Chapter 2

149 25 6
                                    

Happy Reading!

__________________________________

Jika dengan adanya kamu bisa buat aku lupa dengan masalahku. Aku berharap, kamu tetap bersamaku.
_________________________________

Mentari duduk gelisah di halte depan sekolahnya. Hujan turun cukup deras dan ia lupa membawa payung ataupun jas hujan. Dan sekarang ia bahkan tak tahu caranya agar bisa pulang. Kedua sahabatnya bahkan sudah pulang dari tadi karena jemputan mereka sudah menunggu.

Hari semakin sore tetapi hujan belum juga reda. Sekolahnya juga sudah cukup sepi. Mau nekat, tapi ia tak punya seragam cadangan. Terpaksa ia harus menunggu sampai hujan reda baru ia bisa pulang ke rumah. Dia bisa saja naik angkutan umum, tapi entah kenapa hari ini belum juga ada satu pun angkutan umum yang lewat.

"Mentari." Mentari menoleh dan tersenyum canggung saat melihat Awan berjalan ke arahnya. Cowok itu duduk di sebelahnya dan menatap jalanan di depan. "Belum pulang?"

"Hujan. Lo?"

"Sama."

Tak ada lagi pembicaraan dari keduanya, dua orang yang sama-sama dingin. Mentari bangkit berniat untuk pulang ketika suara motor berhenti di depannya. Senja turun dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Gue takut lo kenapa-napa karena lo nggak angkat telepon gue," ucapnya seakan tahu apa yang ada di pikiran Mentari.

"HP gue lowbat." Senja menghela napas lega, setidaknya ia tahu alasan kenapa Mentari tak mengangkat telepon darinya.

"Ta, gue balik dulu," ucap Awan lalu pergi.

"Ayo pulang, mumpung hujannya cukup reda." Mentari mengangguk.

"Nih pake, biar lo nggak sakit." Mentari tersenyum menatap laki-laki itu lalu memakai jaket yang diberikan Senja.

Tak lama kemudian motor yang dikendarai Senja melaju membelah jalanan kota bersama kendaraan lainnya. Jalanan yang licin karena hujan, membuat Senja mengendarai motornya pelan.

🌚🌚🌚

"Nih, minum," ucap Senja seraya mengulurkan sebotol air mineral pada Mentari.

"Thanks."

"Gimana sama keluarga lo? Masih berantem?"

"Entah, tapi gue rasa udah nggak sih. Lagian gue bosen dengerin perdebatan mereka terus, kayak nggak ada kerjaan lain aja."

"Lo yang sabar ya, Ta. Bagaimana pun juga mereka orang tua lo. Mereka pasti punya alasan kenapa mereka berantem kayak gitu."

"Lo emang selalu bisa bikin gue ngerasa baik lagi. Thanks ya lo udah mau jadi temen gue."

"No problem. Gue juga makasih karena lo udah mau temenan sama gue. Cuma lo satu-satunya temen gue."

"Emangnya di sekolah lo nggak punya temen?"

"Gue nggak gampang akrab sama orang lain."

"Oh, pantesan."

Tak ada lagi pembicaraan setelahnya, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Perlahan semburat jingga itu muncul bersamaan dengan matahari yang mulai tenggelam. Ini yang mereka tunggu, melihat keindahan alam yang membuat keduanya selalu jatuh cinta pada sunset.

Mentari dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang