1. Telepon

13.4K 204 3
                                    

[Pulang aja dulu, nanti Mama cerita.]

[Tapi Ma, Hanna belum bisa pulang bulan ini, setelah lebaran boleh?]

[Mama tunggu ya, hati-hati jaga diri, sholat jangan lupa.]

Hanna menutup ponselnya. Sudah seminggu ini Mamanya membujuk Hanna agar bisa pulang kampung sesegera mungkin. Hanna mengerti, beliau rindu padanya. Tetapi kali ini berbeda. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mama Hanna.
.
.

Bukan kali pertama Hanna tinggal berjauhan dengan mamanya. Ia sudah mandiri sejak duduk di bangku sekolah menengah. Bersekolah diluar kota membuat Hanna terpaksa kos dan jauh dari mamanya.

***

Hanna Syafira. Usianya 23 tahun. Periang, enerjik, dan mudah bergaul. Hanna juga suka membaca. Dibalik keceriaannya, sebenarnya Hanna adalah gadis yang tertutup. Ia memiliki banyak teman, tetapi tidak seorangpun sahabat.

Disematkannya peniti pada kerudungnya. Setelah berdiri beberapa saat di depan kaca, kini ia sudah siap berangkat ke tempat kerjanya. Hanna bekerja disebuah pabrik roti rumahan. Sudah 4 tahun ia bekerja disini.

Aroma roti yang khas tercium ketika Hanna tiba disana. Ia sedikit terlambat. Beberapa orang temannya yang lebih duluan sampai sudah memulai aktifitas mereka. Cece Yanti, pemilik pabrik, sedang menakar tepung untuk adonan berikutnya.

"Maaf Ce, saya terlambat.."

Cece Yanti mendongakkan kepalanya sebentar, mengangguk, lalu kembali ke aktifitasnya.

"Han, you coba bantu takar itu tepung 2 kilo 2 kilo ya, you bikin jadi 5 kantong. Terus you selesaikan ayak tepung ini, ya."

Hanna mengangguk. Itulah mengapa Hanna betah bekerja disini. Cece Yanti sangat baik. Asalkan ia menyelesaikan pekerjaan tepat waktu tidak jadi masalah jika ia datang terlambat seperti barusan. Lagipula ia suka bau dapurnya.
.
.

Pukul 5 sore. Hanna bersiap untuk pulang. Jarak tempat kos dengan pabrik sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya 15 menit jika berjalan kaki. Tapi kali ini ia memilih untuk naik angkutan umum saja. Hanna ingin segera merebahkan diri di tempat tidurnya.

Hanna berbaring di kasur busanya yang mulai menipis. Pandangannya menyusuri sudut kamarnya yang sempit. Hanya ada sebuah lemari kayu dengan pintu berkaca. Hidup merantau dan jauh dari keluarga membuat Hanna harus berhemat. Tidak apa-apa ia hanya mampu menyewa sebuah kamar sempit. Yang penting bagi Hanna cukup untuk ia menggelar sajadah, tempat ia bermunajat kepada Tuhan, mencurahkan keluh kesahnya.

Pikirannya menerawang. Teringat percakapan dengan Mamanya ditelepon tadi pagi.
.
.

Sebenarnya Hanna juga rindu kampung halamannya. Rindu tabek gadang, tempat ia dulu belajar berenang, mandi-mandi sepulang sekolah. Hingga keluar dari tabek jika jemarinya sudah keriput atau karena sudah dimarahi oleh ibu-ibu yang hendak mencuci pakaian, sementara air tabek sudah keruh oleh ramainya anak-anak yang berenang. Indahnya masa itu. Hanna tersenyum sendiri jika mengingatnya. Tapi jika ia pulang, ia merasa tidak enak dengan Cece Yanti. Ramadhan tinggal menghitung hari. Pesanan yang datang semakin banyak. Sebab tidak hanya roti, ditokonya juga menerima pesanan kue kering khas lebaran. Juga beraneka bolu. Rasanya tidak sampai hati Hanna meminta ijin disaat Cece Yanti membutuhkannya.

***

Aroma khas bolu pandan memenuhi ruangan. Sebuah meja panjang di dapur Cece Yanti sudah dipenuhi oleh bolu-bolu pesanan. Sebentar lagi kurir akan datang untuk segera mengantar kepada pelanggan. Hanna mengecek semua pesanan, memastikan alamat yang tertera sudah benar.

Tidak seperti biasa, hari ini wajah Hanna sedikit murung. Ia juga tidak banyak bicara. Cece Yanti menyadari perubahan itu.

"You ada apa, Han?"

"Ngga, ngga ada apa-apa, Ce."

Hanna tersenyum sambil merapikan kotak-kotak kemasan kue yang berserakan dimeja.

"Cece perhatikan dari tadi you diam aja. Kalau ada apa-apa you bilang, mana tau Cece bisa kasih bantu."

"Ngga Ce, saya ngga kenapa-napa."

"Okelah, kalau gitu you ajak Flo jalan keluar ya. Bawa ke Taman Kota aja, biar dia puas main. You juga biar rileks sebentar."

Florence, anak bungsu Cece Yanti, memang dekat dengan Hanna. Ia cantik dengan mata sipit dan pipi gembulnya. Hanna memang suka anak-anak. Bermain bersama Flo memberikan energi positif untuk Hanna. Anak itu tidak ada capeknya. Sangat aktif dan lincah. Apalagi jika sudah mendengar celotehannya yang lucu dan spontan. Hanna sampai terkekeh-kekeh dibuatnya.

***

Ramadhan telah tiba. Kegiatan Hanna semakin banyak. Begitu pula dengan orderan di toko roti. Kesibukannya ditoko roti bertambah seiring waktu.
.
.

Tak terasa Ramadhan sudah dipenghujung. Gema takbir berkumandang. Takbir bersahutan keseluruh penjuru. Semakin meriah oleh tabuhan bedug berkeliling kota. Lampu hias dan kembang api menambah meriahnya malam takbir. Semua itu membuat dada Hanna membuncah. Rasa haru bertambah sebab ia jauh dari keluarga semakin mengaduk-aduk perasaannya. Tidak terasa bulir-bulir bening menghangat disudut matanya. Kemudian menganak sungai di kedua pipinya yang halus.

"Mama, Hanna rindu," bisiknya.

Ini hari terakhir ia bekerja sebelum liburan Idul Fitri. Kurir kerepotan mengantar pesanan yang membludak. Sebagian pegawai akhirnya ikut membantu mengantarkan pesanan. Tidak terkecuali Hanna yang ikut lembur sampai pukul 9 malam. Secepat mungkin ia selesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera sampai dikos-kosan. Segera Hanna menghubungi mamanya dan mengabarkan bahwa besok ia akan pulang.

***

Letih diperjalanan tidak dipedulikan Hanna. Ia menghambur kepelukan mamanya dan menangis melepaskan sesak di dada. Papa Hanna pun berkaca-kaca lalu memeluknya. Hanna mencium takzim kedua orang tuanya memohon maaf lahir dan batin. Kedua adiknya Zaid dan Hasan, ia peluk dan cium. Ketiga adik beradik itu saling berpelukan. Rindu itu tumpah sudah.
.
.

Sore itu langit cerah. Tapi Hanna tidak ingin kemana-mana. Hanna memandangi seluruh sudut rumahnya. Tidak ada yang berubah. Masih seperti dulu, seperti saat ia tinggalkan.

"Hanna, sudah semakin dewasa kau Nak."

Mama Hanna membuyarkan lamunannya. Hanna tersenyum lalu menggenggam tangan keriput yang hangat itu.

"Ada apa, Ma?"

"Sudah waktunya Hanna, sudah saatnya kau berumah tangga."

Hanna mengernyitkan keningnya. Ia sama sekali belum memikirkan masalah pernikahan. Bahkan ia sama sekali belum pernah jatuh cinta. Membicarakan tentang cinta bagi Hanna adalah hal yang tabu. Lalu tiba-tiba Mamanya membicarakan pernikahan.

"Mak Tuo kau punya calon untukmu. Dua hari lagi mereka akan datang melamarmu, Nak."

Melamar? Leher Hanna tercekat. Tapi ia tidak berani menolak. Tak sepatah katapun mampu ia ucapkan. Inikah alasan Mamanya membujuk Hanna untuk segera pulang? Dilema. Itulah yang kini dirasakan Hanna. Bagaimana nanti jika ia menikah? Seperti apakah dia, lelaki yang meminangnya? Akankah lelaki itu mencintai Hanna, gadis kampung yang sederhana?



DIJODOHKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang