Chapter 10

55 11 0
                                    

Happy Reading!

_________________________

Kau mencintainya bukan mencintaiku, jadi biarkan aku pergi sebelum rasa cintaku semakin dalam untukmu.
_________________________

"Susah ya ngomong sama orang yang lagi patah hati. Ditanya apapun cuma diem doang kayak manekin," ujar Mars setelah meneguk es jeruk miliknya.

"Apa?" Langit menatap tajam pada Mars. Tapi cowok itu malah terbahak lebar.

"Duh Lang, Lang. Patah hati bisa bikin lo berubah ya ternyata." Mars menghela napas pelan. "Lo beneran suka sama Mentari?"

Langit menoleh cepat ke arah dua sahabatnya. "Ngomong apa sih lo? Nggak jelas banget."

"Lo suka kan sama Mentari?" Awan mengulang pertanyaan Mars. Ia cukup jengah melihat Langit sedari tadi diam, padahal dirinya dan Mars sedang mengobrol seperti biasanya.

"Nggak."

"Heh, lo itu nggak bisa bohongin kita, Lang. Kita udah temenan dari orok jadinya kita tau sikap masing-masing, termasuk lo."

"Nah, dari sikap lo juga udah keliatan kalo lo punya rasa sama Mentari."

Langit berdecak kesal. Sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa membohongi kedua sahabatnya. Persahabatan mereka dari kecil bahkan dari bayi pun membuat ketiganya paham sifat masing-masing.

"Kita juga denger omongan lo waktu di pantai. Lo sayang kan sama dia, Lang?" ujar Awan.

"Ngaku aja udah kenapa sih, pake ngelak lagi," tukas Mars.

"Oke oke gue ngaku. Gue suka sama Mentari. Gue juga sayang sama dia. Puas lo?" Mendengar itu keduanya malah terbahak lebar. Bahkan Mars sampai terjungkal ke lantai.

"Akhirnya Bang Langit ngaku juga. Huh, gue ngakak masa," ujar Mars seraya bangkit.

"Kena kan lo sekarang, lo kemakan omongan lo sendiri. Makanya jangan ngawur kalo ngomong, takdir Tuhan itu nggak ada yang tau. Buktinya sekarang lo suka sama dia."

Memang saat itu ia pernah mengatakan jika ia tak akan pernah menyukai Mentari. Tapi sekarang seolah takdir membalikkan keadaannya. Ia menyukai Mentari. Bahkan sebelum rasa sukanya berbalas, ia sudah beberapa kali patah hati. Patah hati karena gadis itu lebih memilih Senja, teman masa kecil gadis itu.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian waktu itu. Ia ingat saat dirinya begitu kalang kabut mencari Mentari, saat dirinya hampir menyerah dan menemukan gadis itu. Ia juga ingat bagaimana gadis itu memeluk Senja dengan begitu erat, menangis di pelukan cowok itu, bahkan setelahnya keduanya tertawa bersama.

Sakit, pastinya. Tapi ia tak mungkin melarang gadis itu bersama Senja. Ia tak ingin kebahagiaan gadis itu menghilang seketika seperti sebelumnya. Ah, andai saja dirinya mengenal Mentari lebih dulu daripada Senja. Pastinya gadis itu akan memilihnya.

"Woi, Lang! Ngelamun lagi lo?" Langit menatap tajam ke arah Mars. Tapi yang ditatap hanya tersenyum tanpa dosa.

"Lo mikirin apaan sih, Bro? Dari tadi ngelamun mulu? Masih galau mikirin Mentari yang deket sama Senja?"

Langit tak menjawab. Pandangannya mengarah pada dua orang yang duduk di sebelah Mars. Mereka Pelangi dan Bulan. Lalu di mana Mentari?

"Mentari mana?"

Dua gadis itu menoleh. "Masih di toilet. Katanya nanti nyusul," jawab Bulan.

"Hai, sorry ya lama."

"Iya."

"Hai, Lang." Mata Mentari menangkap seseorang yang duduk di antara teman-temannya. Tidak ada jawaban dari Langit, dia diam menunduk sambil memainkan ponselnya. Senyum Mentari yang semula mengembang saat menyapa Langit perlahan mulai pudar saat cowok itu sama sekali tak meresponnya.

