ataupun pasangannya. Tanpa sadar membuatku teringat akan sosok dia yang sempat hadir dan menetap di hatiku.
Sosok itu juga sama dengan orang-orang yang membawa jaket untuk melindungi pasangannya saat itu. Tapi bedanya, dia menghampiri diriku—yang kuyakini dirinya juga belum pernah mengenalku, bahkan melihatku. Dia datang secara tiba-tiba. Entah darimana, yang pasti dirinya datang dengan membawa sentuhan yang sampai saat ini masih kukenang. Sentuhan kehangatan khas miliknya. Dirinya melindungi diriku yang pendek ini dengan jaket kulit hitamnya yang kuyakini bernilai mahal. Saat itu tidak dapat kupungkiri diriku terkejut. Siapa yang tidak terkejut jika secara tiba-tiba terdapat orang asing yang datang menghampirimu?
Dia lalu menuntunku berjalan menyusuri rintikan hujan dan membelah jalanan yang memang saat itu sempat sunyi—hanya terdapat pejalan kaki yang berusaha melindungi pakaiannya dari hujan yang semakin lama semakin deras. Tapi, aku dengan bodohnya hanya menatapnya yang berdiri di sampingku sambil mengikuti langkahnya yang lebar.
Saat itu aku heran, tubuhnya tidak terlindungi apa-apa selain seragam putih-abu yang sama denganku. Sedangkan diriku dengan mudahnya memakai jaket pemberiannya yang terasa lebar di tubuhku. Aku ingin bertanya, atau menyuruhnya mengambil lagi jaketnya dari tubuhku. Dia tidak boleh kebasahan hanya karena dirinya ingin melindungiku.
Namun, tanpa sadar diriku sudah mencapai halte kecil ini. Halte kecil yang menyimpan pertemuan indah, tetapi ingin kuhilangkan dari memori kepalaku saat ini juga. Yah ... kejadian itu sudah sangat lama sekali. Hampir satu tahun yang lalu. Satu tahun yang menurutku hampir seabad untuk berusaha melupakannya. Melupakan dirinya yang saat itu bertatus kakak kelasku dan sampai sekarang, bahkan dirinya sudah mencapai kelas tiga SMA.
Aku menghela napas berat. Jika diingat-ingat, diriku membutuhkan waktu hampir setahun untuk berusaha mengiklaskan dirinya yang saat itu telah jauh dari jangkauanku. Namun, tanpa kusadari, aku sering pergi untuk kembali pada kenangan yang seharusnya sudah kulenyapkan secara permanen dari otakku. Rasanya aku ingin menangis bercampur marah jika setiap kali diri ini tanpa sadar lari mengingatnya saat berada di tempat-tempat yang pernah kulalui bersamanya.
Aku memang pernah dekat dengannya, tapi tidak sampai menjalin hubungan. Karena pada saat diriku sudah meyakini bahwa rasa yang kumiliki adalah rasa cinta yang hampir sempurna untuk kuberikan kepadanya, dirinya malah pergi menjauh entah kemana. Dan saai itu, aku mulai mengerti, berusaha mengerti ... jika cinta memang tidak harus saling memiliki.
Karena setelah beberapa hari diriku berusaha menghindar dari dirinya, dia tiba-tiba datang menghampiriku dengan wajah yang tidak bersalah. Seolah, dirinya tidak bersalah karena telah membuat jantungku hampir terhenti pada tempatnya setiap dirinya tersenyum atau memberi perkataan manis yang sampai sekarang masih membuat diriku tersenyum kecil. Seolah dirinya masa bodoh kepadaku karena saat itu telah pergi meninggalkanku meski hanya sebentar. Namun, serasa sebulan menurutku. Dan kini dia datang tidak hanya dengan wajah tidak bersalah di hadapanku, namun dia datang bersama sejuta rasa kejutan yang miris di mataku.
Kau datang bersama sosok baru di sampingmu. Sosok baru yang mungkin menyebabkanmu melupakanku. Sosok baru yang mungkin menyebabkan kau meninggalkanmu.
Saat itu, aku hanya bisa tersenyum. Tersenyum melihatmu bersamanya yang sedang bergandengan tangan di depan mataku. Tertawa saat melihatmu mengacak rambutnya yang seketika membuat pipinya bersemu merah. Dan berkata bohong jika kau berbicara mengenai hubunganmu dengan sosok barumu ini.