Now playing : Good Goodbye.🎶
Dan akhirnya ... harinya tiba. Hari yang benar-benar tak pernah kuharapkan terjadi dalam hidupku. Jika bisa, aku ingin tidak pernah terbangun hari ini. Atau kuharap hari ini tidak pernah ada.
Kuhembus nafas berat berkali-kali, namun sama saja. Tak ada yang berubah. Tak ada, dan takkan ada. Pupil cokelatku melirik sekali lagi kalender disana yang seolah menyeringai keji, menyadarkanku akan takdir pahit yang sudah menungguku.
Hari ini adalah hari pernikahan Tomoya.
Dia akan berada di belakang altar kokoh dan berdiri bersama wanita pilihannya, wanita beruntung yang menjadi teman hidupnya untuk selamanya. Wanita yang 'kan dijaga, dilindungi, dikasihi, dan dicintainya.
Lalu di tengah-tengah mereka akan berdiri sang pendeta yang menyatukan mereka dalam sebuah janji suci ikatan sakral pernikahan sehidup semati. Oh, bahkan untuk membayangkannya saja aku tak sanggup. Tanpa sadar, aku kembali menitikkan air mata.
Aku merutuki diriku sendiri, kemana saja aku? Selama ini apa yang telah kulakukan? Kupikir menjadi nakal, berfoya-foya, dan memiliki segala materi dapat membuatku bahagia. Namun ternyata tak ada yang mampu membeli kebahagiaan.
Aku ingin kebahagiaan yang hakiki, aku ingin berada di samping orang yang kucintai, aku ingin saling mengasihi, namun siapa aku? Aku hanyalah penonton yang berusaha melarikan diri dengan melampiaskan semuanya pada kesenangan duniawi yang fana.
Dengan langkah berat, kucoba keluar dari apartemen lalu menuju mobilku yang sudah terparkir di ujung sana. Tanpa sadar kulihat wajahku di cermin, mataku membengkak karena menangis semalaman. Namun melihat itu, bibirku malah mengulas senyum tipis. Jadi ini yang namanya galau?
*
"Jadi apa yang mau kau sampaikan, Mei-chan kawaii?" tanya lembut Tomoya setelah aku izin meminta waktunya sebentar melalui aplikasi chatting.
"Aku mau ngungkapin sesuatu."
"Ya, apa? Kau butuh sesuatu?"
Aku menggeleng lemah, "Everything that I need is right here with me. Aku cuma mau bilang kalau, ..." bola mataku bergerak ragu ke kiri dan ke kanan. Dadaku berdesir, ada semacam gemuruh keberanian di sana namun entah kenapa tiba-tiba menciut sendiri. Aku tidak yakin, apakah aku harus mengungkapkannya atau tidak.
Di sisi lain aku merasa tidak pantas karena sekarang dia sudah sah menjadi milik orang lain namun di sisi lain kurasa bila aku mengungkapkannya maka semua akan jadi lebih mudah dilepas karena langsung muncul perasaan lega.
"Hm?" tanyanya menyadarkanku dari kekalutan pikiran. Sepertinya dia tak sabar. Tomoya yang melihatku seperti menahan beban yang berat akhirnya berjalan mendekat, dia mengelus suraiku lembut. Memberikan rasa nyaman dan hampir membuatku lupa kalau dia sudah dimiliki seseorang kalau saja aku tidak memerhatikannya yang masih menggunakan setelan jas mempelai pria.
"Katakan saja Mei-chan, aku gak mau kamu menyimpan beban di hari bahagiaku."
Dadaku malah kembali berdenyut mendengarnya. Ya, ini memang hari bahagiamu namun hari termenyakitkan buatku. Tapi ya sudahlah, kurasa ini saat yang pantas. Tidak perlu lagi ada keegoisan dan pemaksaan. Aku dan dia sudah bukan lagi anak kecil.
Kita sudah sama-sama dewasa untuk sekarang, ini harus jadi perpisahan yang baik bukan? Tidak perlu ada air mata dan kesedihan yang membuat merana.
Dengan mengulum senyum lembut kala itu angin berhembus kencang, kusampaikan perasaanku yang telah kupendam sekian tahun lamanya. "Maaf, selama ini aku mencintaimu."
Pupil minimalis milik Tomoya membuka lebar, dia menatapku nanar seolah-olah tak percaya dengan apa yang kukatakan. Mungkinkah dia berpikir kalau aku gadis aneh yang mencintai lelaki dewasa terpaut beda sebelas tahun denganku?
Ataukah dia tidak pernah terpikir bahwa orang sepertiku diam-diam selama bertahun-tahun ini menaruh hati padanya?
Dia bergeming di tempat seolah menyimpan ribuan kata yang tak tersampaikan namun hanya diungkapkan melalui tatapan sendu lagi nanar miliknya.
Berarti benar, ... dia memang tidak pernah menyadari perasaanku.
"Kamu mencintaiku?" tanyanya. Entahlah, apakah dia tak percaya dengan ucapanku barusan atau bagaimana namun sudah pasti pertanyaannya itu tak perlu kujawab lagi karena seluruh semesta juga tahu perasaanku padanya.