"Ada apa dengannya? Gak biasanya kayak gini," gumamnya dalam hati.

"Ta, traktir kita dong." Mars mulai membuka suara.

"Punya uang kan?" Mars mengangguk, lalu mengeluarkan selembar uang kertas dari balik sakunya.

"Yaudah sono beli sendiri," ujar Mentari santai. Mars mengerutkan keningnya. Dia serasa dibodohi oleh seorang Mentari.

"Kan dede maunya ditraktir sama Tari," gerutu Mars.

"Muka lo biasa aja kali, gak usah sok imut gitu," sahut Pelangi.

"Biarin, emang gue imut gini kok. Mirip sama Stefan William kan babang Wawan?" Mars mengedipkan sebelah matanya ke arah Awan yang tengah duduk di sampingnya. Sontak hal itu langsung dihadiahi jitakan dari Awan.

"Najis," cerca Pelangi.

"Neng Pelangi jangan gitu. Ntar naksir lagi sama Mars," ucap Mang Dimang, salah satu penjual di kantin.

"Najis Mang, najis."

"Jangan naksir sama gue. Gue udah ada yang punya."

"Siapa juga yang naksir sama lo?"

"Lo."

"Kapan gue bilang naksir sama lo?"

"Itu tadi lo bilang naksir sama gue." Emosi dalam diri Pelangi semakin memuncak.

"Lo berdua bisa diem nggak? Ganggu ketenangan gue aja." Langit menatap tajam ke arah keduanya. Ia lalu beranjak dari kursinya dan melangkah pergi. Semua yang ada di meja itu hanya menatap Langit tak percaya, termasuk Mentari. Baru kali ini mereka melihat tingkah Langit yang berbeda dari biasanya.

Pandangan Mentari masih terus mengarah pada punggung yang perlahan menjauh. Entah kenapa ia merasa sikap Langit berubah menjadi dingin.

"Dia kenapa?"

🌚🌚🌚

Berkali-kali ia melemparkan kerikil-kerikil ke arah sebuah kolam kecil. Membuat air kolam sedikit memercik ke atas. Angin berhembus sejuk menerpa wajahnya. Perasaannya kacau sekarang. Sungguh ia masih belum bisa bertemu cewek itu sekarang ataupun dalam waktu dekat ini.

Perasaannya masih belum stabil. Jantungnya bahkan bekerja secara tidak normal hanya karena dekat dengan cewek itu. Mentari Putri Cahaya. Cewek yang awalnya ia benci dan suka ia ganggu, sekarang menjadi cewek yang paling ia inginkan dalam hidupnya.

Entah bagaimana bisa, yang jelas ia hanya tidak suka saat melihat cewek itu lebih memilih Senja daripada dirinya. Ia kembali menghela napas kasar, diambilnya kerikil terdekat lalu ia lemparkan ke kolam.

Jujur ia sendiri tak tahu pasti sejak kapan ia memiliki perasaan pada cewek itu. Ia hanya bertingkah seperti biasanya tanpa sadar akan perasaan itu. Ia ingin berdamai, berdamai dengan perasaan. Ia tak ingin seperti pengecut yang lari dari masalah. Ia ingin hari-harinya kembali seperti biasanya. Tertawa bersama dengan sahabatnya, menjahili Mentari, dan melakukan apapun yang bisa membuat cewek itu terusik.

Selang beberapa saat, ponsel di saku celananya bergetar. Tanpa pikir panjang ia segera menerimanya.

"Oke, saya tunggu kabar selanjutnya," ucapnya mengakhiri panggilan tersebut.

Tbc:)

Author kembali setelah melewati kesibukan hari demi hari.

Dukung Mentari dan Senja dalam penghargaan wattys 2018, dengan stay dan pantengin terus chapter demi chapternya.

Setelah baca, jangan lupa tekan bintang di pojokan. Krisarnya ditunggu.

Dapet salam dari para Author Suis_eka98, Leafa27, Gegee14, MeisyaArr

Mentari dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang