Aku tersenyum sembari mengayunkan langkah. Angin dingin yang menerpa, membuat tulang-tulangku bergemeretak. Kumasukkan kedua telapak tanganku ke dalam saku jaket, mencoba untuk memerangi rasa dingin yang terasa demikian menyiksa. Sinar bulan sebenarnya tidak cukup untuk menerangi sepanjang jalan menuju supermarket yang terletak tidak begitu jauh dari rumahku. Tidak ada satupun lampu jalan. Langkah demi langkah ku nikmati. Bintang-bintang mungkin merasa malu ketika terus ku tatap. Tiba-tiba ... SREEET! Suara apa itu? Buluku bergidik. Ku percepat langkah dan berusaha memikirkan hal yang membuatku senang, dia. Sudah sampai. Supermarket yang kukunjungi ini terlihat cukup sepi, tentu saja, ini sudah larut malam, lagipula daerah yang ku tempati ini tidak memiliki penduduk yang padat seperti kota lainnya. Yang membuatku senang tinggal di sini adalah udaranya yang sejuk setiap harinya. Oh iya, karena malam ini aku lapar, jadi aku hanya akan membeli mie instan dan beberapa minuman favoritku. Biasanya, setiap kali ku pergi ke supermarket, aku wajib membeli masker untuk wajahku. Tapi kali ini tidak, uangku menipis karena sudah pertengahan bulan.
“Jadi berapa, Mbak?” aku mengeluarkan dompet kesayanganku sambil meratapi nasib bahwa uang sedang tidak ramah padaku.
“Terimakasih,” saat ku keluar dari pintu supermarket tersebut, di seberang jalan kulihat segerombolan anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah. Sepertinya mereka sedang mabuk. Jumlah mereka yang lumayan banyak membuat jantungku berdebar kencang. Rasa khawatirku kambuh. Aku harus bagaimana? Kalau mereka macam-macam denganku, bagaimana? Teriak? Di sini hanya ada aku, kasir, dan anak-anak itu. Dua manusia tak berdaya melawan empat anak berandal. Adakah seorang superman yang dapat menolongku? Mereka mendekat. Aku panik. Wajah mereka nampak menyeramkan. Seperti ingin menelanku. Aku mundur. Kembali ke tempat semula dimana aku membayar barang belanjaanku. Mereka semakin dekat. Kasir di depanku tampaknya heran-heran melihat tingkahku saat ini. Mereka masuk, DEGH! Salah satu orang dari empat anak itu memandangku dengan lekat. Sontak kubuang wajahku ke bawah. Menggerutu. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tidak tahu apa yang dilakukan si kasir, yang jelas sekarang aku benar-benar panik total.
“Hey!” suaranya berat, serak dan ... mengerikan. Pelan-pelan kuangkat wajahku. APA?! Sosok di depanku memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Kamu sedang apa?” aku terpaku dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tiga di antaranya berkeliaran memburu barang yang akan mereka beli.
“Minggir, aku ingin mengambil makanan di sampingmu itu.”
Mengambil makanan? Tidak salah?
“I-iya,” aku minggir dan lari keluar dari ruangan itu. Kepanikanku membuatku sangat malu. Ternyata mereka bukan orang-orang yang aku sangka adalah utusan Iblis. Kini, rasa laparku hilang. Tapi, aku sudah bisa santai di perjalanan.
“Hhhhh, lega!” kuambil ponsel dari saku celanaku, dan ternyata sudah pukul dua belas malam. Tiba-tiba, ada tangan yang menyentuh bahuku. Kutengok ke belakang dan tidak ada siapapun. Ketika ku malingkan wajahku kembali, aku terbangun dari tidur. Anjing kecil ku sudah menanti tepat di depan wajah lesuku. Dan kau tahu? Wajahku sudah basah akibat jilatannya.
***
*Lupa ini punya siapa wkwk