Aku memalingkan pandanganku lantas berkata, "Aku tahu rasa ini gak pantas, karena itu jangan khawatir. Aku akan segera membuangnya," jawabku tegas masih tanpa memandangnya.
Tomoya menunduk melihat jalanan beberapa detik. Kini aku memandangnya lekat. Memandang sosok yang paling kucintai juga sosok yang paling kuinginkan. Aku tak mampu mengalihkannya apalagi mengelaknya. Selama ini aku selalu mengharapkannya, dialah kuatku. Dia lelaki yang membuatku mengenal cinta, Tomoya Kanki.
Bahunya naik turun, bergetar sejajar dengan hembusan kasar nafasnya, jari jemarinya bertautan mengepal keras. Setelah itu dia mengangkat kepalanya menatapku, matanya memerah mengeluarkan buliran-buliran bening yang mengalir menepi di pipinya yang chubby.
Barulah kusadari kalau dia sedari tadi menangis sembari menunduk, "To-Tomoya?"
"Kenapa kamu gak pernah mengatakannya selama ini?" Tomoya seolah meminta kejelasan dariku, jemarinya yang masih mengepal bergerak bebas ke udara. Dia memukul udara dengan wajah depresi.
"Dulu aku juga mencintaimu, Mei-chan. Tapi aku takut perasaanku sepihak. Aku takut kamu mencintai orang lain, aku ngerasa gak punya kemampuan apa-apa sedangkan kamu adiknya Taka yang sangat hebat di mataku."
Kini mulutku yang terkunci rapat-rapat, lidahku bagai kelu. Aku seperti orang yang lupa caranya berbicara.
"Coba seandainya aja dari dulu aku tahu perasaanmu, seandainya aja aku gak minder dengan diri sendiri, ... ta-tapi aku malah kabur dan mengubur perasaanku. Sampai akhirnya aku mengenal Kaori dan dia yang membuatku jadi lebih percaya diri."
Tanpa sadar air mataku menetes sendiri tanpa izin. Jadi dulu kami sempat punya perasaan yang sama? Namun dia sudah jauh lebih dulu menghilangkan rasa. Penjelasan macam apa ini? Oh!
Aku kesal sendiri dan tanpa sadar aku menamparnya. Tomoya terkejut. Dia memegangi pipinya yang kini memanas.
"Seharusnya dari dulu kamu lebih percaya diri! Semua orang tau kamu hebat! Kamu itu drummer band rock yang keren! Kamu juga orang yang tulus, baik, lucu, ramah, dan manis! Kamu mampu ngehibur banyak orang, kamu seorang moodbooster juga sepenggal nama yang selalu disebut dalam doa seorang cewek yang sejak kecil sudah hancur, broken home, bahkan putus sekolah!"
Tomoya menggigit bibir bawahnya rapat-rapat.
"Kamu itu puncak harapanku!" teriakku lagi, setelah itu aku kehabisan nafas dan ngos-ngosan bak orang asma.
"Maafkan aku," itulah kalimat terakhir yang Tomoya ucapkan. Entah karena dia tak tahu apalagi yang harus diucapkan ataukah itu semacam bentuk tamparan yang menyadarkanku bahwa 'segala bentuk penyesalan dan sebanyak apapun kita berkata seandainya/seharusnya itu takkan mengubah apapun yang telah terjadi' ibarat pepatah 'nasi sudah menjadi bubur'.
Sehebat dan sebesar apapun rasa cinta kami pada akhirnya semua tetaplah begini. Tak ada yang berubah karena kami memang bukan dua insan yang digariskan Tuhan untuk bersama, kami memang hanya sebatas keluarga. Kami juga tidak mungkin melawan takdir. Jadi untuk apa diperpanjang lagi?
Akhirnya kami terdiam dalam pikiran masing-masing lalu akulah orang yang pertama kali berinisiatif untuk mengulurkan tangan, "Sekali lagi selamat ya udah menempuh hidup baru juga terima kasih banyak untuk semua kesabarannya, cinta pertamaku."
Dia menerima uluran tanganku dengan sedikit ragu, "Iya dan kamu juga. Terima kasih udah mengajarkan arti ketulusan, Mei-chan."
Tangan Tomoya yang hangat dan tanganku saling bertautan. Aku lega, inilah akhir yang baik bagi kami. Perpisahan yang pantas karena akhirnya kami saling mengetahui rahasia satu sama lain dan semuanya berakhir jelas penuh kelegaan. Beban batu yang berat di dada bagai diangkat, damai. Inilah yang didapatkan jika kita mampu menerima takdir, ikhlas, tabah, serta mampu berdamai dengan diri sendiri.
-Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAE 1 - Mighty Long Fall✔
Fanfiction[SONG ALBUM EDITION 1 - OOR FF] Untuk seseorang yang kucintai, Apakah salah jika kutanamkan rasa padamu terlalu dalam? Apakah salah kubenamkan harap pada angin dan matahari senja itu? Sungguh, betapa menawannya dirimu hingga mampu membuat hatiku per...